LINTANG menggenggam sebilah pisau dapur yang tajam. Ujungnya memercikkan cahaya lampu yang mengilat. Pisau itu, yang biasa digunakan untuk mengiris pangkal bayam, kini terasa berat. Tangan Lintang bergetar, nyaris tak mampu menahan beban dalam pikirannya. Air matanya mengalir, membentuk liuk-likuk sungai kecil.

Desiran angin malam seolah-olah mempertegas ketegangan di dalam rumah. Setiap embusan angin menggaungkan nama-nama yang selama ini mengganggunya. Kilatan aneh di mata Lintang menyiratkan perasaan yang entah dinamai apa. Napasnya pendek, bercampur dengan ketegangan dan rasa sakit yang menyelimuti dirinya.

Di sudut ruang yang dingin, Lintang merasakan air matanya menetes sedikit demi sedikit, membasahi ubin rumahnya. Rasa sakit fisik seakan menjadi hal yang lebih ringan dibandingkan dengan derita batin yang menimpa dirinya. Suara dengung di telinganya, yang tak pernah berhenti, menggema seperti nyanyian sihir yang menuntutnya untuk menyerah. Suara-suara itu adalah bisikan-bisikan yang datang dari mulut-mulut Jahanam yang berdiam di sekujur tempat tinggalnya.

Lintang berdiri di ambang batas, berjuang antara keputusasaan dan tekad. “Kalau aku tidak bisa memotong mulut mereka, biarkan aku yang memotong telingaku sendiri,” bisiknya pada diri sendiri, dengan suara yang pecah. Dalam kegelapan malam itu, keputusan tampaknya merupakan satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaan yang tak kunjung usai.

***

Hari itu, matahari memantul dari genting rumah-rumah kampung yang mulai memudar warnanya. Di sudut jalan, di depan rumah Marfuah, Jubaidah seperti biasa duduk dengan tubuh bongsornya yang setengah tersandar pada kursi mahoni. Daster lebar yang melilit tubuhnya sudah hampir sobek di beberapa bagian, tapi ia tampak tak peduli. Tangan gemuknya sibuk mengipasi wajah, sementara mulutnya tak pernah berhenti bergerak. Bicara, bicara, dan bicara. Sering kali Jubaidah berbicara seolah-olah dunia ini berutang untuk mendengarkannya. Bahkan ketika tak ada yang menanggapi, Jubaidah tetap berbicara, ia yakin bahwa setiap kata yang melompat dari mulutnya ialah kebenaran mutlak yang harus diterima.

“Bu Ani itu, ya, Marfuah,” celetuk Jubaidah dengan nada yang dibuat penuh simpati, “suaminya baru pulang kerja malam, eh, pagi-pagi udah pergi arisan lagi. Apa nggak kasihan sama suaminya? Anaknya juga jadi nggak keurus.”

Marfuah, dengan tubuh kurusnya yang duduk di sebelah Jubaidah, mengangguk pelan. Wajahnya seolah-olah mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan. “Iya, Bu, memang kasihan. Tapi mungkin suaminya juga ngerti kali ya, Bu?”

“Ah, ngerti apa! Kalau bini udah mulai lupa diri, ya laki harus tegas!” potong Jubaidah sambil mengibaskan tangannya. “Coba kamu lihat Bu Ani itu. Rumahnya juga mulai berantakan sekarang. Orang kaya sok sibuk.”

Di sebelah mereka, Endang, yang tubuhnya berkilauan dengan gelang dan anting emas, hanya menatap dengan mata tajam. Bibirnya sedikit menyunggingkan senyum, menikmati gosip yang mengalir di antara dua temannya. Gelang-gelang emas di tangan Endang beradu ketika ia menyilangkan lengan.

“Tapi ngomong-ngomong, bini yang begituan harusnya dikasih pelajaran, biar tahu diri. Suami aku kalau aku belanja sedikit aja udah ngomel, tapi ya gimana lagi, uang ada, ya dipakai!” katanya dengan tawa kecil yang dibuat-buat.

Jubaidah mengangguk, ia merasa Endang telah mendukung pendapatnya. “Betul, betul. Laki-laki tuh harus tegas! Tapi ada juga laki yang terlalu sayang, sampai nggak tahu istrinya kayak gimana. Itu si Bu Ratih, belanja barang-barang mahal pakai kartu suaminya. Mana pantes!”

Marfuah berusaha ikut menyambung lagi, “Iya, Bu, kalau belanja kebanyakan…”

“Ya jelas! Udah belanja di pasar aja, sok beli barang-barang mahal! Mentang-mentang tinggal di sini mau gaya kota.” Jubaidah memotong lagi sembari melempar muka.

Dan di situ, di tengah bisik-bisik busuk itu, Lintang lewat dengan langkah cepat. Pada sudut matanya, ia menangkap senyum licik Jubaidah yang mengembang begitu melihatnya.

“Eh, Mbak Lintang, gimana kabarnya?” Jubaidah menyapa dengan manis, suaranya dibuat selembut sutra.

Lintang menoleh sejenak, tersenyum tipis. “Baik, Bu.”

Hanya itu. Ia tahu, begitu ia melangkah lebih jauh, percakapan akan berlanjut. Kali ini, ia yang akan menjadi buah bibir bagi mereka.

***

Petang itu, Lintang duduk di kursi kayu ruang tamu, wajahnya pucat, sementara jemarinya tak henti-hentinya meremas segenggam tisu yang basah oleh air mata. Di seberang meja, Damar, duduk dengan alis mengernyit, mencoba memahami mengapa istrinya tampak tak gembira.

“Mas, aku nggak tahan lagi,” suara Lintang pecah, tangisnya tak tertahan. Bahunya bergetar sementara tubuhnya serasa remuk. “Setiap kali aku keluar rumah, mereka selalu memandangku dengan tatapan… tatapan yang seakan-akan aku melakukan sesuatu yang hina. Aku ini bukan perempuan kotor seperti yang mereka katakan, Mas. Aku nggak kuat lagi.”

Damar terdiam. Ia tidak pernah menyangka bahwa gosip-gosip di kampung kecil ini begitu menyiksa istrinya. “Apa yang mereka bilang, Sayang?”

“Tentang laki-laki yang sering datang ke rumah… mereka bilang aku… mereka bilang aku selingkuh, Mas! Padahal, itu keponakanku sendiri!” Lintang menangis lebih keras, tangis yang selama ini ditahannya kini tumpah ruah. “Dan sekarang… mereka bilang aku mandul. Aku nggak bisa punya anak.”

Lintang terisak, dan di setiap isakannya, ada bagian dari dirinya yang terkikis, hancur secara perlahan. Damar bangkit, berjongkok di sampingnya, memeluk istrinya erat-erat. “Sayang, jangan dengarkan mereka. Kita tahu kebenarannya. Mereka cuma iri. Kita baik-baik saja.”

“Tapi mereka nggak berhenti, Mas… setiap hari, setiap malam. Aku nggak bisa tidur, suara mereka terus ada di kepalaku. Aku… aku nggak tahu sampai kapan aku bisa bertahan.”

“Kita akan hadapi ini bersama. Kamu nggak sendiri.”

“Sampai kapan, Mas?”

Lintang membuang gumpalan tisu ke dalam mulut tong sampah dengan keras. “Sampai kapan aku harus hidup di bawah bayang-bayang mereka? Sampai kapan aku harus menahan rasa sakit ini? Aku nggak tahan lagi. Rasanya… rasanya lebih baik kalau aku nggak bisa mendengar mereka lagi, Mas!”

“Sayang, jangan bicara seperti itu. Kita bisa pindah dari sini kalau perlu.”

“Ke mana kita akan pergi?” tantang Lintang, matanya menjurus tajam. “Ke tempat lain, tempat orang-orang yang tak lebih baik dari sini? Mereka akan terus bicara, Mas. Di mana pun aku berada, mereka akan terus bicara. Aku… aku lelah, Mas.”

Air mata Lintang mengalir deras di pipinya, mengaburkan pandangannya. Suara-suara itu semakin keras di dalam kepalanya, menertawakannya tanpa henti. Seolah-olah seluruh dunia bersekongkol untuk menghakiminya.

Damar menghela napas panjang, memeluk istrinya lebih erat. Ia bisa merasakan kesedihan Lintang yang begitu dalam, tetapi di saat yang sama, ia merasa tak berdaya. Bagaimana bisa ia melawan sesuatu yang tak bisa dilihat? Bagaimana ia bisa menghentikan suara-suara di kepala istrinya?

“Mas, tolong aku…” bisik Lintang dengan lirih, “aku nggak tahan lagi.”

Di pelukan suaminya, Lintang menangis tanpa suara. Tangis yang tak bisa didengar oleh tetangga-tetangga mereka, yang terlalu sibuk berbicara tentang kehidupannya. Tangis yang hanya bisa dirasakan oleh Damar, yang hatinya ikut hancur setiap kali Lintang mengisak.

***

Lintang duduk di sudut dapurnya, pisau di tangan. Kepalanya berdenyut, bukan hanya karena suara-suara dari luar, tetapi juga dari dalam. Ia tak bisa lagi membedakan mana yang lebih menyakitkan—kata-kata Jubaidah atau kekecewaan suaminya yang tak pernah ia ungkapkan.

Dengung itu, suara-suara itu, tak akan pernah berhenti—itu yang dirasakannya. Lintang melihat pisau, membayangkan seandainya ia memotong telinganya, ia bisa meredam suara-suara yang terus menerus mengganggu. Pisau tersebut tampak sebagai satu-satunya jalan keluar dari penderitaan yang tak kunjung usai ini.

Saat Damar tiba dengan terengah-engah, mencoba merebut pisau dari tangan Lintang, ia merasakan betapa mendalamnya luka yang dirasakan istrinya.

“Kalau aku tidak bisa memotong mulut mereka, biarkan aku yang memotong telingaku sendiri,” tegas Lintang, air matanya tumpah.

Damar, yang sudah kehabisan kata-kata, berusaha merebut pisau itu dari tangan Lintang, lalu memeluk istrinya itu erat-erat. “Kita akan menghadapi ini bersama. Kamu tidak sendirian.”

Di penghujung malam yang sunyi, dengan hanya cahaya bulan yang menerangi, Lintang dan Damar duduk di tepi keranjang tidur, menghadap satu sama lain dalam keheningan yang sulit untuk dinamai. Sementara itu, Lintang akhirnya memejamkan matanya. Ia berharap bahwa suatu hari nanti, dia akan menemukan kedamaian. Bukan dengan memotong telinganya sendiri, tetapi dengan menemukan cara lain untuk menyembuhkan luka batin yang lebih dalam dari apa pun yang bisa dipotong—termasuk telinganya.

***

Di luar, tampaklah Jubaidah yang sedang melintasi jalan kecil di depan rumah Lintang. Ia samar-samar mendengar suara dari balik kamar Lintang. Jubaidah berjalan mendekat, lalu mengintip melalui jendela dengan rasa ingin tahunya yang tak tertahan. Ia mendapati Damar tengah memeluk Lintang yang berurai air mata.

Jubaidah, dengan nada picik, spontan mencibir, “Huhh, dasar pengantin baru. Baru juga sebulan jadi pengantin, sudah sering bertengkar seperti itu.”

*) Image by istockphoto.com