Mimpi-mimpi itu terus datang berulang dalam tidur Runggana. Di tengah hujan deras, Ayahnya yang telah penuh luka terpuruk di tanah berbatu yang telah penuh darah, dan belasan orang berpenutup wajah tak henti menendanginya. Seseorang di antara mereka, kemudian mengayunkan balok kayu ke kepala Ayah.
Dari jauh, Runggana yang waktu itu masih berumur 7 tahun, hanya bisa berteriak panjang. Ibu dan saudaranya yang lain hanya bisa memegangi tubuhnya. Hujan kemudian sedikit membantunya, penutup wajah pemegang balok kayu itu terlepas, dan ia langsung bisa mengenali wajah laki-laki itu.
Dan selalu, di saat seperti itulah Runggana terbangun dengan napas memburu.
***
Tanpa terasa 20 tahun telah berlalu dari kejadiaan naas itu. Dariyono akhirnya kembali ke desanya dengan disambut suka cita keluarganya. Mereka membuat syukuran kecil-kecilan dan mengundang beberapa kerabat lainnya.
Ibu Dariyono yang semakin tua, memeluk erat anaknya. Istrinya pun menangis, sementara tiga anaknya telah dewasa juga tak henti memeluknya. “Kami senang Ayah kembali,” ujar anak tertua seperti mewakili semuanya.
Dariyono tak bereaksi berlebihan. Tubuhnya kini memang terlihat kurus dan lemah. Dulu sewaktu meninggalkan desa, ia adalah lelaki bertubuh tegap. Ia kuat dan bisa melakukan pekerjaan apa pun. Itulah kenapa dulu, ia dipilih menjadi kepala desa.
Dariyono mencoba memandang sekeliling rumahnya, tapi pandangannya tak bisa terlalu bebas, karena semua orang yang ada di rumah ini seperti terus mengelilinginya.
“Apa rencanamu ke depan?” tanya salah satu kerabat dekatnya.
Dariyono tak langsung menjawab. Ia malah membuang pandangannya ke arah pintu. Nampak hanya kegelapan di sana. Namun semua orang seperti tahu apa yang tengah dipandanginya. Jauh di seberang sana, ada rumah keluarga Talim, orang yang dulu telah dibunuhnya.
Romado, yang kini merupakan kepala desa Desa Gawar-gawar, menggeser duduknya mendekati Dariyono. “Sudah 20 tahun berlalu,” ujarnya, “tak perlu diingat-ingat lagi! Bagaimana pun juga keluarga Talim sudah memaafkan kejadian itu. Bantuanmu selama 20 tahun ini, selalu mereka terima. Anak-anaknya bahkan lulus sekolah karena beasiswa darimu.”
Dariyono tersenyum samar. Ah, semua nampak baik-baik saja.
***
Bagi Talim, Desa Gawar-gawar adalah surga yang dihuninya. Ia merasa sangat beruntung bisa menetap si situ. Desa ini begitu tentram dan punya pemandangan alam paling sempurna. Sawah-sawah yang subur, sungai-sungai penuh ikan yang menyebar merata nyaris di seluruh sudut desa, juga hutan kecil yang teduh dengan burung-burung bersuara indah yang tak pernah ditangkap. Belum lagi adanya pantai tersembunyi di baliknya. Pantai indah, dengan pasirnya yang lembut dan dipenuhi kerang-kerang dan bintang laut.
Sejak kecil, Talim sering berlarian di tempat-tempat itu. Tubuhnya yang kecil dan lincah membuat kawan-kawannya memanggilnya: Pelanduk. Sampai ia dewasa nama itu tetap tersemat padanya: Talim Pelanduk.
Tapi semua berubah saat penambang-penambang pasir itu datang. Awalnya hanya satu-dua truk saja. Dan warga membiarkan itu. Tapi semakin lama semakin banyak truk yang datang. Mereka membelah hutan, membuat burung-burung meninggalkan sarang mereka. Yang semakin parah karena pasir yang ditambang semakin banyak, saluran irigasi sawah yang sudah dibuat dengan memanfaatkan sungai-sungai kecil yang tersebar, menjadi rusak. Padi pun tak bisa ditanam akibat air laut mulai menggenangi persawahan. Itu adalah efek langsung setelah pasir di pesisir terus dikeruk.
Waktu itu, Talim Pelanduk hanyalah petani biasa. Ia pemilik petak sawah yang tak seberapa. Namun selama ini, itulah petak tanah yang menghidupi dirinya dan keluarganya. Jadi saat tanah tak lagi bisa ditanami, ia bersama sahabatnya Toro dan beberapa petani lainnya segera mendatangi Kepala Desa Dariyono. Mereka ingin mempertanyakan izin yang diberikan kepala desa pada truk-truk itu.
“Kau tahu, Lim,” ujar Toro di tengah perjalanan, “aku dengar sebenarnya ada satu pengusaha besar dari kota yang mengeruk pasir-pasir itu. Ia sengaja menyembunyikannya seakan-akan truk-truk itu datang dari berbagai tempat. Tentu untuk izin itu, ia memberi uang yang tak sedikit untuk kepala desa.”
Talim Pelanduk hanya mengangguk. “Aku juga sudah mendengar itu. Tapi kita tak bisa menuduh begitu saja karena tak ada bukti apa pun.”
Sampai di depan Kepala Desa Dariyono, dengan santai kepala desa itu membalas pertanyaan Talim Pelanduk, “Kalian ini belum sadar juga rupanya. Inilah yang disebut perkembangan zaman. Bertahun-tahun kalian jadi petani, bahkan kalian tak bisa mengaspal jalan desa kita. Lihat para pengusaha itu. Kita hanya memberi izin, dan tak butuh waktu lama jalanan teraspal. Istrimu juga kemarin menerimakan bantuan sembako dan hadiah peralatan sekolah buat anak-anak kalian bukan?”
Talim Pelanduk dan Toro hanya bisa menggeretakkan gigi mereka.
“Aku ini kepala desa, dan di desa ini tak hanya para ada petani yang hidup. Kalau kalian para petani bisa memakmurkan desa ini seperti para pengusaha itu, pasti aku akan langsung menghentikan izin itu. Kalian bisa tidak?”
Talim Pelanduk dan Toro hanya bisa diam tak menjawab. Tapi satu yang pasti, kini mereka tahu kalau kepala desa tak ada di pihak mereka. Maka atas usulan salah satu warga, mereka kemudian meminta tolong sebuah LSM yang fokus pada lingkungan hidup. Atas bantuan LSM itulah apa yang terjadi di Desa Gawar-gawar menjadi cukup terekspos di media.
***
Malam ini, Kepala Desa Romado datang ke rumah Dariyono.
“Aku baru saja menyerahkan bingkisan pada keluarga Ibu Talim,” lapor Kepala Desa Romado. “Dan mereka … kembali menerimanya, seperti yang sudah-sudah.”
Dariyono tersenyum samar. Diam-diam ia gembira karena pengusaha yang dulu dibantunya itu benar-benar menepati janjinya. 20 tahun lalu, selama persidangan, ia tak pernah menyebutkan namanya sekali pun, dan ini adalah caranya membalas kesetiaannya: dengan terus menghidupi keluarganya, serta memberi santunan bagi keluarga korban.
Bagaimana pun sekarang ia belumlah terlalu tua. Ia masih bisa menjadi sesuatu. Mungkin kepala desa kembali, atau bahkan … kepala lurah atau camat. Jadi ia harus sesegera mungkin membersihkan namanya kembali, dan yang pasti menyelesaikan semua permusuhan. Dan untunglah istri Talim itu hanya perempuan biasa. Ia pasti kebingungan bagaimana membesarkan 4 anaknya yang masih kecil kala itu. Jadi ia sudah menjadi penolong mereka selama ini. Ia santai saja. Toh, uangnya pun bukan darinya.
Dariyono ingat semua bermula dari 20 tahun lalu. Betapa marah pengusaha itu saat truk-truk miliknya dihadang massa yang menolak penambangan itu, para petani dan relawan LSM. Empat truk kemudian dibakar, dan hampir satu bulan kemudian jalanan menuju pantai ditutup. Kemarahan itu langsung dilampiaskan pengusaha itu pada Dariyono.
“Aku seperti memberi makan badut yang tak bisa apa-apa!” serunya.
“Massa terlalu banyak, dan kami tak bisa melawannya!” Dariyono masih berusaha mencari alasan.
“Kau ini seperti orang baru belajar saja! Untuk urusan begini, harusnya kau tahu apa yang harus dilakukan. Beri pelajaran provokatornya! Cuma itu yang bisa meredakan massa!”
Maka itulah, di saat hujan turun dengan lebatnya di Desa Gawar-gawar, Dariyono dan belasan centeng yang diperintahnya memakai penutup wajah, mendatangi rumah Talim Pelanduk. Mereka kemudian menarik Talim Pelanduk yang saat itu sedang bersama Toro, ke jalanan. Di situlah mereka menghajar dua orang itu tanpa ampun.
Dalam hujan lebat, Dariyono berpikir tak akan butuh waktu lama menyelesaikan pekerjaan ini. Hanya menit saja, Toro bahkan sudah terkapar tak lagi bergerak. Tapi Talim Pelanduk memang bukan orang yang mudah, walau sudah terluka dan penuh darah, ia masih terus membalas. Jadi Dariyono kemudian mengambil balok kayu besar dan menghajarkannya pada kepala Talim Pelanduk. Kali ini Talim Pelanduk jatuh terkapar tanpa bisa lagi bergerak. Seiring itu angin berhembus melepas penutup wajah Dariyono.
***
Pertemuan kedua keluarga itu akhirnya dilaksanakan atas inisiatif Kepala Desa Romado.
Bagaimana selama 20 tahun ini sebenarnya semua pihak dapat dikatakan telah kalah. Para penambang yang sudah mengeruk pasir selama hampir 15 tahun, kini telah meninggalkan Desa Gawar-gawar dalam kerusakan yang parah. Tapi Tuhan masih berbaik hati. Bagaimana pun sakitnya, alam akan mencari jalan untuk mengobati dengan caranya sendiri. Lima tahun berjalan, keadaan mulai nampak membaik. Memang pantai yang indah sudah tak lagi ada, tapi hutan tempat truk-truk itu dulu melintas kini mulai bertumbuhan, dan mulai didatangi kembali burung-burung. Air laut yang menggenangi sawah pun mulai surut, dan sungai-sungai kecil mulai nampak beriak kembali.
Itulah kenapa Kepala Desa Romado merasa ini adalah waktu yang tepat untuk rekonsiliasi. Ia kemudian mempertemukan dua keluarga di balai desa.
Dalam sambutannya, Kepala Desa Romado berkata, “Saya sebagai kepala desa yang baru tak ingin ada bibit permusuhan yang besar di antara warga saya. Untuk itu saya berterimakasih atas dukungan para warga yang mendukung rekonsiliasi ini, terutama untuk kebesaran hati Ibu Talim dan keluarga yang mau memaafkan Bapak Dariyono.”
Lalu acara yang ditunggu pun tiba, saatnya bersalam-salaman untuk melunturkan segala dosa. Dariyono mendekati Runggana yang kini telah dewasa. Sekilas Runggana mengingat kembali mimpi-mimpinya, juga bisikan Ibunya sebelum mereka tiba di sini. “Hanya kau anak laki-laki satu-satunya Ayahmu! Kau yang harus melakukannya! Hutang nyawa haruslah dibalas nyawa!” Jadi dengan terus tersenyum, Runggana secepat kilat mengeluarkan belati yang sudah disiapkannya, dan langsung menusukkannya pada leher Dariyono. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Sampai warga berhasil menghentikannya, tak ada yang tahu berapa kali belati itu ditusukkan.
*) Image by istockphoto.com