image by istockphoto.com
Lima bus berderet di tanah lapang tak jauh dari Sekolah Dasar (SD) Turahtirta. Ilham melihat teman-temannya mulai berdatangan. Pagi ini, anak-anak kelas 3 SD Turahtirta akan berwisata mengunjungi Desa Wisata Alam Indah.
Ilham menguatkan pegangan dan pijakan di dahan pohon mangga yang tumbuh di sudut tanah lapang. Ilham berharap rimbun daun mangga bisa menyembunyikan keberadaannya. Matanya mulai berkaca-kaca.
Ilham melihat bus berwarna merah ada di deretan ketiga. Ia yakin bus itu yang akan membawa teman-teman sekelasnya di kelas 3D. Sayang, ia tidak bisa bergabung dengan mereka untuk berwisata. Bu Ria, wali kelasnya menyebut kegiatan itu sebagai outing class.
Murid-murid kelas 3 terlihat datang bersama orang tuanya kemudian masuk ke dalam bus. Mereka menggendong tas yang penuh barang bawaan. Guru-guru hilir mudik dengan tangan membawa lembaran kertas, sepertinya berisi daftar nama siswa. Suasana tanah lapang yang biasanya sepi menjadi riuh rendah.
Sekitar jam enam pagi, bus-bus bergantian meninggalkan tanah lapang. Saat tanah lapang kembali sepi, Ilham perlahan turun dari pohon mangga. Ia bergegas pulang. Ayahnya pasti sudah menunggu. Dalam perjalanan menuju rumah. Pikirannya sibuk merangkai cerita.
Pagi ini aku dan ayah naik sepeda ke Taman Pesona. Aku naik sepeda BMX. Ayah juga naik sepeda ontel sambil membawa kotak es krim di boncengan. Ayahku memang penjual es krim. Di taman, aku bermain ayunan, perosotan, naik delman, dan jajan.
— oOo —
Malam itu, Ilham terbangun dari tidurnya. Tak sengaja Ia mendengar percakapan ayah dan ibunya di ruang depan.
“Bapak juga kasihan, Ilham nggak bisa ikut jalan-jalan. Bagaimana lagi, kondisi kita seperti ini, buat bayar kontrakan bulan depan saja belum kelihatan uangnya. Ihsan juga perlu uang untuk biaya ujian.”
“Tapi kalau nggak ikutan, Ilham harus bikin tugas. Ilham harus ke tempat wisata lain, bikin cerita, difoto dan dibingkai. Kita kan nggak punya hape yang bisa foto.”
“Iya Bapak juga bingung, mungkin biar semua ikut jalan-jalan, jadi diberi tugas yang ribet.”
“Ya mau bagaimana lagi.”
“Nanti Bapak pikirkan tempat wisata yang murah, kalau bisa gratis.”
Ilham seketika teringat pada kertas pemberitahuan dari sekolah yang tergeletak di meja. Kedua orang tuanya pasti sedang membicarakan kegiatan outing class. Ilham masih ingat isi surat pemberitahuan itu.
Surat itu berisi pemberitahuan adanya kegiatan outing class untuk kelas 3 SD Turahtirta. Tujuannya ke Desa Wisata Alam Indah yang jaraknya sekitar 2 jam perjalanan menggunakan bus pariwisata. Biayanya Rp 350 ribu per siswa. Jika bersama orang tua atau pendamping, ada tambahan biaya Rp 300 ribu per orang.
Di desa wisata, semua siswa akan mengikuti berbagai kegiatan: tanam padi, flying fox, memberi makan kelinci, berjalan di atas tali temali, dan permainan lainnya. Pasti sangat seru dan menyenangkan. Sayang, orang tua Ilham tidak punya cukup uang untuk membayar biayanya.
Di surat pemberitahuan juga disampaikan, bagi siswa yang tidak ikut outing class harus mengerjakan tugas membuat montase. Pada hari yang sama, siswa harus pergi ke tempat wisata. Kegiatan di tempat wisata diceritakan, difoto dan ditempel di karton kemudian dibingkai ukuran 20R.
Menurut Kak Maman tetangga samping kontrakan, ukuran 20R sama dengan 50 x 60 cm. Wah besar sekali, pikir Ilham. Pasti mahal harga bingkainya. Malam itu, Ilham tidak bisa tidur membayangkan tugas membuat montase.
Pagi harinya, saat hendak pergi ke sekolah, Ilham melihat ayahnya sedang memompa ban sepeda. Ilham meraih tangan kanan ayahnya dan menciumnya.
“Nanti kalau teman-teman jalan-jalan, saya ikut Bapak saja ke Taman Pesona.”
“Emang boleh cuma ke Taman Pesona?”
“Ya bolehlah. Taman Pesona ‘kan tempat wisata juga. Ilham bisa naik delman atau main perosotan.”
Ayah Ilham tersenyum. Tangan kanannya mengacak-acak rambut Ilham.
“Okelah kalau begitu. Nanti kamu Bapak traktir es krim.”
“Cilok ama telur gulung, Pak. Kalau es krim kan emang jualan Bapak.”
“Sip!” kata Ayah Ilham sambil mengacungkan jempol.
“Ilham berangkat sekolah dulu,” kata Ilham sambil mengucap salam.
— oOo —
Sesampainya di rumah, Ilham melihat ayahnya sudah siap dengan sepedanya. Di boncengan ada kotak es krim berwarna merah, isinya ember berisi es krim tiga rasa: vanila, cokelat, dan stroberi. Di luar disangkutkan plastik berisi tumpukan cone dan gelas plastik untuk tempat es krim.
“Kamu pagi-pagi dari mana?” tanya ayahnya.
“Lihat bus wisata di tanah lapang dekat sekolah. Ayo Pak kita berangkat ke taman,” jawab Ilham sambil duduk di sadel sepeda BMX-nya.
“Hati-hati jangan ngebut, sepedamu nggak ada remnya.”
Setelah berpamitan dengan ibunya. Ilham mengikuti ayahnya menuju Taman Pesona.
“Kok belnya tidak dibunyiin, Pak?” teriak Ilham.
“Masih pagi, nanti saja di sana.”
Mendekati Taman Pesona, deretan gerobak pedagang makanan dan minuman berjajar di kanan kiri pintu masuk taman. Ada cilok, cilung, cimol, siomai, papeda, tahu gejrot, pecel, telur gulung, takoyaki, teh poci, es kocok, minuman rasa-rasa, es cingcau, dan lain-lain. Ada juga penjual mainan, balon, hingga keong dan anak ayam warna-warni.
Taman Pesona berada di dalam Komplek Perumahan Bumi Turahtirta. Meskipun tidak terlalu luas, Taman Pesona sangat rindang. Orang-orang bisa masuk ke taman secara gratis untuk berolah raga atau melepas penat bersama keluarga.
Ilham melihat anak-anak bermain ayunan dan perosotan. Saat Ilham mendapat giliran bermain ayunan, ayahnya datang dan memotretnya dengan telepon genggam. Ayahnya juga memotret Ilham saat bermain perosotan dan jungkat-jungkit.
“Itu hape punya siapa, Pak?” tanya Ilham keheranan.
“Ini hape merek Siomai, soalnya pinjam punya tukang siomai,” jawab Ayahnya sambil tersenyum.
“Bapak bisa aja. Terus entar nyetak fotonya gimana?”
“Tenang saja, nanti foto ini langsung Bapak kirim ke nomer WA Pak Sanusi yang punya fotokopi dekat sekolahmu. Nanti Pak Sanusi yang cetak fotonya, Bapak sudah bilang kemarin.”
“Wah, Bapak hebat juga. Sekalian foto pas Ilham naik delman ya, Pak.”
Ilham pun berlari ke tempat tukang delman mangkal. Ia bergegas naik dan duduk di samping Pak Kusir yang sedang bekerja. Ayahnya pun memberi kode pada Ilham.
Jekrek!
Ilham pun bergaya sambil melihat ayahnya memencet telepon genggam.
“Ini putranya, Pak?” tanya Pak Kusir.
“Iya, Pak. Titip, ya,” jawab Ayah Ilham sambil menyerahkan selembar uang lima ribuan.
“Tenang saja, Pak,” kata Pak Kusir sambil mengacungkan jempolnya.
Setelah naik delman melewati beberapa ruas jalan di komplek perumahan, Ilham kembali masuk ke Taman Pesona. Ia berbaring di lantai bangunan beratap rumbia. Matanya menatap langit dan dedaunan.
Pasti saat ini teman-temannya sedang bergembira. Bermain lumpur sambil belajar menanam padi, memberi makan kelinci atau kambing, flying fox, berenang, dan permainan seru lainnya. Besok pagi, mereka akan datang ke sekolah dengan cerita-cerita seru.
Ilham berharap teman-temannya tidak menertawakannya karena hanya bisa berjalan-jalan di Taman Pesona. Pikirannya pun sibuk memikirkan cerita apa yang akan dituliskannya.
Di Taman Pesona, aku naik delman keliling kompleks Perumahan Bumi Turahtirta. Di Taman Pesona, aku juga bermain perosotan, jungkat-jungkit, dan ayunan. Di sini juga banyak yang jual jajanan. Aku senang sekali, meskipun hanya sendiri ditemani Ayahku sambil jualan es krim.
“Ilham bangun, dari tadi Bapak cari eh malah tidur di sini. Mau ikut nggak, Bapak mau ke Setu Harapan,” kata Ayah Ilham.
“Jauh nggak Pak?” tanya Ilham sambil menguap dan mengucek matanya.
“Nggak sampai satu kilo. Nanti kamu bisa foto-foto lagi di sana.”
“Ilham ikut Pak. Nanti fotonya pakai hape merek Siomai lagi?”
“Gampang, entar bisa pinjam hape tukang batagor atau mamang bakso cuanki.”
— oOo —
Ilham menatap foto-foto yang telah dicetak Pak Sanusi. Foto-foto dirinya di Taman Pesona dan Setu Harapan. Sepulang dari Setu Harapan, Ilham dan ayahnya langsung menuju tempat fotokopi milik Pak Sanusi. Ternyata foto-fotonya sudah tercetak rapi.
Ilham menempelkan foto-foto tersebut di atas karton yang telah dipotong seukuran 20R. Ia menambahkan beberapa catatan di sela-sela foto. Tak lupa tambahan gambar dan hiasan untuk mempercantik montase.
Ayah dan ibunya tersenyum melihat ketekunan Ilham mengerjakan montase. “Wah Bagus sekali Ilham. Tinggal bingkainya yang belum ada, ya,” kata Ayah Ilham.
Ibu Ilham tersenyum. Ia mengambil bingkai besar yang menempel di dinding kontrakan. Di dalamnya tempel foto pernikahan ayah dan ibu Ilham, serta foto masa kecil Ilham dan Ihsan.
“Bingkai ini ukurannya 20R. Pakai saja bingkai ini saja dulu. Paling nanti juga dikembalikan lagi setelah dinilai Bu Guru,” kata Ibu Ilham.
“Benar, Bu, nggak apa-apa?” tanya Ilham.
“Iya pakai saja bingkainya. Nanti biar Bapak bantu pasang montasenya,” kata Ibu sambil mengusap rambut Ilham.
“Terima kasih, Bu,” kata Ilham sambil memeluk ibunya. Tanpa sepengetahuan Ilham, air mata perlahan meleleh dari sepasang mata ibunya.
— oOo —
Depok, 24 Januari 2023