Menurut orang-orang terdekatku, aku tak pandai berkendara. Tiap bepergian dengan mereka, entah itu menyetir motor maupun mobil, mereka selalu menyuruhku untuk menepi dan mengajak bertukar posisi. Sesungguhnya bukan aku tak mahir berkendara, aku hanya sering diliputi rasa ragu, dan aku mengamini hal itu.

Saat akan menyalip truk di depanku, aku ragu dengan kecepatanku dan bergidik saat di depan sana, di arah yang berlawanan sudah ada mobil dengan kecepatan yang lebih kencang. Akhirnya aku tidak jadi menyalip. Begitu seterusnya hingga laju kendaraanku sangat lamban dan berakhir molor sampai tempat tujuan. Saat di persimpangan jalan, ketika lampu masih hijau lalu berubah merah tapi motor-motor di depanku masih tancap gas, aku kembali dihantam ragu antara berhenti dan menaati peraturan atau ikut melaju bersama motor-motor itu mumpung masih ada sedikit waktu. Karena aku ragu-ragu, tak berhenti tak pula maju, akhirnya aku ditubruk pengendara di belakangku.

Masih banyak sikap ragu-ragu yang akhirnya berdampak buruk dan tentu tak akan kuceritakan satu per satu. Kadang aku menyesal dan berjanji untuk bersikap tegas pada diri sendiri, namun lebih sering ragu itu muncul kembali.

“Kalau kamu tidak suka sama Bram, ngapain kasih dia harapan?”

Begitulah pertanyaan seorang kawan karibku semasa SMA. Bram menangis di pojokan kelas setelah kutolak pernyataan cintanya. Iya, dia lelaki namun menangis hanya perkara cinta. Aku sebal, tapi dia berhasil menarik simpati seisi kelas dan mereka berbalik menuduhku wanita tega.

Sebenarnya aku juga ada sedikit rasa pada Bram, tapi aku hanya ragu. Aku tak cukup yakin dengan keputusanku. Apakah aku akan bahagia jika menerimanya menjadi kekasihku? Setelah berfikir lama aku berusaha bersikap tegas dengan menolaknya, walau jauh di lubuk hatiku ragu itu masih berputar-putar di kepala.

Namun setelah penolakan itu terjadi, entah mengapa kebaikan-kebaikan Bram malah semakin terlihat. Dia benar-benar lelaki yang baik. Dia lelaki lugu dan sungguh tulus mencintaiku hingga saat aku menolaknya ia sampai berurai air mata. Aku merutuk mengapa kebaikan itu tak muncul sedari dulu. Semua sudah terlambat dan kini ia telah bahagia bersama istri dan kedua anaknya.

***

“Jadi, kapan? Ingat umur.”

Jika aku tak memikirkan serius empat kata yang diucap Mama lima tahun lalu, tentu aku tak akan merasakan perjalanan ragu yang tak kunjung berujung. Perkataan Mama begitu singkat, padat, namun selalu tertancap di pikiranku siang malam hingga aku tak bisa lagi merasa tenang.

Lima tahun lalu usiaku sudah menapak angka tiga puluh satu. Sebenarnya aku tak punya patokan yang pasti di umur berapa harus menikah, namun karena aku anak satu-satunya, tentu keadaannya tak sama. Mama ingin segera punya cucu. Tentu beliau takut keturunannya akan berhenti sampai di sini jika aku tak segera bersuami. Kukira adegan-adegan itu hanya kusaksikan di sinetron, tapi buruknya ternyata aku mengalaminya sendiri.

Saat itu aku tidak sedang menjalin hubungan serius dengan siapa pun, namun ada seorang lelaki yang sedang mendekatiku. Namanya Sam. Dia seorang barista sebuah kedai kopi di batas kota yang cukup kerap kukunjungi. Awal mula perkenalan kami ketika aku memesan kopi sambil menenteng sebuah buku bertema ekonomi. Lantas ia bertanya tentang kampus dan jurusanku. Mengejutkan saat mengetahui ternyata kami pernah belajar di tempat yang sama. Dia adalah adik tingkatku di kampus walau aku merasa tak pernah melihatnya. Lalu, obrolan kami mengalir begitu saja.

Seperti yang sudah-sudah, aku kerap diliputi ragu dalam hal apa pun. Baru tiga bulan aku dan Sam saling mengenal. Tentu banyak pertanyaan yang mengganjal. Apakah dia benar-benar serius denganku? Tapi karena empat kata dari Mama yang selalu mengganggu pikiranku dan desakannya yang ingin segera menimang cucu, akhirnya aku tak punya kesempatan lagi untuk menuntaskan rasa ragu itu.

***

Lima bulan menapaki biduk rumah tangga, tiba-tiba wabah melanda, dan Sam terpaksa dirumahkan karena kedai kopi di batas kota itu tak mampu lagi beroperasi. Orang-orang yang pergi wajib menggunakan penutup mulut dan hidung. Jika tak terlalu berkepentingan kami diharuskan tetap di rumah saja. Di situasi seperti itu tak mungkin warga kota pergi ke kedai kopi untuk sekadar berkumpul dengan teman-temannya. Dunia mendadak berubah dalam sekejap. Dan Sam juga turut serta.

Ia menjadi sosok yang tak kukenal. Sam sering murung berjam-jam di balkon berdebu dengan secangkir kopi yang ia racik sendiri. Aku berusaha memahaminya karena ia baru saja kehilangan pekerjaan. Aku hanya bisa menemaninya dari sebuah meja di kamar yang berbatasan dengan jendela. Dari balik jendela itu aku melakukan pekerjaanku sambil sesekali melirik ke arah Sam. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia tidak menjadi gila.

Dua tahun kemudian wabah itu akhirnya berangsur-angsur pergi, namun tidak dengan Sam. Ia tidak menjadi gila, tapi lebih dari itu: Sam tak ingin lagi bekerja. Bukankah lelaki yang tidak bekerja itu sama dengan gila? Dia tidak berusaha mencari pekerjaan. Setiap hari dia hanya meminum kopi racikannya sendiri, di balkon yang berdebu, dengan posisi ponsel horizontal dan tak kenal waktu.

Nampaknya Sam terlalu nyaman karena aku sudah bekerja dan tak menuntut apa-apa darinya. Namun kesehariannya yang tidak pernah melakukan apa-apa, yang tak ada bedanya dengan kain lap di sudut dapur itu semakin hari semakin berhasil membuatku muak. Tak apa tak berpenghasilan, tapi setidaknya ada upaya.

Aku jadi teringat Bram. Mungkin aku berharap setelah menerima Sam, kebaikan-kebaikannya semakin hari semakin terlihat. Tapi yang terjadi adalah kebalikannya. Bram dan Sam juga dua orang yang berbeda, tentu aku salah jika mengharapkan keadaan yang sama.

“Kalau kamu tetap tak ada perubahan, lebih baik pernikahan ini kita sudahi saja.” Untuk pertama kalinya aku bangga dengan diriku sendiri saat sepulang kerja aku menghampirinya di balkon berdebu dengan tak ada sedikit pun ragu.

Sam terbelalak. Kupikir ia akan membanting gelas di hadapannya, tapi ternyata tidak. Sam berlutut dan memelukku seraya memohon agar kami tetap bersama. Ragu yang tadi sedikit pun tak ada kini setitik demi setitik datang. Ragu itu semakin membulat membentuk lingkaran tatkala Sam berjanji bahwa ia akan segera berubah.

***

Pagi ini, awan kelabu bergelayut manja. Aku berada di persimpangan jalan menuju tempat kerja. Lampu merah masih menyala saat papan hijau di atas pohon trembesi itu melambai-lambai padaku. Biasanya aku tak terlalu memperhatikannya karena aku selalu membelokkan kemudi ke kiri, ke arah barat dimana tempat kerjaku berada. Namun kali ini papan hijau itu seakan berkata aku harus memutar ke kanan sekarang juga.

Jika aku mengikuti papan hijau itu dan belok ke kanan, lurus sejauh tiga kilometer aku akan menemukan Kantor Polisi, Kantor Bupati, kemudian beberapa meter lagi aku akan berpapasan dengan Kantor Pengadilan Agama. Sepertinya kantor terakhir itulah yang ingin papan hijau tunjukkan.

Perjalananku sebenarnya dekat, tapi entah mengapa kali ini terasa jauh sekali. Aku masih berpikir harus mengarahkan kemudi ke kenan atau ke kiri. Aku ingin mempertahankan rumah tanggaku, tetapi aku merasa hanya berjuang sendiri. Namun jika memutuskan untuk berpisah, rasa-rasanya aku seperti mempermainkan pernikahan. Masalahku mungkin tak seberat orang lain tapi mengapa aku begitu mudah menyerah.

Sudah berbulan-bulan sejak Sam berlutut seraya memelukku dan berjanji akan segera berubah. Namun kenyataannya tetap sama seperti sejak wabah melanda. Ia masih meminum kopi racikannya sendiri, di balkon yang berdebu, dengan posisi ponsel horizontal dan semakin tak kenal waktu.

Tiap kali aku ingin menegur dan menagih janjinya, aku kembali diliput ragu. Mungkin kau bertanya mengapa ragu itu terus menyembul? Karena aku tak bisa membohongi diriku sendiri, bahwa sisa-sisa cinta itu sebenarnya masih bersemayam banyak di lubuk hatiku.

Lampu merah yang nyalang sebentar lagi akan padam. Sampai ia berubah menjadi hijau, itu menunjukkan bahwa waktuku untuk berpikir tinggal sedikit lagi. Namun perjalanan ragu ini rasanya akan terasa jauh, jauh sekali.

*) Image by istockphoto.com