Lewat selembar kartu pos bertuliskan University of Adelaide, Australia, yang dikirimkan sang paman, Muhammad Hidayat kecil atau akrab disapa Dheyo, sudah menanam impian kuliah di Australia sejak kelas enam sekolah dasar. Pria kelahiran Dompu, 12 November 1986 itu kini sudah menggapai mimpinya dan siap mengabdikan diri di Provinsi Banten.

Minggu (6/10) siang, di areal depan Komunitas Rumah Dunia tengah berlangsung Kelas Menulis angkatan 34. Sejumlah anak muda berdiskusi dan berlatih menulis bersama Gol A Gong. Sebelumnya, Dheyo sempat berbagi pengalaman selama kuliah di Australia bersama peserta kelas menulis, berbagai pertanyaan seputar beasiswa, kepenulisan, dan kisah suksesnya kuliah di Australia pun mencuat. Dheyo ini juga alumni kelas menulis Rumah Dunia angkatan 26, lho. Seperti apa keseruannya? Yuk simak curcol-curcolnya di bawah ini!

  • Sebelum jauh membahas beasiswa dan Australia, kita penasaran dengan hal-hal kecil dulu. Nama aslinya ‘kan Muhammad Hidayat, kenapa dipanggil Dheyo?

Oh, jadi di tempat tinggalku di Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), memiliki kearifan lokal, setiap nama memiliki panggilan khusus untuk menunjukkan rasa hormat kepada yang lebih tua. Contohnya seperti nama Ahmad dipanggil Hima, Aminah dipanggil Mene, dan nama Deyo itu sebenarnya untuk panggilan Kak Hidayat, jadi aku dipanggil Deyo itu sudah dengan kata Kak, lebih sopan. Jadi jangan panggil Kak Deyo, tapi Deyo saja. Oiya, kalau dituliskan aku lebih senang ditulis Dheyo.

  • Oh begitu. Kenapa memilih melanjutkan pendidikan ke Australia?

Awalnya sih dari kartu pos pemberian pamanku yang kuliah S3 di University of Adelaide. Jadi, kalau papahku menerima kartu pos, dia selalu panggil aku. Nih, lihat pamanmu di Australia, dia sudah sampai di Australia dan sedang berjuang bertahan di enam bulan pertama agar hasil ujiannya lulus. Selain itu, tetangga juga ada yang kuliah di sana. Setiap hari aku lihat foto-foto tentang kegiatan kampus di sana. Sampai aku duduk di bangku SMP, nama kampus Adelaide dan alamatnya sudah aku catat di buku harianku. Pokoknya sejak itu mimpiku memang sudah ingin ke sana. Sejak kecil, aku juga sudah senang dengan bahasa Inggris. Sampai kuliah S1 pun aku ambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Mataram.

  • Hal apa yang paling berpengaruh dalam kesuksesan Mas Dheyo?

Doa orangtua, kehadiran istriku Iim Karimah, dan jiwa kerelawanan. Selebihnya tentu kerja keras, tekad kuat, dan fokus. Aku termasuk orang yang tidak bisa diam, sejak kuliah sudah aktif berorganisasi, menjadi relawan dan mengajar ke wilayah pelosok di NTB. Setiap ada kegiatan sosial, aku pasti daftar. Setelah lulus kuliah, aku ikut program Pencerahan Nusantara dari Millenium Development Goals dengan memberi pelatihan di bidang pendidikan dan penyuluhan kesehatan. Waktu itu juga aku bertemu dengan Iim Karimah yang sekarang menjadi istri. Percaya atau tidak, banyak keajaiban hidup yang aku dapat dari kegiatan sosial kerelawanan yang aku tekuni. Bahkan, ternyata kegiatan sosial itu membawa nilai plus saat aku mengajukan diri untuk beasiswa ke Australia. Apa pun kebaikan yang kita berikan ke orang lain pasti balik ke kita.

Dheyo dan Istri usai prosesi wisuda (doc. Dheyo)
  • Bagaimana suka duka selama kuliah di Australia?

Awalnya aku sempat lolos seleksi International Youth Forum di Rusia mewakili Indonesia, tapi karena orangtua tidak merestui, saat pengajuan pembuatan Visa terjadi kendala. Jadi batal deh ke Rusia. Pada akhirnya, takdir membawaku ke Australia. Selama kuliah Master of Education di sana, tentu aku menikmati proses pembelajarannya. Aku juga sempat menjabat sebagai Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) pada 2018-2019. Waktu itu aku merasa mendapat tugas besar karena di masa kepemimpinanku bertepatan dengan kontestasi pemilihan presiden. Tapi masa-masa yang paling berat ketika mengerjakan tesis, aku sempat drop karena kepergian Ibu. Tapi untung ada istri yang selalu menyemangati hingga aku berhasil lulus.

  • Apa rencana Mas Dheyo selanjutnya?

Sekarang aku sedang menyusun buku tentang Australia Selatan yang bakal jadi semacam buku panduan bagi mahasiswa baru Indonesia di Australia Selatan. Namun judulnya belum ketemu. Tapi sebelum buku itu selesai, aku mau selesain buku catatan perjalanan yang sembilan hari di New Zealand. Ada pengalaman berharga ketika aku mengunjungi Masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru, New Zealand, yang pada Maret 2018 lalu terjadi aksi penembakan muslim saat sedang persiapan salat jumat. Aku sudah ke masjid itu dan membayangkan bagaimana mengerikannya peristiwa itu.

  • Apakah Mas Dheyo akan tinggal dan mengabdi di Banten?

Ya, aku tinggal bersama istri di Kampung Kubang Sepat, kelurahan Citangkil, Kecamatan Citangkil, Cilegon. Sekarang sedang menunggu hasil lamaran mengajar sebagai dosen di tiga kampus ternama di Kota Serang. Aku sudah yakin, di tanah jawara ini, akan menjadi tempat mengabdiku. Ilmu yang kudapat dari Australia, akan aku berikan untuk warga Banten.

Sebetulnya masih ada serangkaian pertanyaan yang ingin ditanyakan ke belio, tapi berhubung waktu menjemput istrinya sudah tiba, kami harus memutus obrolan seru siang itu di Rumah Dunia. Belio pun pamit pergi dulu. Kalau kamu masih penasaran, bisa kepoin akun instagram-nya di: @dheyo_keanu. Nama itu pula yang belio pakai sebagai nama penanya. (Rhu).