Tingginya tingkat literasi (baca-tulis) masyarakat berpengaruh pada kesejahteraan hidupnya. Dengan banyak membaca, pola pikir masyarakat menjadi maju dan keluar dari zona kemiskinan menuju kehidupan yang sejahtera. Maka itu, untuk menyejahterakan masyarakat desa harus melakukan upaya perbaikan terhadap tingkat literasinya.
Kita tahu sejak digelontorkan dana desa, kehidupan di desa mengalami kemajuan. Jalan sudah beraspal, di gang kecil pavingisasi mempermudah mobilisasi orang dan barang. Ekonomi lokal mulai berkembang lewat BUMDes. Saat kemarau begini petani sudah tak mengeluh kekurangan air karena adanya irigasi dan bendungan.
Berbagai kemajuan itu sayangnya belum diimbangi dengan budaya membaca yang tinggi. Minat baca masyarakat desa masih rendah tak sepenuhnya salah mereka, tapi negaralah yang gagal membuat warga desa kurang suka membaca.
Minat baca itu sangat dipengaruhi akses buku. Negara belum maksimal berupaya mendekatkan buku kepada rakyat. Perpustakaan dibangun megah hanya berada di kota. Pemerintah belum memasifkan pembangunan perpustakaan desa. Perpustakaan Nasional RI mencatat masih ada 24 ribu perpustakaan desa pada 2017. Tentu jumlah perpustakaan harus setara dengan jumlah desa yakni 74.957 desa.
Minimnya akses mendapatkan buku membuat masyarakat desa belum tercerahkan tentang manfaat membaca. Katanya, membaca tak bisa membuat kaya kalau kita tak bekerja. Alhasil, mereka lebih sibuk bekerja.
Pada waktu luang, mereka lebih suka melihat televisi ketimbang berdiam sambil baca buku. Ini sarana hiburan mereka. Selain untuk mengetahui informasi yang ada di negeri ini. Menurut sebagian dari mereka, yang rajin baca buku biarlah anak-anak mereka yang masih sekolah. Agar anak bisa pintar, kelak jadi orang sukses.
Namun sayangnya, anak-anak juga tak gandrung membaca. Ini tak lepas dari sistem pendidikan kita yang mengedepankan kognitif. Pembelajaran diarahkan untuk sukses ujian nasional (UN). Kegiatan selain UN menjadi terabaikan. Tak ayal bila Gerakan Literasi Sekolah tak ubahnya hangat-hangat tahi ayam, kini mulai surut.
Berikan Akses
Rendahnya tingkat literasi masyarakat desa bukan kondisi yang lahir dari ruang hampa. Tak lain karena gagalnya negara menjalankan fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara yang salah, tapi kenapa justru rakyat dikambinghitamkan?
Kalau sekarang negara ingin warganya suka membaca. Ya, berikan akses selebar-lebarnya ketersediaan buku bagi masyarakat. Bangunkan perpustakaan, taman baca, dan sebagainya di desa. Perbanyak peredaran buku di tengah-tengah masyarakat kita.
Pemerintah desa punya andil besar mengajak warganya untuk gemar membaca. Dana desa sangat bisa dialokasikan untuk pembangunan perpustakaan desa. Penuhi perpustakaan dengan koleksi buku yang mendukung pekerjaan masyarakat.
Lalu, pemerintah desa membuat program gerakan membaca sebagai kelanjutan dari gerakan literasi nasional. Jika hanya menunggu kesadaran masyarakat, mbok sampai kapan pun gerakan membaca juga tak akan terlaksana. Jadi, program gerakan membaca harus tertuang dalam peraturan desa yang dibuat bersama antara pemerintah desa dengan masyarakat.
Pemerintah desa harus gencar melakukan sosialiasi gerakan membaca kepada warga. Ini dimaksudkan untuk membuka wawasan masyarakat agar tahu manfaat gerakan literasi. Bila sudah tahu dan paham manfaatnya, diharapkan pola pikir masyarakat tentang budaya membaca bisa berubah. Agar sosialisasi lebih efektif, pemerintah desa bisa menggandeng para pegiat literasi. Dengan begitu, masyarakat akan memandang kegiatan membaca buku sebagai sesuatu yang menarik untuk dilakukan.
Keberadaan perpustakaan desa harus dioptimalkan. Ia bukan hanya sebagai tempat membaca atau meminjam buku. Pemerintah desa, pustakawan, dan masyarakat harus mengembangkan kemanfaatan perpustakaan dengan mengadakan berbagai aktivitas, seperti mendongeng, lomba literasi, ngopi bareng sambil bedah buku, bazar buku, workshop menulis, dan sebagainya.
Program perpustakaan desa disinergikan dengan gerakan literasi di keluarga. Masing-masing keluarga mendapatkan buku bacaan dari perpustakaan. Lalu, tiap keluarga ditantang untuk berinovasi dalam membangun budaya literasi keluarga.
Sejumlah hal bisa dilakukan orang tua dalam membangun budaya literasi di rumah. Ibu dapat mendongeng dan membacakan buku kurang lebih 15 menit menjelang tidur bagi anak-anak usia dini yang belum bisa membaca. Lalu, menyediakan buku-buku yang digunakan sebagai sarana membangun budaya literasi. Sediakan pojok buku di rumah kita agar anak-anak gampang meraihnya. Perpustakaan keluarga menjadi penting, alokasikan secara rutin anggaran untuk membeli buku.
Hal yang penting dalam membangun budaya literasi adalah konsisten dengan menetapkan waktu berkumpul semua anggota keluarga membaca. Misalnya sambil menemani anak belajar, orang tua membaca buku. Dengan energi positif dan semangat orang tua membaca buku akan berpindah kepada anak-anaknya. Ketika anak melihat orang tuanya gemar membaca dan pembelajar, dengan gampang dia menirunya.
Tak hanya itu, saat libur ajak semua anggota keluarga ke perpustakaan desa. Ini mengenalkan anak pada dunia perbukuan. Mereka menjadi paham melalui buku, mereka banyak mendapatkan ilmu yang tidak diperoleh dari interaksi di lingkungan. Misalnya bagi anak yang menyukai origami, bisa baca buku tentang handycraft. Atau yang senang melakukan percobaan, ada buku ilmiah. Jadi, ilmu pengetahuan tersaji di berbagai buku. Cara menghargai buku adalah dengan membaca.
Nah, dari keluarga virus literasi menyebar di masyarakat. Ketika masyarakat kita sudah sadar membaca sebagai kebutuhan, maka akan menjadi gampang membangun budaya menulis. Pemerintah desa bisa memfasilitasi dengan memberikan alokasi dana desa untuk pembuatan majalah desa. Terbitnya majalah desa akan semakin mengokohkan semarak literasi di desa.
Akhir kata, penulis yakin bila budaya baca masyarakat desa makin tinggi tentu kualitas hidupnya semakin baik. Begitu pun dengan gampangnya kesejahteraan hidup dicapai. Semoga.