Suluk Matahari

wahyu telah jatuh ke perut bumi, rusuk nabi, dan percik api. maka batuan, kulit binatang,
lontar pula gunung serta segala yang musti menghadap sebagai lembaran mushaf
tunduk di hadirat samawi. tak ada kaum mursalin yang lupa pada kisah pembakaran
suci.

“kau ingin siang?”
“kami memohon cahayamu.”
“seperti senyum mengkesima?”
“kami selalu takjub pada pancar rahasiamu”

sebab malam tak pernah menengadah pada kedatangan bulan yang cerminkan seorang
hamba yang datang dari jailan. di gelincir airmata nabi terakhir, kami ridhai khusyuk
itikaf para ambiya: jemari tauhidnya membelah purnama di ujung lena.

“apakah marah api terlihat seperti siang benderang?”
“kami beriman demi sebutir apimu yang mampu melenyapkan dunia.”

(sebutir bintang
menyala di pagi hari
menjadi wajah pertama
yang dikecup sanubari).

dengan gembira mata menyala sebab di nyalangnya ada bara yang nampak seperti hari
kiamat, karena itu bibirmu yang tersengat panasnya murka dan wajah yang terpesona
tak sanggup melupa dukayang berkelindan di wajah duha.

andai doa tak mengepak di tepi jamaliyah jibril yang rupanya mirip udara, yang wajahnya
mirip bunga terakhir di ujung tahun: tertiup angin pagi dicerlangi embun di rumput
berduri.

betapa besar nyalamu menelan seorang nabi dan huruf-huruf berceceran di lautan kata-
kata. moga cahaya mengubah asar jadi waktu yang mustajabah bagi delapan sujud
yang kami haturkan, bagi kedua tahiyat yang kami tauhidkan di ujung telunjukMu.

di persandingan yang tak kami jangkau, di pusara yang cerlangkan wajah kolam
kalamMu menyembul ufuk dari kedalaman ungkapan salam pertama.

“cinta macam apayang akan tersisadi senja kiamat?”
“adakah penghunihari terakhirdi antarakami?”

tanyalah sinar merah cakrawala yang mengutuk si pengusir, enduslah bau lelaki bernyali
serigala
bekas ledakanpemburu malam yang diserbuki purnama.

“dari mana cahaya berasal? adakah dunia bermuladari ledakan doa?”

kami bertanya di sudut hujan dan rahim petricor meledak jadi dedebuan muasal bulan,
jadi mata yang melegenda di setiap purnama pertamaNya. nubuat yang kami petik dari
jemari seorang utusan tak memberi kami jawaban, malah jadi api yang tak punya rupa.

terik api ini
memantuldari hati kami:
dan jahanam teramat dekat
memancar di kedua mata
“adakah duka makin memanas
bagi sore yang beringas?”

seratus matahari terbenam
di batin kami
membakar kelembutan cinta
dan wangi doa ini

bulan datang
dengan terang-terangan
lalu samar
merupa
wajah
Nya

aku
pun

lelap
di hadirat
cinta

“adakah lelaki
yang tak diusir
hanya karena cinta
membuatnya lena?”

tanyanya dalam tahajud
di beranda jabarut

“maka dari mata hira
cahaya siapa
yang memancar
ke arah
surga?”

Sukoharjo, Juni 2025

*) Image by istockphoto.com