Saya nggak akan mengawali tulisan ini dengan sederet informasi yang sudah tentu akan mudah kamu dapatkan di search engine mengenai sosok yang akan Kurungbuka tampilkan kali ini.
Ia Ahmad Mustafa alias Adham T Fusama, penulis beberapa novel yang nggak akan saya sebutkan satu per satu judulnya di sini karena, sekali lagi, mengenai itu bisa dengan mudah kamu dapatkan di search engine.
Beberapa waktu lalu saya menerima pesan dari Pemred Kurungbuka. Isinya meminta saya untuk mewawancarai Ahmad Mustafa, penulis yang naskah novelnya, Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman, berhasil meraih juara kedua dalam Sayembara Novel DKJ 2018. Proses kreatifnya selama menggarap novel itulah yang ingin saya kulik dan bagikan padamu. Awalnya saya agak ragu menyanggupi permintaan itu karena dua alasan:
Pertama, karena sudah lama sekali rasanya saya nggak mewawancarai orang lain, terutama penulis. Seingat saya, terakhir kali mewawancari seorang penulis adalah tahun 2013 lalu. Waktu itu saya mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai langsung seorang travel writer, Agustinus Wibowo, yang tengah berkunjung ke Rumah Dunia, demi mengisi salah satu rubrik di majalah Blitz, majalah remaja lokal Banten. Selebihnya kemudian saya lebih suka mewawancarai diri saya sendiri.
Kedua, karena belakangan ini saya sudah jarang menuliskan hal-hal serius. Saya lebih suka dan lebih nyaman menuliskan hal-hal remeh dengan gaya yang juga terkesan remeh dan kadang agak sinting. Saya pikir Kurungbuka memang media yang kiblatnya nggak nyastra banget serupa majalah Horison dan sejenisnya, tapi tetap saja ragu apakah gaya menulis saya akan cocok untuk Kurungbuka.
Dua alasan kenapa pada akhirnya saya menyanggupi permintaan dari Pemred Kurungbuka adalah, pertama, karena ia meyakinkan saya bahwa saya dibebaskan menuliskan hasil wawancaranya dengan gaya sendiri. Nggak harus menuliskannya dalam bentuk feature, nggak perlu nyastra, nggak perlu terlampau serius. Kedua, karena ia memintanya dengan nada memelas dan melempari saya dengan pujian yang tentu saja berupa fakta adanya. Oke, saya tahu ini bukan waktunya menyombongkan diri. Kamu nggak usah melotot begitu.
Kembali pada Ahmad Mustafa. Saat pertama kali membaca judul novelnya yang memenangkan juara kedua dalam Sayembara Novel DKJ 2018 itu, yang pertama kali berkelebat di kepala saya adalah Tasya. Tolong jangan tanya kenapa karena sekarang bukan lagi waktunya membahas tentang diri saya. Kemudian muncul pertanyaan iseng, itu si Anak Gembala kenapa memilih tidur panjangnya pas di akhir zaman? Pertanyaan iseng yang sebenarnya nggak penting-penting banget buat dicari jawabannya, tapi ketika saya menanyakannya langsung (yang juga sebenarnya niatnya iseng), ternyata justru mendapatkan tanggapan yang cukup serius dari Ahmad Mustafa. Tanggapan yang kemudian membuat sesi wawancara kami mengalir begitu saja hingga kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan susulan yang sebenarnya sama sekali nggak saya niatkan sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan yang kemudian memunculkan ketertarikan saya pada satu sosok, yang di awal wawancara, Ahmad Mustafa sebut sebagai beliau.
Beliau adalah Pak Suko. Nama lengkapnya siapa, yaaa, suko-suko beliau laaah.
Oke, maafkan kelancangan saya. Kamu nggak usah melotot!
Lalu apa kaitannya Pak Suko dengan Ahmad Mustafa, juga dengan Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman? Jawabannya akan kamu temukan dalam petikan lengkap wawancara antara saya dengan Ahmad Mustafa.
Berbeda dengan saat mewawancarai Agustinus Wibowo yang bisa mewawancarainya secara langsung, kali ini saya hanya bisa mewawancarai Ahmad Mustafa via pesan WhatsApp. Maka hasil wawancara yang akan kamu baca kali ini sengaja saya sajikan layaknya obrolan melalui pesan WhatsApp. Beberapa kata yang nggak baku juga sengaja saya biarkan apa adanya.
Kalimat-kalimat yang tercetak tebal adalah bagian (pertanyaan-pertanyaan) saya, sementara kalimat-kalimat yang tercetak normal adalah bagian (jawaban-jawaban) Ahmad Mustafa. Kalimat-kalimat yang tercetak miring adalah penyusup.
Halo. Selamat Sabtu. Saya El Rui dari Kurungbuka.com. Boleh minta waktunya buat wawancara (boleh dibaca: ngobrol)? [pasang emoji tersenyum]
Tanda centang sudah biru, tapi belum ada balasan. Menunggu sekitar dua puluh menitan baru muncul balasan.
Halo, El Rui. Boleh. Agak slow response nggak papa ya.
Oke, sip. Nggak papa.
Ya monggo.
Tapi, ini nggak ganggu waktu paginya, kan?
Saya sembari ngerjain laporan. Soalnya weekend saya tetap kerja. [pasang emoji nyengir]
Saya boleh panggil Adham aja atau …?
Boleh. Adham aja.
Oke, sip.
Ahmad juga boleh. Kalau mau bahas soal DKJ, mungkin pakai Ahmad saja. [pasang emoji ngakak so hard]
Repot emang pake nama dua.
Beklah kalo gitu, Ahmad. Kok, tahu saya mau tanya-tanya soal DKJ? (Maksud sebenarnya adalah terkait novel yang menang Sayembara Novel DKJ 2018)
Ade kemaren ngobrol-ngobrol sama saya.
Oke, abaikan dulu Ade. Untuk saat ini dia nggak penting buat masuk dalam percakapan kami. Bahkan sebenarnya memang nggak diperlukan sama sekali. Lalu kami pun mengabaikannya. Kami biarkan dia gogoleran di kolong meja, menonton kami yang ber-chatting ria.
Oke, kalo gitu pertanyaan pertama. Novel Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman itu berapa lama pengerjaannya? Dari mulai riset sampai selesai ditulis dan dikirimkan ke Sayembara DKJ.
Kalau hanya penulisannya tiga bulan saja.
Riset langsungnya mungkin tidak lama. Karena novel ini terinspirasi dari kisah nyata kehidupan tokoh dalam novel saya, maka saya langsung menjumpai beliau di Semarang. Dua hari saya berbincang-bincang dengan beliau, mengulik kisah hidupnya. Dan saya terbantu karena beliau juga punya buku memoar yang ditulisnya sendiri, serta buku tafsir wayang purwa yang juga merupakan tulisan beliau sendiri. Kedua buku tersebut adalah referensi penting bagi saya dalam menuliskan novel ini.
Sebelum ke Semarang saya juga sempat ke Jogja, bertemu dengan dosen UGM yang juga aktivis buat teman-teman LGBT, terutama teman-teman waria. Dari beliau saya mengulik semua soal waria. Dari aspek hidup mereka, seksualitas, sampai sosialnya.
Tapi kalau riset tidak langsung sih, saya bingung juga jawabnya berapa lama karena kan, yang namanya karya fiksi risetnya tidak sama seperti karya ilmiah yang nonfiksi. Memantau orang-orang yang ada di sekeliling kita setiap harinya, ya, termasuk “riset” juga. Baca buku/novel lainnya termasuk “riset” juga. [pasang emoji nyengir]
Jadi novel itu bercerita tentang LGBT? Ini menarik karena sewaktu pertama kali baca judulnya, Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman, saya bertanya-tanya kenapa si anak gembala memilih tidur panjangnya di akhir zaman (ini pikiran iseng saya, maaf, tapi kalau mau ditanggapi juga bolee). [pasang emoji nahan tawa dan ngangkat dua jari]
Tentang waria, pengikut Ahmadiyah, dan seterusnya (demikian yang Dewan Juri DKJ tuliskan di pertanggungjawaban mereka).
Soal judul sebenarnya ada kaitannya dengan lagu Lir-ilir, lagu kesukaan tokoh utamanya, tapi saya tidak bisa jelaskan lebih lanjut karena nanti jadi spoiler. Hahahaa.
Hha ha. Oke, kumengerti. Kenapa tertarik mengangkat kehidupan seputar mereka?
Saya merasa kisah kehidupan si tokoh utama ini sangat menarik dan kontras. Dia juga menyukai kisah wayang purwa dan percaya kalau kisah wayang itu adalah wewayang atau kabar gaib tentang kemenangan Islam dan kedatangan Almasih yang Dijanjikan di Akhir Zaman.
Boleh tahu siapa orang yang dijadikan tokoh utama dalam novel (dalam dunia nyata yang Ahmad sebut sebagai beliau) itu?
Nama beliau Pak Suko dari Semarang.
Kalau boleh tahu, tahun ini pertama kalinya Ahmad ikut mengirimkan karya ke Sayembara Novel DKJ atau keberapa kalinya?
Kedua kalinya. Pertama ikut tahun 2016, cuma masuk 25 besar.
Pak Suko itu siapanya Ahmad? Atau gimana ceritanya sampe kenal beliau? Karena kalau sosok Pak Suko itu bisa sampai membuat Ahmad tertarik menuliskan cerita tentang sosoknya, saya kira Pak Suko cukup dekat dengan Ahmad. *maaf kepo
Saya baru kenal beliau tahun ini. Hahaha.
Nah, ini juga sebenarnya bisa spoiler sih. So, saya coba jawab yang spoiler free ya. Hehehe. Gampangnya sih, awal tahun ini, saya mendengar kisah Pak Suko dari khutbah Jumat di masjid dan saya langsung tertarik dengan kisah beliau. Makanya saya berusaha mencari tahu tentang beliau dan kemudian bisa bertemu dengan beliau.
Ho, jawaban itu di luar dugaan karena saya pikir Ahmad udah lama kenal dengan beliau. Hha ha.
Hahahaha.
Boleh tahu buku-buku apa saja yang jadi referensi saat menuliskan novel itu selain buku memoar dan buku tafsir wayang purwa yang ditulis Pak Suko?
Sejarah Semarang (saya lupa penulisnya siapa).
Juga buku-buku Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia:
- Kemenangan Islam (Mirza Ghulam Ahmad).
- Bahtera Nuh (Mirza Ghulam Ahmad).
- Al-Wasiyat (Mirza Ghulam Ahmad).
- Tiga Masalah Penting (Mahmud Ahmad Cheema).
Dan ada beberapa buku fiksi yang saya baca selagi saya menulis Anak Gembala (bukan Anak Gembala-nya Tasya/penulis). Mungkin tidak bisa disebut sebagai buku referensi, tapi barangkali saya memang sengaja baca buku-buku tersebut untuk membangun mood menulis saja.
Ini pertanyaan yang agak-agak. Pernah punya pengalaman khusus dengan (atau terkait) waria? Dalam bentuk apa pun.
Secara personal saya tidak punya teman waria. Kalau teman gay dan lesbian sih ada, tapi kalau waria sih, tidak. Saya sekadar tahu tentang mereka dari media-media, baik TV atau internet. Saya sempat tertarik buat mengangkat fenomena drag queen (seniman/performer pria yang mengenakan pakaian wanita, tapi mereka bukan waria). Kalau di Jogja sering ada performance di lantai 3 Batik Hamzah, Malioboro), tapi karena akses saya ke mereka masih sulit, tidak jadi saya tulis. Lagipula saya melihat perkembangan drag queen di Indonesia tidak besar. Tidak seperti di luar, misalnya yang sampai ada RuPaul’s Drag Race, acara kompetisi drag queen yang menang penghargaan Emmy dan jadi cult phenomenon di sana.
Ya, namanya di Indonesia ya, LGBT and gueer movement di sini memang dikekang sekali, sehingga teman-teman LGBTQ di Indonesia harus hidup sembunyi-sembunyi dan dapat stigma negatif.
Pandangan Ahmad sendiri tentang LGBT gimana?
Saya netral. Saya tidak mendukung, for example gay marriage; tapi saya juga tidak menghakimi atau menaruh rasa benci/jijik/ dan lain sebagainya terhadap mereka. Saya punya teman-teman gay-lesbian dan hubungan kami baik-baik saja.
Ukeh, kembali ke soal novel. Novel itu, sewaktu proses menuliskannya, mengalami berapa kali proses self editing sebelum dikirim ke Sayembara Novel DKJ 2018 dan menurut Ahmad, sebagai penulis, self editing itu seberapa penting?
Kalau tidak salah, sekurangnya dua kali. Self editing soft copy dan hard copy.
Buat saya self editing itu penting karena termasuk dalam kepengrajinan kepenulisan itu sendiri. Dan kepengrajinan serta ketelitian dalam mengedit juga jadi salah satu poin penilaian juri.
Reaksi Ahmad saat pertama kali mendapat kabar (tahu) kalau novelnya menjadi juara dua Sayembara Novel DKJ 2018, bisa diceritakan sekalian kronologinya? Sampe salto atau ngabarin tetangga se-RT gitu nggak? Atau biasa aja?
Saya ke TIM tanpa ekspektasi apa pun, walau beberapa kali sempat dihubungi oleh panitia yang mengonfirmasi kehadiran saya. Saya pikir itu cuma SOP mereka karena saya juga mendaftarkan diri sebagai tamu untuk hadir di Malam Anugerah Sayembara Novel DKJ 2018 via daring. Jadi, saya pikir mereka ingin memastikan tamu-tamu yang daftar bisa hadir malam itu.
Saya ke sana juga niatnya untuk menonton saja dan mengobrol dengan teman-teman saya seperti Dewi Kharisma Michellia, Mario Lawi, Pradewi TC, dan juga rekan-rekan editor yang saya kenal seperti Septi, Teguh Affandi, dan Jason Abdul. Jadi, ya, ke sana buat happy-happy saja, dan pulangnya bisa ngomongin soal pemenang.
Eh, nggak tahunya saya juga menang. Waktu itu saya langsung merasa lemas, tak percaya, dan memegang tangan Mimi (Michelle) yang duduk di sebelah saya. Saya bilang, “Mi, itu naskah gue!” Dan Mimi juga kaget sekaligus senang. Mimi ngasih tahu Mario dan Pradewi yang duduk di sebelahnya, dan mereka juga memberi saya selamat.
Pas di panggung saya peluk para jurinya saking senangnya. AS Laksana kaget pas saya naik soalnya novel pertama saya yang diterbitkan secara mayor adalah novel yang diterbitkan Moka Media, yang dulunya dipunggawai oleh Mas Sulak. Mas Sulak tahunya cuma nama pena saya, Adham, jadi dia kaget karena yang dipanggil Ahmad, yang naik Adham.
Ya, di atas panggung terasa surreal sih. Nggak nyangka kalau saya bisa menang. Pulangnya saya traktir teman-teman untuk makan malam (pakai duit sendiri dulu, bukan duit hadiah), hahaha. Lalu sekaligus saya kabari keluarga via WAG. Mereka senang-senang saja dan bersyukur atas kemenangan saya.
Sampai di sini, Ade yang gogoleran di kolong meja mulai jengah. Tampaknya dia nggak terima cuma dijadikan penonton. Beberapa kali dia menguik. Sebenarnya suaranya lebih mirip derit pintu pagar tua karatan yang sudah lama nggak dibuka sih, tapi karena saya nggak tahu bunyi semacam itu disebutnya apa, saya sebut saja menguik.
Nah, itu, terkait nama. Kenapa memilih menggunakan nama Ahmad Mustafa, bukan nama pena Adham T Fusama kayak biasanya?
Inginnya sih, ke depan saya menulis karya-karya yang santai dan popular memakai nama Adham, sedangkan untuk karya-karya yang lebih serius dan menantang dengan nama Ahmad.
Oya, katanya Ahmad sempat jadi editor juga? Atau sekarang masih? Mau tahu pendapatnya dong, asyikan mana, jadi editor atau penulis?
Honornya gedean mana? *ukeh yang ini nggak mesti dijawab [pasang emoji ketawa sampai berurai air mata]
Iya, dulu editor sastra di Bentang Pustaka sampai tahun 2017.
Sebenarnya dua-duanya asyik, tapi dalam menulis saya merasa lebih bebas karena tanggung jawab saya hanya pada karya yang saya tulis. Kalau jadi editor tanggung jawab saya juga kepada penulis dan perusahaan. Hahahaha. (Ini saya beneran sampai ngitungin berapa kali “ha”-nya loh pas ngetik)
Soal honor rahasia dapur aja ya. [pasang emoji nahan tawa]
Siap. Kumengerti. Hha ha.
Sekarang ini ada novel baru yang lagi digarap?
Belum ada lagi. Lagi sibuk kerja jadi belum ada waktu. Hahahaa.
Ho, okeh.
Ade kembali menguik sambil menggarut-garut permukaan meja. Kelihatannya dia sudah benar-benar bosan terus diabaikan.
Karena kayaknya pertanyaan saya sudah cukup banyak dan khawatir Ahmad sudah lelah menghadapi pertanyaan dari saya, ini dua pertanyaan terakhir dari saya:
Pertama, udah lama kenal Ade?
Ade menguik lagi. Dia tampak senang namanya disebut. Saya meliriknya dan tersenyum jahat.
Kedua, kemaren saya juga sempet ngobrol sama dia. Dia bilang, dia lebih ganteng dari Ahmad. Tanggapannya dong. Hha ha.
Ade melotot dan menguik lebih keras.
Kenal Ade sejak kapan yak? Lupa. Dua-tiga tahun lalu mungkin.
Tentu saja orang yang ganteng beneran tidak akan butuh pengakuan sepihak, apalagi sampai harus bilang-bilang “saya lebih ganteng dari Ahmad”. Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya. [pasang emoji tak terjelaskan]
Di kolong meja Ade membentur-benturkan diri ke permukaan meja. Kelihatannya dia nggak terima.
Oya, ada yang mau disampaikan buat pembaca Kurungbuka.com? Boleh pesan terkait apa pun.
Wah, apa ya. Mungkin saya ingin sampaikan pengharapan saya saja, jikalau Anak Gembala (bukan Anak Gembala-nya Tasya/penulis) kelak terbit, semoga para pembaca dan masyarakat pada umumnya dapat lebih membuka mata dan memahami hakikat perbedaan. Apalagi 2019 adalah tahun politik di mana perbedaan sekecil apa pun bisa digembar-gemborkan menjadi sesuatu yang mengerikan demi keuntungan pihak tertentu saja, tapi akibatnya bisa fatal. Persatuan dan persaudaraan bangsa kita yang jadi taruhannya.
Jadi, saya berharap novel saya kelak bisa memberikan sedikit kisah dari saudara-saudara kita di komunitas LGBT, serta sudara-saudara kita di Ahmadiyah dan keyakinan lainnya, sehingga kita bisa semakin memahami kalau sebagai manusia kita diciptakan sama walau memiliki banyak warna, dan itu adalah anugerah agar kita bisa belajar untuk saling memahami.
Kayaknya jawaban saya retoris banget ya? Habisnya ditodong pertanyaan begitu jadi bingung jawabnya. Hahahhaa.
Bingung aja bisa sepanjang itu yak. Apalagi kalau nggak bingung. Ngha ha.
Oke, makasih ya, udah meluangkan waktu buat digangguin. Sukses buat novelnya dan selamat atas kemenangannya.
Kapan-kapan kalau tim Kurungbuka.com mau gangguin lagi mudah-mudahan nggak kapok.
Terima kasih.
Kalau lowong sih, nggak masalah.
Mendadak saya jadi merasa bersalah, sementara Ade di kolong meja tergelak. Saya pelototi, gelakannya malah makin menjadi dan baru berhenti saat kepalanya terbentur permukaan meja.[]