Siang hari pukul 12.00 di Adamson Inn, 3 Penang Street, di depan Masjid Sultan Singapura, rombongan Gong Travelling yang terdiri atas 32 peserta bersiap-siap untuk check out. Ini hari Selasa, 17 Oktober 2018, hari kedua dan hari terakhir mengikuti pelatihan menulis catatan perjalanan bersama Gong Travelling.

            Kami menaiki bus nomor 7, membayarnya dengan menggunakan kartu Singapore Tourist Pass (STP) yang dibeli di Bandara Changi. Kalau di Indonesia kartu ini mirip e-Toll. Cara penggunaannya tinggal menempelkan kartu di mesin yang tersedia saat masuk bus melewati pintu depan, dan keluar bus pun sama menempelkan kartu lagi di mesin di pintu belakang. STP ini adalah satu-satunya kartu perjalanan tanpa batas dengan transportasi umum. Uang yang dikeluarkan tergantung berapa hari kita stay di Singapura. Satu hari 20 SGD, dua hari 26 SGD, tiga hari 30 SGD, dan akan mendapatkan pengembalian sebesar 10 SGD saat kita akan meninggalkan Singapura. Penukarannya di tempat semula. Hati-hati kartu bisa error saat disimpan berdekatan dengan HP.

            Tujuan perjalanan kali ini ke Perpustakaan Nasional Singapura yang berada di antara Bugis Junction dan Bras Basah, tepatnya di 100 Victoria Street. Hujan menyisakan basah di jalanan tanpa genangan. Ah, terasa romantis merasakan hujan di negeri orang.

            Saat sampai di lokasi kami disuguhi Singapore International Photography Festival (SIPF) 2018 atau Festival Fotografi Internasional Singapura 2018. Sungguh aku merasa seperti diberi surprise. Fotografi dan buku merupakan dua hal yang sangat menarik bagiku. Meskipun aku tidak pandai menggunakan kamera, dan aku hanya pembaca novel, tapi aku sangat betah berlama-lama di tempat ini.

            Festival fotografi ini sangat unik bagiku. Foto-foto dipajang di peti kemas. Kementerian Komunikasi Dan Informasi Singapura dalam situsnya mengatakan Festival Fotografi Internasional Singapura adalah pertemuan dua tahunan pemikir dari seluruh dunia dengan pengejaran umum untuk memajukan seni dan apresiasi fotografi. Ini bertujuan untuk menjadi arena yang sangat dibutuhkan untuk pemikiran kritis dan diskusi akademis tentang fotografi di Asia Tenggara. SIPF juga akan berfungsi sebagai platform kunci untuk menemukan, memelihara dan mendorong fotografer Asia Tenggara ke panggung internasional. Melalui program asosiasinya, festival ini berharap dapat melibatkan publik dan memupuk khalayak yang lebih besar. Inti dari SIPF adalah keyakinan kuat bahwa fotografi dapat dinikmati oleh semua.

            Dilihat dari peta lokasi Perpustakaan Nasional Singapura, lantai dasar terdiri atas lobi utama, meja informasi, lobi lift, ruang tamu, ruang baca 24 jam, alun-alun, panggung, ruang panggung drama, dan kafe.

            Ketika akan memasuki lobi utama, tertera billboard dengan gambar seorang wanita berbaju putih dengan sebotol minuman. Wanita bergaun putih di dapur sedang memegang kue, dan mobil tua berwarna merah. Serta tulisan “Selling Dreams, Early Advertising in Singapore, 20 July 2018-24 February 2019, Level 10, Gallery National Library Singapore.”

            Isinya menjelaskan tentang iklan. Dari link NLB, iklan adalah dokumen budaya yang menarik yang membentuk dan mencerminkan keinginan dan cita-cita orang. Pameran ini menampilkan materi iklan dari tahun 1830-an hingga 1960-an dalam koleksi Perpustakaan Nasional, dan mengeksplorasi harapan, mimpi, aspirasi dan ketidakamanan masyarakat selama bertahun-tahun.

            Pameran ini menyoroti iklan yang mempromosikan beragam produk, layanan, dan merek yang pernah menjenuhkan pasar konsumen Singapura yang sibuk. Melalui pameran berwarna-warni ini dari publikasi, majalah, surat kabar dan ephemera Perpustakaan Nasional, diharapkan masyarakat mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang iklan dan dampaknya, sambil belajar lebih banyak tentang masa lalu Singapura.

            Gedung Perpustakaan Nasional Singapura terdiri atas 14 Lantai; Basement 1 ada pusat perpustakaan umum; lantai  1 alun-alun; lantai 3 pusat drama box office, lantai 5 ruang imajinasi, ruang kemungkinan, ruang belajar; lantai 8 seni, ilmu sosial, dan teknologi; lantai 9 sumber bahasa China, Melayu dan Tamil; lantai 10 galeri perpustakaan nasional; lantai 11 Singapura dan Asia Tenggara; lantai 13 koleksi bahan/material langka; lantai 7-13 perpustakaan referensi Lee Kong Chian; lantai 14 kantor hukum.

            Karena tidak ingin tertinggal dan nyasar sendirian seperti saat sarapan pagi tadi di Eunos, saya yang berjalan paling akhir agak terburu-buru menyusul rombongan 7 Srikandi, peserta dari Jakarta yang telah menerbitkan antologi cerpen dan puisi. Dengan menggunakan lift kami memasuki area pusat perpustakaan pinjam yang ada di gedung basement 1 dengan luas 6.407 meter persegi. Saya tercengang karena hamparan yang ada di depan mata ini tidak saya temui di kampung halaman tempat saya tinggal, yaitu di Kuningan, Kota Kabupaten yang terletak di bawah kaki Gunung Ciremai.

            Ruangan ini bakal bikin betah para penggila baca dan buku dengan fasilitas lantai berkarpet, ruangan ber-AC, tata letak rak buku yang rapi, koleksi buku yang lebih dari 200.000 jumlahnya yang hampir setengahnya merupakan fiksi, kursi untuk membaca, komputer, orang-orang yang sedang terlibat aktivitas di dalamnya.

            Selain itu saya juga menemukan perpustakaan yang dirancang khusus untuk anak-anak. Sekali lagi saya dibuat terkagum-kagum menyaksikan surga bagi para pencinta baca dan buku yang ada di depan mata. Di depan pintu masuk tertera tulisan “My Tree House Singapore yang merupakan bagian dari Perpustakaan Nasional Singapura (Children Section of National Library Singapore). Disebut-sebut sebagai World’s First Green Library for Kids karena perpustakaan ini memang dirancang untuk anak-anak dengan tema yang ramah lingkungan, arena yang luas, dan sebagian properti pembangunannya menggunakan bahan-bahan daur ulang.

            Saat masuk kita akan langsung disuguhi Rumah Pohon (Tree House) yang menjadi jantung dari perpustakaan anak ini. Rumah pohon ini merupakan titik paling diminati anak-anak, bahkan saya menyaksikan langsung seorang ibu sedang membacakan cerita kepada ke 3 anaknya. Dan saya melihat seorang anak sedang bermain komputer. Komputer ini bisa digunakan anak untuk membaca ebook dan permainan edukatif.

            Latar My Tree House didominasi warna hijau dengan tema alam, mulai dari karpet, tiang-tiang, rak buku, hingga arena membaca dan bermainnya menjadikan suasana nyaman. My Tree House memiliki koleksi 45.000 buku anak-anak dari bayi hingga usia 12 tahun. Selain itu diisi juga dengan koleksi buku dengan empat ragam bahasa yaitu Melayu, Tamil, China, dan Inggris.

            Budaya membaca di Singapura lebih bagus dibanding di Indonesia. Kemarin saya lihat sendiri seorang pemuda asyik membaca sambil berdiri di dalam MRT yang sedang melaju. Ada juga satu keluarga yang terdiri atas ibu dan tiga anak lelaki; dua anak berdiri asyik membaca buku komik, sedangkan sang ibu membacakan buku komik juga pada anak yang kecil.

            Sudah jelas di ruang pinjam Perpustakaan Nasional Singapura banyak sekali pengunjung dari berbagai usia. Ada yang sedang duduk membaca, ada yang meminjam buku, ada yang menelusuri koridor-koridor rak buku, ada juga yang sibuk browsing di hadapan komputer. Dan saat saya mengunjungi kafe di kawasan perpustaakaan saya juga melihat orang-orang tidak hanya singgah untuk makan atau minum, di situ ada dua anak lelaki yang sibuk dengan bukunya sambil makan, juga seorang ibu yang melakukan hal sama. Ada juga seorang bapak yang sedang berhadapan dengan laptop, buku catatan dan setumpuk buku penunjang lainnya.

            Dalam perjalanan terakhir sebelum pulang ke Indonesia, saya mengunjungi Bugis Street. Di keramaian Bugis Street ada seorang nenek yang menjual koran juga majalah khusus berbahasa China. Jadi teringat tulisan di Instagram Gol A Gong, penulis novel legendaris Balada Si Roy dan 125 buku lainnya, traveller, pendiri dan relawan Rumah Dunia (pusat belajar); “Koran selalu dibagikan gratis.” Hampir di setiap sudut kota. Literasi (aktivitas membaca) mereka sudah jadi budaya. Perusahaan swasta banyak beriklan, sehingga bisa gratis. Setiap pagi, di setiap stasiun bus dan MRT, kegiatan itu rutin dilakukan, bahkan ada nenek-kakek membagikan koran. Di Singapura, para manula tetap memanfaatkan waktunya dengan kegiatan positif.

            Di Singapura, di setiap ruas jalan, saya seolah sedang belajar membaca juga. Rambu-rambu jalan, petunjuk bus, peta perjalanan MRT, semuanya sudah tertulis dengan jelas, sehingga tidak begitu khawatir saat tersesat di jalanan Singapura. Begitu pun di setiap masjid yang saya singgahi, riwayat berdirinya masjid tertera di tembok. Setiap lokasi pun demikian, selalu saya menemukan tulisan-tulisan yang menjelaskan tempat itu. Sehingga siapa pun yang membaca jadi tahu.

            Singapura berbisik di telingaku, lihat dan bacalah aku. Semoga saya pribadi bisa mengambil sisi positif bagaimana spirit membaca di Singapura bisa saya terapkan di kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga. Bismillah, walhamdulillah.