Sudah kupastikan suamiku berada di sini, di lorong yang panjang dan dingin ini. Suamiku hitam, gagah, dan sangat penurut. Dia selalu ada di setiap aku butuh. Dia selalu menemaniku kapan pun aku mau, bahkan ketika aku ingin ke kamar mandi sekali pun. Tentu aku tak bisa jauh-jauh darinya. Ia juga selalu ada tiap pagi saat aku membuka mata. Aku sangat menyayanginya dan tak pernah sedetik pun ingin jauh darinya.

“Cari apa, Kak?” suara-suara perempuan muda di balik etalase yang dibelah lorong panjang dan dingin ini saling bersahutan. Mereka terus menawarkan barang dagangan mereka. Sudah kubilang, aku sedang mencari suamiku, tapi mereka malah tak percaya.

Aku kehilangan suamiku beberapa waktu lalu, maka dari itu aku mencarinya ke tempat ini. Aku hanya ingin meniru apa yang dilakukan Kukuh. Katanya ia juga menemukan istri idamannya di sini. Istrinya itu tak jauh beda dengan suamiku. Ia putih, pendiam, dan penurut. Kukuh dan istrinya selalu bersama. Tak pernah sekali pun kulihat Kukuh bepergian tanpa istrinya. Kukuh sangat mencintainya, pun tak ingin sedetik pun jauh darinya.

***

“Kau punya wanita simpanan?”

Pantang pulang sebelum menghapus pesan. Mungkin itulah kalimat yang selalu diterapkan oleh suamiku hingga ia biasa saja saat mendapat pertanyaan tanpa basa-basi dariku. Malam itu, seperti malam-malam lain selepas pulang kerja, ia langsung sibuk dengan ponselnya. Mungkin aku hanya dianggap semut yang merayap di ujung meja yang tak diakui keberadaannya hingga ia begitu bebasnya melihat ponsel dengan tertawa-tawa. Barulah saat semut itu mengeluarkan suara, ia mendongakkan kepalanya.

“Periksa saja ponselku kapan pun kau mau. Tak ada apa-apa seperti yang kau tuduhkan,” dengan santainya ia menaruh ponsel itu di atas meja makan.

“Pasti kau sudah menghapus riwayat-riwayat pesan dan panggilanmu sebelum kau pulang!” Aku berbalik menjawabnya dengan muka masam.

Aku tak paham mengapa waktu bergulir begitu cepat bak pelari yang berlomba-lomba mengitari lintasan. Sepertinya baru kemarin kami mengucap janji pernikahan lantas glamping bertajuk bulan madu di sebuah lereng gunung sambil merancang masa depan. Aku merutuk waktu. Harus bilang apa pada umurku jika sampai lima tahun ini aku belum juga dititipi buah hati?

Mungkin karena itulah suamiku terus-terusan bermanja dengan ponselnya. Pernah, saat ia terlelap dengan dengkur kerasnya, aku memeriksa apa yang ada di dalam sana. Seperti yang ia katakan, memang tak ada apa-apa. Hanya ada percakapan dengan bos, rekan kerja, dan ibunya yang semuanya masih terlihat normal. Lalu kenapa dia selalu membawa ponsel itu kemana-mana? Bahkan saat di kamar mandipun, ponsel itu tak pernah lepas dari genggamannya. Apakah ponsel itu serupa istrinya?

***

Aku mengirimkan sebuah tautan berita dari portal online kepada suamiku yang lagi-lagi sedang menatap ponselnya. Malam sudah semakin larut, namun mata kami sama-sama belum bisa menutup. Tak ada percakapan. Kami sama-sama sibuk menatap layar. Hingga ia membuka tautan yang baru saja aku kirimkan, matanya terbelalak lebar.

“Apa maksudnya?”

“Cuma berita. Mengapa harus sekaget itu?”

“Jelas-jelas tertulis, seorang suami menikam istrinya karena kesal istrinya bermain HP seharian. Maksudmu apa? Kau ingin melakukan hal yang sama? Apa hanya aku yang bermain ponsel? Kaupikir dirimu tidak?”

Kamar yang sedari tadi sepi bak komplek kuburan mendadak ramai oleh berondongan pertanyaan. Akhirnya aku mendengar suara suamiku setelah sekian bulan hanya diam. Jauh di lubuk hatiku, aku lebih memilih pertikaian seperti ini. Setidaknya aku bisa berargumen, daripada menyaksikan ia hanya menutup mulut setiap aku mengatakan sesuatu yang tak aku sukai.

“Aku begitu karena kau begitu! Kau yang melakukan lebih dulu! Kau punya wanita simpanan, bukan?”

“Jangan asal bicara tanpa bukti!”

“Lalu, mengapa kau selalu membawa ponselmu kemana-mana, seakan kau takut aku membongkar sesuatu yang ada di dalamnya?”

“Aku sudah bilang, periksa saja ponselku kapan pun kau mau. Aku tidak takut. Kasihanilah dirimu sendiri yang suka menuduh orang seenaknya tanpa bukti!”

“Lalu kenapa kau kerap mencampakkanku dan selalu bergumul dengan ponselmu? Apa karena aku tak kunjung memberimu anak? Kau malu punya istri sepertiku?”

“Aku tak pernah berkata demikian. Kau yang merasa bersalah pada dirimu sendiri. Kau selalu takut pada umurmu yang semakin menua, bukan?”

Aku merasa kacau setelah mendengar kalimat-kalimatnya. Aku memang suka pertikaian, tapi aku tak suka jika tak menang. Aku sudah kehabisan kata karena sebenarnya apa yang dikatakan suamiku memang benar adanya. Selama ini dia tidak pernah menuntutku untuk segera memberi momongan. Hanya saja, aku yang teramat sensitif. Tapi yang pasti, pergumulan suamiku dengan ponselnya masih tak bisa kumaafkan. Dia belum memberi alasan mengapa selama ini lebih memilih berlama-lama dengan benda mati itu daripada dengan istrinya sendiri.

Maka dengan gelap mata, aku meraih kedua ponsel yang masih tergeletak di atas ranjang kemudian membantingnya ke lantai. Benda hitam dan putih itu sama-sama tercerai berai. Aku harap dengan kejadian itu kami bisa kembali bersatu. Melupakan benda mati itu dan fokus dengan kehidupan yang baru.

Namun ia tak terima. Katanya aku sudah kelewatan. Di malam itu juga, tak hanya ponsel kami yang hancur, melainkan pernikahan kami juga turut lebur.

***

Lorong dingin ini sudah mulai pengap dengan teriakan-teriakan dan keringat para pedagang yang menjajakan minuman. Di ujung lorong, di sebuah toko yang paling besar, akhirnya suamiku berhasil kutemukan. Aku tak berhenti mengusap-usap kulitnya yang hitam legam.

“Berapa harganya, Kak?” tanyaku pada sang pramuniaga. Aku mendatangi toko ini karena wanita itu adalah satu-satunya orang yang paham saat aku mengatakan ingin mencari suami sesuai spek yang aku inginkan.

“Lima belas juta, Kak. Ada cashback sebesar dua ratus ribu, jadi Kakak tinggal membayar empat belas juta delapan ratus ribu.”

Ia tak henti-hentinya tersenyum. Dengan semringah pula aku mengeluarkan selembar kartu debet dari dompetku. Aku rela membayar mahal selama aku suka karena aku yakin benda hitam pipih yang sedang kugenggam ini akan memberikan berjuta kebahagiaan.

Benda ini sekarang resmi menjadi suamiku yang baru. Aku tak perlu memberinya momongan. Ia juga penurut dan selalu menemaniku dalam berbagai keadaan. Aku yakin Kukuh juga melakukan hal yang sama. Pasti dia sedang mencari istri yang tak suka mengomel, penurut, dan tak gemar beradu mulut. Setelah ponselnya hancur kubanting dari atas ranjang dan kubuang ke tempat sampah, Kukuh hanyalah seseorang yang namanya abadi bersamaku di atas selembar akta perceraian.

*) Image by istockphoto.com