Saat masih tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan, aku pernah berniat pada diri sendiri. Jika suatu saat aku pindah ke Jawa dan diberi rezeki punya mobil, aku akan menyetir seorang diri keliling pulau itu. Saat itu aku baru kembali dari menyetir seorang diri berkeliling Sulawesi Selatan. Tak dinyana, oleh kantor tempatku bekerja, aku dimutasi ke Jakarta.

Awalnya niat dan nazar itu sempat terlupakan. Seiring mulai seringnya aku traveling, tetiba aku teringat nazar itu. Nazar adalah janji, janji adalah hutang dan harus dibayar. Aku mulai merencanakan perjalanan seorang diri berkeliling Pulau Jawa. Karena berjalan seorang diri, aku bisa mengatur waktu keberangkatan dan tempat-tempat yang akan dikunjungi sesuka hati. Awalnya aku ingin membuat itinerary. Tempat-tempat wisata dan bersejarah yang “must be visited” mulai dicari. Namun tiba-tiba aku berubah pikiran. Kenapa harus menggunakan itinerary detail seperti itu? Kenapa tak mencoba jalan saja nanti akan ke mana terserah. Yang penting berkeliling Jawa. Cukup menentukan rute saja. Itupun dibuat simple, memutari Pulau Jawa lewat pesisir Utara dan Selatan.

Rute sudah di tetapkan. Jakarta – Pantai Selatan – Banyuwangi – Pantai Utara – Jakarta. Mobil sudah dimasukkan ke bengkel untuk tune up seminggu sebelumnya. Semua kunci-kunci, ban serep dan persediaan logistik selama perjalanan sudah tersusun rapi di kabin belakang mobil. Kursi sengaja dilipat agar lebih luas. Selain untuk tempat barang, juga untuk berjaga-jaga andai harus tidur di mobil karena tak bertemu hotel atau penginapan.

Singkat kata, perjalanan dimulai. Cuaca mendung menggelayut di langit Jakarta saat aku mulai meninggalkan rumah di bilangan Cibubur. Cuti 1 minggu sudah disetujui atasan. Kebetulan di sela-selanya ada hari libur nasional. Jadi aku akan berkelana selama 10 hari berkeliling Jawa. Tak ada reservasi hotel atau penginapan seperti selama ini selalu aku lakukan di setiap perjalanan. Kecuali di Jogjakarta. Majalah tempatku sering mengirim tulisan saat itu memberikan voucher menginap di salah satu hotel di sana. Selebihnya, aku akan berhenti dan tidur di mana aku sudah lelah.

Banten adalah provinsi pertama yang aku lewati. Pantai Carita dan Anyer yang menyuguhkan pemandangan indah. Semilir angin sepoi Selat Sunda terasa menyejukkan hati dan membakar semangat di awal perjalanan. Aku seperti menghirup udara kebebasan, setidaknya untuk 10 hari ke depan. Aku bebas melakukan apa saja dan pergi ke mana saja. Tetap pada prinsip, “Jangan mengganggu orang lain, jangan menyusahkan orang lain, dan jangan bergantung pada orang lain”. Itulah inti dari perjalanan yang dilakukan seorang diri. Anggap saja uji nyali sebagai seorang lelaki dan manusia mandiri.

Hari pertama dan kedua masih berada di pesisir pantai selatan meliputi area Banten dan Jawa Barat. Hanya mampir sejenak di Mercusuar Anyer dan Pantai Bayah. Perjalanan lancar dengan keasyikan sendiri menyetir sambil memutar lagu-lagu dari tape mobil. Terkadang sambil bernyanyi. Bukan untuk mengusir kebosanan karena aku sama sekali tak merasa bosan. Itu hanya sekedar ekspresi kegembiaraan. Meskipun beberapa lagu terkadang terlalu lembut.

Hari ke-3 perjalanan mulai memasuki Jogjakarta. Tak banyak yang harus aku kunjungi di Kota Gudeg itu. Aku pernah tinggal di sana. Aku sekadar mampir ke salah satu bengkel untuk memastikan kondisi mobil yang aku beri nama Qashwa. Yah betul, sama dengan nama Unta Rasulullah Muhammad SAW. Qashwa bagiku juga seekor unta yang terbuat dari besi.  Mengecek kelayakan kendaraan perlu selalu dilakukan dalam satu perjalanan berkendara. Meskipun tak ada kejadian apapun, aku hanya ingin memastikan seluruhnya aman. Saat melewati pesisir Pantai Bayah dan Ujung Kulon kemarin, beberapa ruas jalan berbatu bahkan hanya pengerasan. Montir hanya melakukan pengecekan ke bagian kaki-kaki. Semua masih aman.

Usai dari bengkel, aku kembali mampir ke Pantai Indrayanti. Aku sudah pernah ke pantai ini. Namun aku ingin kembali menikmati pesona keindahannya sambil menikmati makan siang.

Selepas Jogja, perjalanan dilanjutkan menuju Pantai Klayar di Pacitan. Karena hari biasa, Pantai Klayar nyaris kosong. Hanya ada beberapa pengunjung lokal yang ternyata bermukim di sekitar pantai. Hari sudah menjelang maghrib. Tak ada penginapan di sekitar Pantai Klayar. Aku berniat mendirikan tenda. Namun saat itu angin pantai sangat kencang. Beberapa orang pemuda mendekatiku. Setelah berbasa-basi sejenak, salah seorang dari mereka menawarkanku untuk menginap di rumahnya yang tak jauh dari pantai. Awalnya instingku aku biarkan bekerja dulu. Apakah tawaran itu akan memberatkan dan merepotkan pemuda itu beserta keluarganya. Aku menyampaikan apa yang ada di pikiranku. Namun sang pemuda yang aku sudah lupa namanya, menyampaikan bahwa rumahnya memang kerap ditempati wisatawan lokal saat berkunjung ke Klayar dan harus menginap. Ok, berarti rumahnya memang homestay. Saat menanyakan berapa yang harus aku bayar, sang pemuda hanya menjawab,

“Tak usah dipikirkan, Mas. Aku hanya tak ingin mas berkemah dalam situasi cuaca seperti ini.”

Ahhh indahnya perjalanan ini. Selalu ada cerita, selalu bertemu dengan hal-hal dan orang-orang yang terkadang tak pernah dibayangkan. 

Tujuan berikutnya adalah Blitar. Ini kali pertama aku ke Blitar. Aku menyempatkan menginap semalam di Blitar. Keesokan harinya aku mampir nyekar di makam Soekarno, presiden pertama Indonesia.

Selepas Blitar, perjalanan berlanjut ke Jember. Di sana ada pantai yang cukup terkenal dengan nama Pantai Pasir Putih Malika atau disingkat Papuma. Salah seorang temanku yang melihat postingan di facebook ingin bergabung. Namun hanya akan sampai di Banyuwangi saja. Namanya Gilang. Aku tak keberatan. Indahnya Pantai Papuma dan perkampungan nelayannya menjadi suguhan menarik. Namun tak bisa berlama-lama. Sudah masuk hari ke 5 atau setengah perjalanan, sementara secara jarak belum sampai setengahnya.

Dari Papuma rencananya akan langsung mendaki Gunung Ijen. Gunung dengan kawah cantik dan fenomena api birunya sangat terkenal. Meskipun agak was-was karena beberapa bulan belakangan Gunung Ijen sering ditutup karena aktivitas vulkanis meningkat. Aku mengajak Gilang terlebih dahulu mampir ke tempat yang konon merupakan tempat paling angker dan horor di Pulau Jawa, Alas Purwo.

Hujan baru usai, waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Suasana horor saat kami mulai memasuki kawasan hutan yang didominasi pohon jati di kiri-kanan jalan. Kondisi jalan berbatu membuat aku harus menjalankan Qashwa dengan pelan. Tak ada siapapun. Sesekali ada motor dan mobil pengangkut daun jati melintas. Aku masih asyik ngobrol dengan Gilang. Tetiba dari kejauhan terlihat sesuatu atau lebih tepatnya seseorang. Dia duduk jongkok di pinggir jalan.

Seiring semakin dekatnya mobil, sosok itu bergerak menuju tengah jalan. Gilang gemetar, dia meminta kami berbalik. Aku memberikan kode dengan mengangkat tangan untuk diam. Kami semakin dekat dengan sosok orang itu. dia masih tetap jongkok. Saat ini dia benar-benar sudah berada tepat di tengah jalan dan di depan mobil. Gilang terdiam. Insting-ku memintaku untuk tetap tenang. Aku melongok ke orang itu dari balik setir. Aku melihatnya mengangkat tangan dan memberi tanda seperti orang meminta minum. Aku meminta Gilang mengambil air mineral dalam botol di kabin tengah mobil. Aku menggerakkan mobil ke kiri agar bisa berada di samping orang itu. Sesosok laki-laki berwajah tirus dengan tatapan mata kosong. Kami saling bertatapan. Cukup lama. Aku mengalihkan pandangan ke bagian tubuh lainnya. Dia tak mengenakan pakaian selembar benang pun. Telanjang bulat. Masih dalam posisi jongkok. Aku membuka kaca dan menyerahkan botol air mineral. Sekilas aku menangkap tatapan mata gembira. Dia mulai berjalan jongkok untuk menyingkir dari jalan. Gilang masih terdiam. Aku kembali menjalankan Qashwa. Namun beberapa detik kemudian aku melihat dari kaca spion samping dan depan, tak ada siapa-siapa! Entah sosok tadi menghilang ke mana. Aku meminta Gilang untuk menengok ke belakang namun dia tak berani.

Usai melihat beberapa spot di Alas Purwo, perjalanan kembali dilanjutkan menuju Kawah Ijen. Kami tiba di pelataran parkir saat jam menunjukkan pukul 7 malam. Tak ada siapapun. Hanya ada 1 warung yang buka. Status Ijen masih ditutup. Namun menurut bapak penjaga warung, situasi sudah aman. Tapi tidak disarankan untuk naik tengah malam untuk melihat fenomena api biru. Yah tak apalah. Cukup melihat pemandangan gunung dan kawah Ijen. Semua berjalan lancar.

Panorama Kawah Ijen yang luar biasa harus kami tinggalkan menuju pemberhentian selanjutnya, Taman Nasional Baluran. Tempat yang juga dikenal sebagai Africa Van Java ini sangat indah dan eksotis. Sayangnya saat itu musim hujan, jadi hamparan savana tandus kecoklatan tak bisa kami nikmati. Kami menyempatkan diri menginap semalam di homestay yang dikelola taman nasional.

Keesokan harinya, aku harus berpisah dengan Gilang. Dia akan kembali ke rumahnya di Banyuwangi. Usai mengantar Gilang pulang, aku kembali melanjutkan perjalanan seorang diri. Kali ini tujuannya adalah Malang. Tak banyak yang aku kunjungi di malang. Aku hanya ingin beristirahat sambil menikmati sejuknya Kota Apel itu. Perjalanan sudah memasuki titik klimaks. Banyuwangi sebagai tempat titik balik sudah terlewati. Masih tersisa 2 hari sebelum aku kembali ke Jakarta.

Selebihnya akan menyusuri pantai utara Jawa yang sudah sering aku lewati. Awalnya aku ingin mencoba pesisir pantura dengan mengunjungi Jepara. Namun dari perhitungan waktu tak memungkinkan. Aku harus mengubah tujuan. Kali ini aku memilih Kudus, kota kecil yang Namanya diambil dari kata Al-Quds, nama yang sama dengan Jerussalem. Icon masjid yang legendaris itu kerap menghiasi beberapa iklan bahkan menjadi landmark Kota Kudus.

Usai Kudus, aku menyusuri jalur pantura. Perjalanan akan usai. Semua sesuai dengan target dan keinginan. Tanpa ada rasa lelah dan kesal. Semua bisa aku atasi. Qashwa seperti biasa tetap menemaniku tanpa kendala. Jam menunjukkan pukul 11 malam saat aku tiba kembali di kediamanku di Cibubur. Speedometer menunjukkan angka 3313, itulah jumlah kilometer yang sudah aku tempuh selama 10 hari 9 malam berkeliling Pulau Jawa. Nazar dan janji terbayar sudah.