Peta Kesedihan yang Kutemu di Wajahmu
Sepanjang perbincangan sore itu
kuabaikan deras hujan dan suara sumbang ramai kedai.
Mataku hanya tertuju kepada jalan terjal berliku
yang terhampar di wajahmu.
Aku tak menemukan keindahan kali ini.
Jalanan berbatu—lengang, angin mengempas,
beberapa daun gugur, dan gulungan peta yang terserak begitu saja.
Aku membaca dan menitinya.
“Aku berjalan ke arah utara, kutemukan sebuah sungai,
aku melewatinya, kutemukan sebuah gunung yang memanggul mendung.
Tak ada hujan sebab ini bulan Oktober yang kering.
Aku mendaki dan melampauinya.
Di ujung perjalanan ini,
kutemukan sebuah danau yang menyimpan air mata, kesedihan,
dan sebuah dendam.”
Malang, 2024.
***
Pemberhentian Terakhir
Kita sampai pada titik akhir.
Peron membeku, raut-raut lesu
tak ada keramaian pada dini hari seperti ini.
Segalanya telah kita lalui dengan dengkul linu
dan kantung-kantung kantuk.
Pohon-pohon yang berjalan, burung-burung diam,
sawah ladang yang menghitam, siluet gunung,
lampu kota yang kau kira bintang jatuh,
dan lamunanku yang buyar di hadapan letih wajahmu.
Pada dini hari yang sepi, kita sampai di titik akhir
ketika burung gereja belum sempat mengais birahi
dan cinta kita tak kuasa menerbitkan hari lagi.
Malang, 2024.
***
Lawatan Singkat
1. Di Marga Utama
Jalanan ini seonggok mayat,
membujur dari utara ke arah lain,
kuku-kukunya
meriapkan tubuh
menjadi cahaya, menjadi kebimbangan,
antara puisi atau prosa
yang ingin kutulis
di ujung jalan
pohon asam terakhir
sebelum hilang segala jejak.
Merpati tua letih bersandar pada nasib
yang ia pancang sendiri di peta-peta buta,
apa yang ia sangka tuju
menjadi semu.
Aku menunduk duka
sebelum salah satu di antara jari-jariku
menunjuk sesuatu baru.
2. Di Malioboro
Aku tak pernah ke mana-mana
tetapi kata-kataku lelah mengembara,
di tiang lampu-lampu, papan jalan,
garis-garis marka, kursi-kursi yang tampak tua,
aspal-aspal beku,
ranting gayam, dahan asam,
suara langkah yang berderap,
suara musik, suara si miskin,
dan beberapa orang
yang asing pada kebisingan.
Malam tak ingin sepi,
ia menghendaki nasib yang lain,
maka diundangnya Tuhan kepada sebuah puisi
yang ramai.
Segalanya ada kecuali dirinya sendiri
yang telah melayang-layang ke segala arah
sepanjang tubuh mayat pertama
masih membujur ke arah lain.
3. Di Marga Mulya
Sewaktu pulang,
aku menemukan tangannya menengadah,
salah satu kakinya tampak luka,
wajah yang hilang,
dengan dada terbuka
menantang Tuhan.
Dan seperti ini aku berpuisi, “sebelum hidup
dihinggapi bencana, pilihlah jalan
yang kau yakini terjal sebab dengan begitu
hidupmu menjadi pejal.
Setelahnya kau bisa pergi ke mana saja,
ke tempat yang paling kau suka,
termasuk langit yang kau yakini
tempat ibumu memasak hidangan
paling wangi. Namun
kau harus kembali pulang
sebelum hari petang dan masa depan
menggugurkan kenanganmu, jadilah dirimu suci,
sebab jalan ini berkehendak begitu,
lepaskan tulang dan dagingmu
sebab jalan ini berkehendak begitu,
lepaskan makna dari belenggu kata-kata
seperti pada pelajaran linguistik
sebab jalan ini berkehendak begitu,
lupakan semuanya kecuali namamu
sebab jalan ini berkehendak begitu.”
Tetapi sajakku telah sia-sia
sebab aku telah tiada
ketika puisi ini melawat
menyusuri jalan
seonggok tubuh mayat yang penuh luka
dan makna.
Yogyakarta, 2023.
*) Image by istockphoto.com
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia dan membagikan berita-berita yang menarik dan seru lainnya. >>> KLIK DI SINI <<<