Setelah menemui kegagalan beberapa kali, akhirnya kami berlima sepakat untuk menjelajahi salah satu puncak yang ada di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, yaitu puncak B-29. Selama perjalanan berangkat sampai pulang, saya yang baru pertama mendaki, banyak melihat pelbagai rona kehidupan.

Perjalanan dimulai dari Terminal Ronggosukowati, Pamekasan, 16 Agustus 2020, pukul 12.00 WIB. Sampai di Terminal Wonorejo, Lumajang, sekitar pukul 19.30 WIB. Setelah turun dari bus, kami langsung ditawari angkot untuk menuju ke lokasi puncak. Para tukang angkot itu memberikan tarif seratus ribu rupiah pada tiap individu untuk sampai para rest area 1, “Dari situ tinggal jalan kaki kira-kira 6 sampe 7 km,” ucap si akang tukang angkot.

            Awalnya, kami berencana akan berjalan kaki dari Terminal Wonorejo sampai puncak B-29, tentu untuk menghemat biaya. Tapi ternyata melenceng jauh, tak sesuai dengan yang apa yang diharapkan. Ternyata perjalanan masih sangat jauh. Maklum, di antara kami berlima belum ada yang pernah sampai ke lokasi, ini pengalaman pertama kami sampai di Lumajang.

            Akhirnya, setelah berembuk cukup lama, diputuskanlah bahwa kami berlima akan menyewa angkot turun di Desa Senduro. Ongkosnya tiga puluh ribu per orang. Perjalanan dari terminal ke Senduro lumayan lama juga, sekitar empat puluh lima menit. Sepanjang perjalanan, kami tidak henti-hentinya bertanya pada si abang angkot wisata apa saja yang wajib dikunjungi jika berkunjung ke Lumajang.

            Tiba di Senduro, tepatnya di persimpangan jalan. Di sebelah kiri jalan ada polsek, sementara kanan jalannya ada sebuah musola. Kami kembali berembuk, bagaimana enaknya. Melanjutkan perjalanan atau beristirahat dulu.

            Kami menemui petugas di polsek. Niat awal ingin bermalam di polsek sebelum melanjutkan perjalanan esok hari, namun dengan permintaan maaf  dari petugas karena masih dalam masa pandemi, kami tidak boleh bermalam di Polsek Senduro. Sebenarnya, di samping Polsek Senduro ada abang-abang yang menawarkan ojek, namun kembali lagi ke persoalan awal yaitu tarif yang ditawarkan terlalu mahal menurut kami.

            Dengan kebaikan hati bapak polisi yang bertugas di Polsek Senduro, kami yang beranggotakan lima orang dengan rincian tiga perempuan dan dua laki-laki dibantu dicarikan transportasi murah. Setelah cukup lama duduk di kantor polsek, bapak polisi tadi datang dari arah barat, “Ada pick up yang kebetulan searah dengan tujuan kalian. Paling bayar sepuluh ribu, Dek,” ucap bapak polisi bertubuh gempal itu.

            Tanpa berpikir panjang kami pun langsung setuju tawaran yang diajukan. Menikmati malam dengan gugusan bintang di langit bersama teman lebih nyaman dari apapun juga. Hawa sejuk semakin kentara kami rasakan. Tanjakan demi tanjakan dilalui, meski malam hari, saya dan beberapa teman dapat melihat kabut yang berseliweran sepanjang jalan. Semakin lama berjalan semakin dingin pula cuaca menerpa kulit. Sekitar tiga puluh lima menitan pick up yang kami tumpangi berhenti di bahu jalan.

            “Mampir ke rumah kami dulu, Dek. Ayo jangan malu-malu, silahkan masuk!” Kami dipersilakan masuk oleh keluarga muda itu. Tak pernah terkira sebelumnya, orang yang kami temui itu sangat baik. Kami dijamu layaknya sanak saudara sendiri. Pertama, saya dan teman-teman dibuatkan kopi hangat, kue dan makanan ringan lainnya. Perbincangan pun dilanjutkan.

            Setelah kopi dan makanan ringan tandas kami santap, jamuan lain yang kami nikmati adalah makan malam nasi lengkap dengan lauk pauknya. Malu bercampur sungkan untuk ukuran orang yang baru kami kenal. Namun, setiap Mbak Tum dan suaminya itu menyuguhkan makanan dan minuman sambil mengatakan, “nggak usah malu-malu, anggap saja rumah sendiri.”

            Tidak hanya itu, kami diizinkan untuk menginap untuk sementara waktu sebelum melanjutkan pendakian esok hari. Sebelum tidur, kami berlima sempat ngobrol perihal hal apa saja yang harus dipersiapkan dalam pendakian besok. Pukul 02.00 dini hari semua personil bangun, dan mempersiapkan peralatannya masing-masing. Mbak Tum dan suaminya juga sudah bangun. Dan lagi-lagi Mbak Tum kembali baik kepada kami. Tiap satu orang dari kami dikasih mie instan. Jika beli di atas puncak akan sangat mahal sekali katanya. kami semua lantas mengucapkan banyak terimakasih pada beliau.

Memulai Pendakian

Pada 17 Agustus 2020 pukul 02.15 WIB, kami berlima diantar oleh suami Mbak Tum ke pos terdekat. Ada dua jalur waktu itu. Yang pertama jalur lurus. Sementara, kami diantar ke jalur bawah. Agak jauh dan medannya pun agak lumayan berat dan banyak menguras tenaga kami. Waktu itu ramai sekali orang yang mau mendaki. Tapi kebanyakan bawa sepeda motor ke atas.

Sebagai orang yang pertama kali mendaki, hal yang paling diingat tentu cuaca dinginnya. Ditambah lagi harus membawa carrier yang berisi tenda dan air dalam botol. Tubuh kedinginan, sudah barang tentu. Sesekali suara napas terdengar ngos-ngosan, capek, pokoknya semua bercampur-baur jadi satu. Dan Sepanjang pendakian kami selalu ditawari ojek, namun kami selalu menolaknya.

Setapak demi setapak telah dilalui. Sesekali beristirahat untuk minum air dan madu buat cadangan energi. Setelah lama berjalan, dan kami pun juga mulai kecapean. Sayang sebenarnya harus menikmati sunrise di perjalanan. Tapi hal itu tetap tidak menyurutkan semangat kami buat sampai ke Puncak B-29. Di balik tebing kami menyempatkan diri buat duduk sejenak menikmati panorama alam buatan Tuhan yang sangat memanjakan mata. Tentu saja tak lupa kami abadikan dalam beberapa pose foto.

Di kanan dan kiri jalan yang kami lalui banyak tumbuh subur aneka sayuran milik warga setempat. Ada kubis, bawang, juga kentang, yang sepertinya menjadi komoditas utama warga sekitar Puncak B-29. Tatkala kami berjalan semakin ke atas, terlihat juga di kejauhan gagahnya Gunung Semeru. Kembali kami duduk sejenak untuk menikmati keelokan yang mempunyai predikat gunung tertinggi di Pulau Jawa itu.

            Sekitar pukul 09.30 WIB kami tiba di Puncak B-29 dengan bantuan abang-abang ojek yang baik hati. Barangkali tukang ojek itu merasa kasihan pada kami karena setiap mereka lewat kami selalu dalam keadaan beristirahat. Kemudian abang tukang ojek memberikan tumpangan gratis kepada kami. Dari tempat terakhir kami beristirahat, ternyata perjalanan masih lumayan jauh. Tapi beruntung, berkat kebaikan abang tadi, kami cepat sampai pada puncak yang kami tuju yaitu Puncak B-29.

            Sesampainya di puncak, kami tidak langsung mendirikan tenda. Perut yang mulai keroncongan sejak subuh tadi memaksa saya dan teman-teman ingin lekas menyantap mie instan. Akan tetapi kompor portable yang kami bawa rusak. Beruntung pada waktu itu banyak pendaki lain yang mulai turun. Jadi, kami pinjam kompor portable mereka. Kami saling bertegur sapa dan berkenalan satu sama lain.

             Kemudian sekitar pukul 13.00 WIB barulah tenda mulai kami pasang. Setelah tenda terpasang, kami istirahat sejenak, sambil menunggu sunset. Namun cuaca pada waktu itu kurang bersahabat, pukul 17.00 WIB kabut tebal sudah mulai meyelimuti Puncak B-29. Akibatnya sunset yang ingin kami abadikan dalam foto jadi tidak sempurna. Tapi tidak apa-apa masih ada sunrise di hari esok.

            Malam harinya, cuaca sangat dingin sekali, sebelum tidur saya dan teman-teman sepakat akan makan malam terlebih dahulu. Kompor portable yang rusak bukan jadi alasan untuk tidak memasak. Di puncak pada waktu itu ada dua pendaki yang mendirikan tenda di dekat kami. Yang satu dari Jakarta, yang satunya lagi dari Bogor. Jadi, kembali kami meminjam kompor pada teman dari Bogor itu. Dan dengan senang hati mereka mau meminjamkan kompornya pada kami. Pokoknya serasa keluarga sendiri meskipun baru kenal.

            Di dinginnya keheningan malam, kami sempatkan mengeluarkan keluh-kesah kami. Baik itu perihal asmara, keluarga, teman, dan bercerita tentang hal apapun malam itu. Dan dari sana juga, saya sendiri banyak paham tentang bagaimana cara orang menyikapi masalah yang dihadapi.

            Pada keesokan harinya, kami benar-benar menikmati sunrise dari Pucak B-29. Hawa  sejuk dan embun pagi menjadi saksi terbitnya matahari pagi itu. Menikmati matahari terbit kurang pas rasanya jika tidak ditemani dengan secangkir kopi. Diseduhlah kopi, kami berlima pun menikmati keindahan pagi sambil ngopi.

            Di samping Puncak B-29 ada juga puncak lain yang patut disambangi. Yakni Puncak P-30, sebelum mengemas barang-barang, saya sempatkan untuk pergi ke sana bersama satu teman saya. Kami mulai berjalan menyusuri jalanan yang dihiasi tanaman kubis dan bawang sepanjang jalan. Jarak yang kami tempuh sekitar 20-25 menit dengan jalan kaki. Sesampainya di Puncak P-30 kami langsung mengabadikan momen dengan bersua foto. Dari Puncak P-30 pesona Gunung Bromo terlihat lebih eksentrik nan apologetik. Saya sempatkan duduk sebentar, sebelum akhirnya memutuskan untuk balik lagi ke Puncak B-29.

            Perjalanan yang mengagumkan karena banyak bertemu orang-orang baru, suasana baru, pengalaman baru. Dan yang paling dikenang karena kami bisa merayakan kemerdekaan Republik Indonesia di Puncak B-29 dan P-30. Jayalah bangsaku. Damailah Indonesiaku. Salam dari negeri di atas awan (B-29). Dirgahayu Indonesia yang ke-75. Merdeka.