Perjalanan terjauh yang pernah saya tempuh dalam solo riding adalah perjalanan dari Kota Serang, Banten menuju Pare, Jawa Timur. Jarak yang saya tempuh kurang lebih 887 KM, dengan lama perjalanan 22 jam 19 menit menurut google map, melalui jalur selatan. Melewati 3 provinsi, antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah dan berakhir di Jawa Timur. Rute yang saya ambil adalah rute jalur selatan. Dari Serang, saya melewati Tangerang, Kabupaten Bogor, Puncak, Cianjur, Padalarang, Bandung, Tasik, Banjar, Kebasen, Kebumen, Purworejo, Wates, Yogyakarta, Solo, Klaten, Sragen, Ngawi, Nganjuk, Kediri dan berkahir di Pare.

Perjalanan panjang itu tidak saya tempuh dalam satu waktu. Mengapa, alasan pertama perjalanan akan sangat menguras energi jika dilakukan dalam satu waktu. Apalagi solo riding, istirahat yang cukup adalah kunci keselamatan selama menempuh perjalanan. Alasan kedua, saya memiliki dua agenda penting yang harus saya hadiri, antara lain di Bandung dan di Kulon Progo, Jogja. Jadi saya memilih melakukan perjalanan maraton, membaginya ke tiga tahap perjalanan, di tiga destinasi berbeda, yaitu Bandung, Yogyakarta & Pare.

Perjalanan saya mulai pada 9 Maret 2023 menuju destinasi pertama di Bandung. Di Bandung, di Dago Pojok, di Komunitas Musisi Mengaji (Komuji) Indonesia tepatnya, saya menghabiskan waktu satu Minggu untuk tinggal, istirahat & latihan untuk kegiatan Artvocation Festival Komuji Indonesia pada 12 Maret 2023.

Sebelum memutuskan melakukan perjalanan ke Pare, selama Oktober & November 2022 saya tengah mengikuti Workshop Musik; Membuat Soundtrack Film dalam event Artvocation Komuji Indonesia. Selama dua bulan, setiap weekend (Sabtu & Minggu) detailnya, saya bolak-balik Serang – Bandung menggunakan sepeda motor untuk mengikuti workshop tersebut. Melewati jalur Serang, Tangerang, Kabupaten Bogor, Puncak, Cianjur, Padalarang & Dago, Bandung.

Begitu terus selama dua bulan. Capek, sudah pasti. Apalagi menempuh perjalanan sejauh 235 km, yang kurang lebih memakan waktu 7 – 8 jam setiap Minggu adalah ujian mental luar biasa untuk belajar kuat, kosisten dan semangat dalam menuntut ilmu. Karena bagi saya tidak ada yang sia-sia dari menuntut ilmu.

Dalam event workshop Artvocation waktu itu, ada empat kategori bidang kolaborasi seni dalam di antaranya, sastra, rupa, musik & film. Khusus untuk musik, hasil akhir dari adalah membuat karya kolaborasi berupa lagu untuk soundtrack film pendek. Setelah proses kurasi dan rekaman, lagu yang saya buat yang bertajuk “Buat Naya” dipresentasikan pada puncak event Artvocation Festival yang digelar 12 Maret 2023 lalu, di IJI Bandung. (Sedikit promosi, lagu “Buat Naya” sudah bisa kalian dengar dan nikmati di Spotify).

Setelah beres dengan agenda di Bandung, saya melanjutkan perjalanan menuju menuju Yogyakarta pada 15 Maret 2023. Saya sedikit lupa memperkenalkan teman perjalanan saya, pertama motor saya vario 110 cc tahun 2015 yang sangat irit. Dari tiga perjalanan yang saya lakukan, Bandung, Yogyakarta & Pare, di tiap destinasi, ongkos bensin yang saya keluarkan berkisar 60 – 70 ribu rupiah saja dengan 3 kali isi bahan bakar (1 kali isi 20/25 ribu) di SPBU.

Jadi sepanjang perjalanan Serang, Banten – Pare, Jawa Timur, saya mengeluarkan kurang lebih Rp. 200.000 rupiah untuk bensin. Selain irit ia juga baik. Tidak pernah ngambek atau rewel dalam setiap perjalanan. Kemudian teman kedua saya adalah gitar akustik Crafter, yang biasa menemani saya mengisi acara, rekaman atau event-event musik selama di Serang. Jadi sepanjang perjalanan saya membawa gitar bersama gigbag/tas gitar yang saya gendong sepanjang perjalanan, bahkan sampai Pare.

Perjalanan Bandung – Yogyakarta, tepatnya menuju Kulon Progo menempuh jarak 371 km melewati Tasikmalaya, Banjar, Kebumen, Purworejo, Wates & berkahir di Kulon Progo, Yogyakarta. Ada sedikit cerita yang bisa dibilang antara halu dan horor ketika saya melewati Jalan Daendels yang menghubungkan Purworejo menuju Kulon Progo.

Jalannya lurus dan jauh. Sepanjang jalan yang bisa saya lihat hanya, sawah, ladang jagung, ladang tebu, kebun jeruk, kebun jambu biji dan kebun kosong. Di satu waktu, sekitar pukul 17.38 WIB, awan mendung yang pekat datang menghampiri saya, menurunkan hujan yang sangat deras beserta petir. Saya berhenti, berteduh di sebuah emperan toko yang sudah tak beroperasi tapi masih ditinggali oleh pemiliknya. Di hadapan saya terhampar kebun jeruk yang sangat luas dan kios penjual batu alam yang kosong.

Alasan saya menghentikan perjalanan selain hujan deras, adalah karena saya membawa gitar yang sangat riskan rusak jika kebasahan terkena hujan. Selain badan juga tidak bisa dibohongi, capek melewati Jalan Daendels yang panjang dan tak ada putusnya.

Saya memarkirkan motor di emperan toko, ada bangku kayu panjang di situ. Saya pindahkan barang saya dari motor, tas dan juga gitar. Karena hujan cukup deras, dan tempias atau percikan hujan sedikit mengenai motor saya. Saya kemudian duduk, melihat google map di handphone dan jarak tempuh masih jauh sekitar 1 jam 37 menit. Langit semakin gelap, lampu mulai menyala dari dalam toko. Suara pemilik toko pun terdengar sedang bercakap-cakap.

Beberapa menit kemudian, petir saling menyambar, lampu padam tepat ketika magrib. Saya dengan santai, mematikan paket data, kemudian membuka sepatu dan hendak menggantinya dengan sandal di dalam jok motor. Entah atas dorongan apa, inisiatif mengganti sepatu muncul begitu saja. Sialnya, saya lupa kalau malam itu, malam jumat! Konon jika kondisi capek, intuisi & indra kita akan semakin peka terhadap sesuatu yang di luar nalar.

Sekonyong-konyong, dari arah pohon mangga yang kurang lebih berjarak tiga meter, terdengar suara wanita tertawa (sebenarnya lebih ke perpaduan antara suara wanita & hewan, halus suaranya). Feeling saya seketika jelek, duh apakah ini penyambutan Jogja buat saya. Tapi ya tidak seperti ini juga, gerutu saya dalam hati.

Dengan mencoba tetap bersikap tenang, saya rapikan sepatu, ganti sandal. Pakai masker, sarung tangan, pakai helm, menggendong gitar, menyalakan kontak dan jalan perlahan menjauhi lokasi tersebut dalam kondisi masih hujan dan mati lampu. Sejauh 2 km perjalanan, di antara kebun kosong dan persawahan, dari arah kanan sesuatu berwarna putih seukuran bola voli, tapi bentuknya tidak bulat, lebih seperti kain putih (mungkin kain putih yang sedikit menggumpal sepenglihatan saya) menabrak bodi motor saya.

Seketika saya kaget. Saya berhenti tapi tidak ada apa-apa baik di bawah ataupun di belakang motor saya. Alamat sial nih, pikir saya dalam hati. Lagi-lagi, dengan mencoba bersikap tenang saya tancap gas lagi, pelan, agak kencang, tambah kencang dan speedometer mencapai angka 100 km/jam. Sungguh pengalaman menyebalkan.

Singkat cerita, setelah perjalanan panjang yang melelahkan ditambah pengalaman aneh sebelumnya, tibalah saya di Karang Kemuning Ekosistem, Kulon Progo, Yogyakarta.

Teman-teman, saya mesti kasih tahu, jalanan sepanjang Jawa Tengah itu enak, bagus-bagus, tapi sepi ketika malam hari. Apalagi jalan Daendels yang saya lalui, sudah sepi, gelap, horror pulak! Setidaknya jalur itu sudah saya tandai sebagai jalur aneh yang melelahkan dan menguras mental jika dilalui malam hari. Di Karang Kemuning Ekosistem, saya mengunjungi kenalan lama, yang saya kenal melalui kegiatan workshop Anti-Coruption Youth Camp, KPK di Sabang, Aceh 2016 silam.

Saya mengunjungi Mas Greg & Mbak Vani di sini. Kami berbincang banyak hal, terutama dengan Mas Greg kami membahas musik dan karya-karya kami. Saya tiga hari tinggal di sana, mengisi energi, silaturahmi dan tentu saja perbaikan gizi, numpang makan.

Kemudian tanggal 17 Maret 2023, saya bergeser ke Gamping, Yogyakarta. 15 menit dari Kulon Progo mengunjungi, sahabat saya dari Serang yang kini sedang kuliah di JFA Yogyakarta, Jordy, Anak ketiga Mas Gol A Gong. Saya menghabiskan empat hari di kosannya. Berkenalan dengan teman-temannya yang berasal dari lintas daerah.

Menikmati Jogja, menikmati kopi di lereng merapi, berkeliling Malioboro dan yang paling penting, menemukan padang murah dengan konsep prasmanan. Sangat-sangat langka. Dan tentu saja membahagiakan untuk saya yang doyan makan dengan porsi portugal (porsi tukang gali), saya bisa ambil nasi sampai penuh dengan harga 10 ribu untuk nasi, ayam goreng, sayur & the hangat tawar. Beruntungnya, rasanya juga enak. Jogja memang kota yang ramah kantong proletar seperti saya.

Betah di Jogja, tapi saya mesti melanjutkan perjalanan lagi. Tanggal 21 Maret saya melanjutkan perjalanan Yogyakarta – Pare Kediri. Jarak tempuhnya 265 km dengan durasi waktu sekitar 5 jam 41 menit. Jalurnya, saya melewati Yogyakarta, Solo, Klaten, Sragen, Ngawi, Nganjuk dan berakhir di Pare, Kediri.

Sebelum berangkat saya menanyakan perihal tempat tinggal yang nyaman di Pare. Jordy merekomendasikan saya untuk menghubungi tempat kosnya dulu saat berada di Pare. Nama kosnya adalah Cassanova. Ada beberapa pilihan kamar, sendiri 750 ribu, berdua 500 ribu & berdua 450 ribu. Saya memilih yang paling ekonomis. Membooking kamar untuk satu bulan menghadapi Ramadan. Sayangnya, saat melakukan perjalanan saya salah mapping waktu. Saya berangkat sore puku 14.00 WIB, dengan asumsi jalanan pasti bagus. Nyatanya, jalanan dan arus kendaraan di Jawa Timur jauh berbeda bengan Jawa Tengah.

Banyak jalan rusak menuju Sragen, Ngawi & Nganjuk. Mobil, terlebih truck & bus sangat brutal lajunya. Ditambah sepi ketika malam hari. Apalagi beberapa jalan melewati hutan. Ingatan saya dengan Jalan Daendels tempo hari kembali muncul. Menyebalkan memang.

Saya tiba di Pare pukul 23.30 WIB, ketika cuaca sedang gerimis dan jalanan dirundung kesunyian. Sangat sepi waktu itu, mungkin karena akan memasuki awal Ramadan jadi banyak yang mudik. Saya di sambut Mas Agus, anak dari pemilik Kos Cassanova. Diantarkan ke lantai 2 kamar nomor 17. Lokasi Kos Cassanova berada di belakang toko bangunan/material Toko Sarana Bangunan, Jl. Brawijaya No. 10, Mangunrejo, Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur – 64212.

Jika dari depan, tidak akan nampak sebab berada tepat di belakang toko bangunan dan menjadi satu dengan rumah pemilik kos. Lantai dasar adalah rumah pemilik kos, lantai 2 adalah kosan. Walaupun ada juga kamar di lantai dasar di belakang rumah ibu kos.

Semoga tidak capek menyimak cerita perjalanan saya, ya. Jika suatu saat kalian pergi ke Pare, pastikan apakah akan tinggal di asrama atau memilih kosan. Saran saya, jika memilih kos, silakan boking lebih awal, sebab jika mendadak bisa dipastikan setiap kos all booked. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya!