Dalam sebuah status Facebook-nya penyair Malkan Junaidi mengatakan bahwa di antara novelis-novelis Indonesia nyaris hanya Pramoedya Ananta Toer saja yang mampu benar-benar menyedot minat-baca-novelnya. Yang lain, menurutnya, terlalu sibuk bergenit-genit dalam bertutur, mendedahkan detail-detail yang dianggapnya tidak begitu penting bagi bangunan fiksi mereka. Malkan memang tidak mengelaborasi pendapatnya ini—baik itu tentang apa yang ia anggap bagus dari novel-novel Pram maupun tentang kegenitan dalam bertutur itu sendiri—tetapi kita agaknya bisa menyimpulkan seperti ini: bagi Malkan, gaya bertutur dalam sebuah fiksi—atau karya sastra—adalah semata kendaraan bagi ide, gagasan, atau pesan; sesuatu yang berusaha dikemukakan si pengarang kepada pembaca[1].

Malkan tentu tidak sendiri. Banyak di antara para pekerja sastra kita yang berpikir, kurang-lebih, seperti itu. Linda Christanty, misalnya. Bagi Linda gaya bertutur dalam sebuah fiksi tak ubahnya pakaian; si pengarang memilih gaya bertutur tertentu sebab ia merasa itu yang paling tepat untuk “situasi” yang hendak dihadirkannya di dalam fiksinya itu[2]. Tentu ini sepenuhnya masuk akal. Dan membantahnya, bisa jadi, cenderung membuat kita tampak bebal, konyol, bahkan bodoh. Tetapi saya kira itu dikarenakan kita saat ini berada dalam realitas di mana seni konseptual (conceptual art) sedang sangat dominan, dan itulah yang akan saya coba bahas di tulisan ini.

Seni Konseptual

Seni konseptual[3], atau tepatnya seni rupa konseptual, muncul dan tumbuh di Barat (Eropa-AS) pada 1960-an, di mana para pekerja seni di sana ketika itu sudah mulai jenuh—bahkan jengah—dengan aliran-aliran seni rupa yang tengah saling bertarung menuju kehancurannya masing-masing seperti ekspresionisme abstrak, minimalisme, dan (seni) pop. Namun benih-benihnya sesungguhnya telah muncul jauh sebelum itu, bahkan ketika kiblat seni rupa dunia belum berpindah ke Amerika Serikat—sebelumnya Eropa. Marcel Duchamp, seniman dada yang terkenal itu, kerap dianggap berjasa atas muncul dan tumbuhnya seni konseptual. Pemberontakan Duchamp terhadap tradisi seni rupa Eropa saat itu, seperti dengan menggunakan barang-terpakai (ready-made) sebagai salah satu komponen utama karya-karya seninya, dinilai menginspirasi sejumlah seniman setelahnya. Mereka, para seniman yang memelopori seni konseptual itu, meyakini bahwa proses-proses yang ditempuh seorang seniman adalah karya seninya yang sesungguhnya; dan ini jauh lebih penting ketimbang bentuk (form) karya itu sendiri. Dan di balik proses-proses tersebut, ada konsep yang melandasinya, yang menjadi titik tolaknya.

Dalam seni konseptual, sebagaimana dikatakan Sol Lewitt[4] dalam “Paragraph on Conceptual Art” (1967)[5], ide atau konsep adalah aspek yang paling penting dalam sebuah kerja seni; ia menciptakan si karya seni; bisa juga kiranya dikatakan ia adalah ruh si karya seni dan karenanya ia menggerakkan si karya seni. Di sini, yang ditekankan adalah perencanaan-perencanaan dan keputusan-keputusan yang dibuat (dan dituntaskan) sebelum eksekusi bentuk dimulai; bahkan eksekusi ini sendiri dinilai tidak begitu penting, bisa dikerjakan secara asal-asalan—atau mungkin oleh orang lain. Dengan begini kerja seni seorang seniman relatif terbebas dari keterampilan atau kemampuan teknis (craftsmanship), satu hal yang justru dianggap krusial dalam tradisi seni rupa ketika itu. Seni konseptual adalah sebuah jalan baru dalam berkesenian, sebuah tawaran revolusioner yang menyikapi tradisi secara ekstrem. Di saat yang sama, ia “menjanjikan” diri-alamiah baru dari seni itu sendiri (nature of art).

Meski tidak memosisikan bentuk sebagai sesuatu yang krusial, tidak berarti seni konseptual adalah aliran seni yang anti-bentuk. Yang benar adalah ia tidak membatasi si seniman untuk hanya terpaku pada satu bentuk saja, melainkan justru membebaskannya, memberi keleluasaan kepada si seniman untuk memanifestasikan ide atau konsepnya itu dalam beragam bentuk—termasuk yang bentuknya tak kasatmata atau immateriil. Yang penting, sekali lagi, bentuk itu disesuaikan dengan konsep; ia semacam perpanjangan belaka dari konsep.

Apabila pada umumnya seni rupa berupaya mengusik mata dan perasaan para penikmatnya, tidak begitu halnya dengan seni konseptual; yang disasarnya adalah pikiran mereka. Karena itulah karya seni yang berada dalam ruang seni konseptual harus memiliki konsep yang kuat, sesuatu yang mampu membuat para penikmatnya itu menggeser—bahkan mengubah—perspektif mereka; kualitas sebuah karya seni dalam perspektif seni konseptual dengan demikian juga sangat tergantung pada kuat-tidaknya konsep tersebut. Bentuk karya itu sendiri, dalam hal ini, seperti berada di balik layar; kontras sekali dengan kenyataan bahwa yang pertama kali dihadapi para penikmat adalah bentuk tersebut. Seni konseptual memang mengistimewakan konsep dan nyaris tak menyertakan bentuk dalam menilai kualitas karya seni. Lebih jauh lagi, seni konseptual bahkan menganggap penilaian kualitas karya seni yang terfokus—atau bertumpu—pada bentuk sebagai sesuatu yang buruk, sesuatu yang harus dihindari jauh-jauh.

Joseph Kosuth[6], dalam “Art After Pilosophy” (1969)[7], mengatakan bahwa penilaian yang terakhir disebut tidak menambahkan pengetahuan apa pun terhadap perspektif kita atas diri-alamiah seni, bahwa ia hanya menjelaskan ulang saja apa-apa yang telah dijelaskan sebelumnya; dan itu artinya karya seni yang (teramat) bertumpu pada bentuk hanyalah perulangan dari karya-karya seni sebelumnya, semacam perpanjangan belaka dari tradisi seni yang stagnan itu. Lebih jauh lagi, Kosuth bahkan menyebut karya seni semacam itu sebagai karya seni yang tak menyertakan pikiran (mindless art). Sebuah karya seni yang bagus, dalam kaca matanya, adalah karya seni yang mempertanyakan (ulang) diri-alamiah seni. Ia merangsang kita untuk membayangkan seperti apa wujud kesenian yang baru dan lain—jika ada.

Satu hal yang perlu digarisbawahi dari sikap Kosuth ini: ia mendambakan inovasi dan orisinalitas. Tentu sebagai seorang seniman konseptual (conceptual artist) yang menjadi perhatian utamanya adalah eksplorasi konsep; bahwa seorang seniman harus senantiasa tergerak untuk menawarkan konsep-konsep baru yang dengan itu ia memperoleh orisinalitasnya—ia jadi berbeda dari seniman-seniman lain. Bentuk, dalam perspektif ini, adalah bahasa; dan sementara para seniman menggunakan bahasa-bahasa yang mungkin berbeda, apa yang mereka katakan relatif itu-itu saja—repetitif, tak menarik, membosankan. Yang kemudian ditawarkan seni konseptual, sebagaimana diyakini Kosuth, adalah seni (rupa) yang penekanannya ada pada mencari sesuatu yang baru untuk dikatakan, terlepas dari bahasanya itu sendiri baru atau tidak.

Marcel Duchamp bisa dijadikan contoh. Karya seni kontroversialnya yang berjudul Fountain (1917), misalnya, sebuah urinoir yang ditaruh dalam posisi yang tidak semestinya—antara miring 90 derajat atau terbalik atas-bawah—dan dibubuhi tanggal dan tanda tangan atas nama R. Mutt, memaksa kita untuk memikirkan ulang apa yang membedakan karya seni dari barang hasil industri, sesuatu yang kita gunakan di keseharian kita. Di sini Duchamp, seperti diyakini Kosuth, menawarkan perspektif baru tentang seni, dari semula mempertanyakan bentuk ke mempertanyakan fungsi. Kita tahu persis bahwa urinoir tersebut tidak akan dilihat sebagai sebuah karya seni apabila ia berada di kamar mandi dan diposisikan sesuai fungsinya, namun oleh Duchamp urinoir tersebut dilepas-bebaskan dari fungsinya, dan disajikan kepada kita sebagai sesuatu yang lain, dalam konteks yang benar-benar lain. Duchamp menyentil kita yang kerap melihat seni sebagai persoalan bentuk atau tampilan luar semata. Di saat yang sama, ia menawarkan perspektif lain: seni, barangkali, sesungguhnya selalu tentang konsep.

            Kini, jauh setelah karya fenomenal Duchamp tersebut dipamerkan, seni konseptual telah menjadi aliran seni rupa yang sangat dominan; bahkan ia telah berada di posisinya ini selama beberapa dekade, dan mungkin masih untuk beberapa dekade lagi. Mengapa ia sampai menjadi sangat dominan adalah hal yang rumit; butuh ruang dan waktu yang lebih lapang untuk menjelaskannya. Satu hal yang pasti, seni konseptual terbukti mampu berjalan beriringan dengan aliran-aliran seni lain, tentunya sebagai pusat atau pemberi komando. Jeff Koons, misalnya, meminjam dan mengeksplorasi bentuk-bentuk dada (Duchamp) dan surrealisme (Dali)—juga pop (Warhol)—dalam karya-karyanya, tetapi di balik itu ada konsep yang menggerakkan itu semua; bentuk-bentuk tersebut patuh pada konsep yang dituntaskan Jeff Koons di dalam pikirannya. Damien Hirst, di sisi lain, tidak segan-segan “memanfaatkan” keterampilan “seniman” lain untuk membantunya mengongkretkan secara sempurna konsep-konsep yang telah dimatangkannya di dalam benaknya. Jeff Koons dan Damien Hirst, adalah dua di antara beberapa seniman kontemporer yang tengah berada di puncak kesuksesan, dan mereka berutang teramat banyak pada seni konseptual. Mereka tidak akan bisa menjadi seperti saat ini apabila seni konseptual tidak pernah berkembang, apalagi tidak pernah ada.

Membebaskan Sastra dari Pengaruh Seni Konseptual?

Bahwa kita hidup dalam realitas di mana seni konseptual sedang sangat dominan, mudah saja bagi kita untuk melihat seni konseptual sebagai sesuatu yang ada dari sananya (taken for granted), dan kita pun melakukan kerja-kerja sastra dalam pengaruh seni konseptual—bisa jadi tanpa kita sadari. Tetapi apakah seni konseptual memang telah masuk ke kita? Tentu saja. Mengamati perkembangan seni rupa di tanah air, misalnya, kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa pengaruh seni konseptual justru sangat kuat di sana. Sangat kuat, dan mengakar. Kalaupun kita selama ini merasa kerja-kerja sastra kita terbebas dari pengaruh seni konseptual, itu kiranya lebih karena kita tidak tahu apa itu seni konseptual dan bagaimana ia memengaruhi kita. Dan ketika kita sudah mengetahuinya, yang harus kita lakukan kemudian adalah memikirkan ulang kerja-kerja sastra kita itu, apakah kita perlu mengubahnya atau bagaimana.

Perspektif Malkan dan Linda tentang gaya bertutur dalam fiksi tadi, misalnya. Jelas, itu masuk akal. Tetapi coba kita geser posisi berdiri kita; jika sebelumnya kita berada di dalam ruang di mana pengaruh seni konseptual sangat kuat, kita coba pindah ke ruang lain di mana pengaruhnya tidak begitu kuat, bahkan relatif lemah. Satu hal yang harus kita sadari: seni konseptual lahir, beberapa dekade lalu, dalam konteks tertentu. Dan konteks tentulah berubah seiring waktu berlalu. Saat ini, misalnya, aliran-aliran seni rupa yang dulu dilawan seni konseptual seperti ekspresionisme abstrak dan minimalisme tidak bisa lagi disebut aliran-aliran seni rupa yang dominan; masa-masa keemasan keduanya telah lewat dan yang kita dapati saat ini hanyalah sisa-sisanya saja, residu belaka, yang tak mungkin signifikan. Yang saat ini dominan, dan signifikan, justru seni konseptual itu sendiri. Maka jika kita berpikir sebagai seorang seniman seperti halnya Joseph Kosuth tadi, mestilah, yang kita bayangkan adalah sebuah perspektif lain, sebuah diri-alamiah seni yang lain, yang akan membawa kita keluar sepenuhnya dari cengkeraman seni konseptual—jika itu mungkin.

Lagipula seni konseptual, meski berhasil menjadi yang dominan, sesungguhnya memiliki sejumlah kekurangan. Pertama, ia terlampau mendewakan konsep, dan di saat yang sama menyepelekan bentuk. Akibatnya keterampilan dalam mengeksekusi bentuk jadi sesuatu yang tak bernilai, padahal keterampilan ini mestilah tak dimiliki oleh setiap orang dan karenanya layak mendapatkan apresiasi positif. Kedua, seni konseptual memberi ruang yang cukup lapang bagi seorang seniman untuk menutupi kelemahannya dalam mengeksekusi bentuk, bukannya memaksa si seniman untuk berlatih dan berlatih. Ketiga, jika memang yang didorong seni konseptual adalah munculnya proposisi baru, sesuatu yang baru untuk dikatakan, mestinya tidak jadi soal proposisi tersebut ditawarkan lewat bentuk, sedangkan seni konseptual menolak kemungkinan ini. Bentuk memang umumnya dilihat seorang seniman konseptual sebagai bahasa semata, tetapi jika digarap dengan tepat, dan dibarengi konsep yang kuat, bukan tak mungkin ia pun adalah sesuatu yang baru untuk dikatakan. Seni konseptual, dengan kata lain, masih bisa dikembangkan menjadi lebih baik lagi.

Contoh konkretnya begini. Di mata Malkan dan Linda, gaya bertutur dan apa yang berusaha dikemukakan pengarang mestilah beriringan; tidak boleh masing-masing bergerak dengan caranya sendiri, ke arah yang berbeda, atau bahkan saling menihilkan. Pertanyaannya: kenapa tidak boleh? Bagaimana jika keduanya memang memiliki kesadarannya sendiri-sendiri? Bagaimana jika, baik gaya bertutur maupun apa yang berusaha dikemukakan pengarang, didesain si pengarang untuk memunculkan tegangan di antara mereka, dengan tujuan membawa pembaca ke sebuah pengalaman tertentu, lantas pemahaman tertentu? Dan bukankah ini pun semacam konsep?

Seni konseptual, selama ini, menganaktirikan bentuk tanpa pernah benar-benar mencoba mengenalnya. Yang harus kita coba lakukan, saya kira, adalah memosisikan bentuk sebagai sesuatu yang sama kuat dengan konsep, dan membiarkan interaksi di antara keduanya lebih cair. Bentuk, misalnya, boleh saja melawan konsep. Keduanya pun boleh saling menghancurkan satu sama lain. Yang penting, yang harus kita cermati, adalah proposisi di balik interaksi tersebut; sesuatu baru yang berusaha dikatakan lewat interaksi tersebut. Kita sebagai pengarang mengamati interaksi tersebut dari luar, sebagai “orang ketiga”. Dan yang kita tawarkan kepada pembaca, selain proposisi tadi, adalah juga posisi ini.

Barangkali masih agak sulit membayangkannya, dan itu wajar sebab kita terbiasa hidup—dan masih ada—dalam realitas di mana seni konseptual sangat dominan; kita berada dalam pengaruh seni konseptual bahkan saat mencoba membayangkan sesuatu. Dan berada dalam pengaruh seni konseptual, berarti terjebak pada dualisme yang banal, di mana konsep selalu di depan dan bentuk tak lebih dari sekadar alat. Keluar dari dualisme ini adalah tantangan kita, adalah sesuatu yang harus kita coba. Apa yang saya tawarkan tadi, misalnya, bahwa kita memosisikan diri kita di luar relasi konsep-bentuk, juga bahwa kita mengajak pembaca untuk berada pada posisi itu, bisa jadi sebuah alternatif. Dengan menempatkan diri di posisi tersebut, kita mungkin saja menemukan sesuatu yang lain, menemukan diri-alamiah lain dari fiksi, dari sastra. Dan pembaca pun akan menemukannya, tentunya dengan sedikit bantuan dari kita.

Seni yang Lain, Sastra yang Lain

Sekarang katakanlah, meski seni yang sangat dominan saat ini adalah seni konseptual, yang memengaruhi kerja sastra kita justru bukan itu, melainkan seni yang lain. Eskpresionisme abstrak, misalnya. Bertolak belakang dengan seni konseptual, ekspresionisme abstrak menekankan kualitasnya pada bentuk, pada produk dari eksekusi bentuk. Pada bentuk inilah sesuatu yang ingin dikatakan itu, jikapun ada, ditampilkan. Bentuk dalam perspektif ekspresionisme abstrak bukanlah perpanjangan dari konsep, melainkan konsep itu sendiri. Dan berbeda dari seni konseptual yang lebih menyasar pikiran para penikmatnya, ekspresionisme abstrak menyasar mata dan perasaan mereka, berusaha membuat mereka terisap oleh sesuatu yang kuat yang berasal dari diri personal kita, dari diri-mammalia kita. Kesedihan, kesunyian, kemarahan, kemuakan. Ekspresionisme abstrak mengajak kita untuk membiarkan diri kita terjebak dalam permainan bentuk yang ditawarkannya. Dan dari mengalami permainan bentuk ini, kita mungkin akan sampai pada sesuatu—sebuah tempat, sebuah situasi, atau yang lainnya.

Melakukan kerja sastra dalam pengaruh ekspresionisme abstrak, dengan demikian, adalah memberi penekanan pada bentuk dan menjadikan konsep sebisa mungkin tersamarkan, sebab ia telah melebur ke dalam bentuk itu; ia sesuatu yang ada di balik bentuk, di dalam bentuk, menjadi bentuk. Maka apabila seseorang menulis fiksi dengan kesadaran seperti itu, yang cenderung dilakukannya adalah mengolah gaya bertutur; mungkin mempermanisnya, atau merusaknya, atau memotong-motongnya. Sesuatu yang berusaha dikemukakan pengarang sendiri, di sisi lain, tidak akan dibiarkannya hadir sebagai sesuatu yang kasatmata; ia akan dileburkan ke dalam gaya bertutur yang diolah itu, dan akan sangat sulit bagi pembaca untuk menemukannya tanpa membiarkan diri mereka terjebak dalam permainan bentuk tersebut. Gaya bertuturnya itu adalah ekspresinya, adalah apa yang dirasakannya, adalah apa yang berusaha dikemukakannya. Sebuah fiksi yang ditulis oleh seorang ekspresionis abstrak adalah sebuah fiksi yang menawarkan gaya bertutur sebagai semacam ruang-untuk-dialami. Dan ia bisa sangat dalam, subtil, sekaligus mengusik.

Dihadapkan pada hal tersebut, perspektif Malkan dan Linda tadi lagi-lagi terbantahkan. Mungkin memang gaya bertutur dalam sebuah novel terkesan bergenit-genit, mungkin memang banyak pendedahan detail yang terkesan tak perlu, tetapi bagaimana jika itu adalah “jebakan” yang disiapkan si pengarang? Ia mungkin berharap kita membiarkan diri kita terjebak dalam gaya bertuturnya itu, terombang-ambing ke sana kemari, tersesat, dan kelak merasakan sesuatu, dan kelak mendapatkan atau sampai pada sesuatu. Tentu ini harus diperiksa dulu apakah memang si pengarang meniatkannya demikian atau tidak. Jika ternyata iya, jelas, ia menulis novel itu dalam pengaruh ekspresionisme abstrak—meski mungkin ia tak benar-benar menyadarinya.

Perihal gaya bertutur dalam fiksi ini memang terlihat sederhana jika kita hanya memiliki satu perspektif saja, yakni perspektif seorang penulis-pembaca; perspektif yang bertolak sepenuhnya pada teks. Akan berbeda jika kita juga memiliki sejumlah perspektif lain. Jika perspektif lain itu adalah perspektif seorang pematung, misalnya, kita akan memperhitungkan hal-hal seperti ruang dan tekstur ketika menulis atau membaca. Dan ini bahkan masih sederhana; kita belum bicara soal perspektif si pematung terhadap seni mematung itu sendiri, apakah ia berada di ruang seni rupa tradisional atau avant-garde atau yang lainnya.

Berkesusastraan, sebagaimana halnya berkesenian, pada akhirnya memanglah soal memperbaiki dan mengembangkan perspektif.(*)

—Bogor, 28-29 Nopember 2018


[1] Status Facebook Malkan tersebut lengkapnya begini: “salut dengan antusiasme teman-teman dalam membaca novel. buat saya pribadi, membaca novel adalah pekerjaan berat, setara mempertahankan pertemanan dengan narudin pituin.// sampai saat ini, pramoedya ananta toer nyaris satu-satunya novelis indonesia yang mampu menyedot minat baca novel saya. yang lain, menurut saya, kebanyakan terlalu sibuk bergenit-genit dalam bertutur, menyampaikan bahkan mendetail-detailkan suatu informasi yang sesungguhnya tak krusial bagi bangunan fiksinya. malesi.” (Dipacak pada 24 Nopember 2018.)

[2] Saya ingat betul pernah membaca penjelasan Linda ini di sebuah tulisan, tetapi sayangnya saya belum berhasil menemukan tulisan tersebut.

[3] Di tulisan ini saya memakai “seni konseptual” untuk menegaskan bahwa aliran seni rupa yang satu ini tidak mengharuskan adanya rupa atau bentuk yang konkret.

[4] Seniman Amerika Serikat; kerap dihubungkan dengan Seni Konseptual dan Minimalisme. Lahir pada 9 September 1928 dan wafat pada 8 April 2007.

[5] Bisa diunduh di www.corner-college.com/udb/cproVozeFxParagraphs_on_Conceptual_Art._Sol_leWitt.pdf.

[6] Seniman konseptual Amerika Serikat; lahir pada 31 Januari 1945.

[7] Bisa diunduh di www.lot.at/sfu_sabine_bitter/Art_After_Philosophy.pdf.