image by istockphoto.com

Hidup di Negara Dagelan memang ada susah-senangnya. Tapi setelah dipikir-pikir, memang banyak susahnya. Aku masih ingat ketika pertama kali dilahirkan ke dunia, sialnya aku dilahirkan di negara ini. Aku lahir dibantu dukun beranak, namanya Nek Mola. Ketika lahir, aku sudah mendapatkan firasat buruk. Bayangkan, seorang bayi sepertiku sudah mampu mendapatkan firasat. Aku mendapatkan firasat buruk itu karena terlahir dari keluarga yang miskin. Itulah penyebab utamanya. Bayi miskin sepertiku ini sebenarnya dilarang lahir di negara ini.

Setelah aku lahir, ibu dan ayahku lintang-pukang mencari uang untuk membuat hajatan kelahiranku di hari ke-21. Kampungku memang sedikit berbeda, kalau ada orang yang baru lahiran, pasti keluarga itu akan dianjurkan—bersifat paksaan—oleh seluruh warga untuk membuat hajatan tepat di hari ke-21 setelah lahiran. Ayahku mencari kerja ke mana-mana hanya untuk memenuhi anjuran warga kampung.

Hajatan itu haruslah dimeriahkan dengan dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Sialnya lagi, aku terlahir sebagai lelaki. Ayahku mencari utang ke sana-sini untuk bisa membeli dua ekor kambing. Dua kambing itu tujuannya untuk disembelih dan disantap secara beramai-ramai. Kalau mulut sudah penuh dengan makanan, omongan jelek pun tak mungkin terucap. Itu kebiasaan orang-orang di negaraku. Pada akhirnya, aku pun diberi nama oleh ayahku: Jimet. Nama yang aneh, pikirku, entah apa artinya aku pun tak tahu.

Setelah 60 hari kelahiranku, ibu dan ayah baru sadar kalau anak yang baru lahir harus segera mengurus Akta Kelahirannya. Karena aku anak pertama, kedua orang tuaku belum paham cara pembuatan Akta Kelahiran. Ibu dan ayah menanyakannya kepada Kepala Desa. Ya Tuhan, untuk setiap kata yang dikeluarkan oleh Kepala Desa bernilai seribu. Dan pada saat itu, Kepala Desa menjelaskannya secara panjang lebar. Ibu dan ayah hanya mendengarkan sambil menggendongku secara bergantian. Aku tidak tahu, entah ayah dan ibu paham mengenai penjelasan Kepala Desa itu. Di akhir pembicaraan, Kepala Desa menyinggung soal uang bicara.

“Begini, Pak, Bu. Untuk informasi yang sudah saya berikan, dikenakan tarif 50 ribu,” katanya sambil mesam-mesem.

Aku lihat wajah ayah mengerutkan dahinya, sedangkan ibu sibuk menggendongku. Dengan terpaksa, ayah mengeluarkan uang dari sakunya dan memberikannya kepada Kepala Desa.

Ayah mendapatkan penjelasan dari Kepala Desa, bahwa membuat Akta Kelahiran haruslah di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Keesokan harinya, ibu pun langsung ke sana untuk mengurus Akta Kelahiranku, sedangkan ayah pergi bekerja entah ke mana.

Setelah sampai di sana, ibu dibuat pusing dengan persyaratan yang diperlihatkan petugas, di antaranya: Keterangan kelahiran dari Kepala Desa dengan dibubuhi stempel basah atau asli. Membaca persyaratan tersebut, ibuku mengerutkan dahinya seperti yang dilakukan ayah saat bertemu Kepala Desa. Saat itu aku dapat mendengar kata hati ibu, Kenapa harus jumpa dengan orang sialan itu lagi? Ibu langsung datang ke Kantor Kades.

Setelah meminta Surat Keterangan Kelahiran, Kepala Desa datang dan memulai basa-basinya. Tetapi kali ini ibu paham dan langsung menyetop omongan Kepala Desa, agar tidak banyak uang  yang keluar dari setiap kata yang terucap.

“Untuk biaya administrasinya, Ibu dapat membayar 50 ribu dan 20 ribu uang bicara dari saya,” kata Kepala Desa. Dengan terpaksa, ibu mengeluarkan uang 70 ribu dari selipan kutangnya, lalu pergi meninggalkan kantor Kepala Desa menuju Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Ibu mengira, setelah ini pasti tidak ada lagi biaya yang harus dikeluarkan.

***

Ketika Akta Kelahiranku selesai, pegawai administrasi membisikkan biaya yang harus dikeluarkan sebagai pengganti biaya percepatan.

“Sebenarnya Ibu sudah terlambat membuat Akta Kelahiran. Membuat Akta Kelahiran seharusnya dibuat sebelum 60 hari dari hari kelahiran si bayi. Tetapi tidak masalah, Bu. Ibu cukup bayar 100 ribu saja. Tidak usah banyak-banyak. Seharusnya Ibu dikenakan denda 500 ribu!” kata pegawai perempuan itu.

Dan lagi-lagi dengan terpaksa, ibu mengambil uang yang diselipkan di kutangnya, kemudian langsung diberikannya pada Si Pegawai.

Benar firasatku ketika pertama kali lahir, orang miskin seperti keluargaku tidak seharusnya melahirkan seorang anak. Mungkin ibu dan ayah menyesal karena kelahiranku. Pasti setelah ini ayah kapok, tak mau lagi berurusan dengan pembuatan anak.

***

Sekarang aku sudah beranjak dewasa. Dalam keluarga, aku adalah anak satu-satunya. Mungkin benar, kedua orang tuaku tidak lagi bermain-main mengenai pembuatan anak. Karena memang perlu banyak biaya yang harus dikeluarkan ketika anak itu lahir. Apalagi lahirnya di Negara Dagelan seperti negaraku yang banyak tetek-bengeknya.

Sekarang beda lagi persoalannya, kami baru saja melakukan pemilu besar-besaran. Dikatakan besar karena pemilu kali ini tidak pernah terjadi pada masa silam selama perjalanan demokrasi Negara Dagelan. Pemilu yang baru saja berlalu berbeda, karena setiap kubu mempunyai pendukungnya yang sama-sama fanatik. Mereka membesar-besarkan calon pemimpin layaknya seorang nabi yang tidak memiliki keburukan.

Kedua kubu saling menuding dan menjatuhkan. Tetapi itu hanya terjadi sebelum hari pemilihan. Tepat sehari setelah pemilihan, orang-orang mulai diam seperti biasanya. Apalagi setelah diumumkan siapa yang terpilih menjadi pemimpin, orang-orang yang dulunya berteriak paling keras, sekarang membisu di balik dinding-dinding rumah. Seolah teriakan mereka dulu dibeli hanya untuk memeriahkan pesta demokrasi.

***

Setelah hidup 50 tahun, kawin di umur 30 dan hidup tanpa anak—karena takut pengeluaran yang cukup besar—tepat pada malam Minggu nyawaku diambil oleh malaikat maut. Dan aku betul-betul senang ketika nyawaku ditarik, karena telah terbebas dari ingar-bingar Negara Dagelan.

Aku pikir, setelah mati, terlepas semua biaya yang harus dikeluarkan. Ternyata tidak, aku begitu sedih ketika melihat istriku mencari utang ke mana-mana untuk membiayai prosesi kematianku sampai jasadku dikebumikan.

Sesaat setelah jasadku dikubur, aku tertawa senang karena telah terbebas dari belenggu peraturan Negara Dagelan. Dari lahir hingga mati, semuanya harus diurus dengan uang. Ketika semua orang telah pergi dan yang tinggal di makam hanya istriku, ia berbisik tepat di batu nisanku. “Sudah kuselipkan uang di kain kafanmu sebagai uang pelicin, agar kamu tidak diberi hukuman. Siapa tahu malaikat juga minta uang atas setiap pertanyaannya!”