Membaca Wajah Ayah
Aku ingin membaca ulang wajahmu
Dari redupnya mata ibu
Meski bibir ibu sudah keriput
Tapi aku mendengar suaramu dari kasihnya
Kini ibu mabuk dalam kesendirian
Tanpa laut ayah yang bergelombang
Kata ibu, suatu hari beberapa tahun lalu
Aku mendengar dan airmata luruh juga
Sore itu ibu duduk dengan masa lalu
Katanya masa lalu ibu adalah ayah
Laut biru yang selalu membuatnya mabuk
Meski mabuk tapi ibu bahagia ujarnya
Aku tahu kalau ayah adalah perjalanan ibu
Membawanya ke halaman diri ayah
Aku ingin juga dibawa ayah kataku
Boleh kata ibu sebab semua
laut adalah ayahmu katanya
Aku hanya diam
tapi pikiranku tumbuh dan besar sekali
Aku membayangkan laut adalah ayahku
Tapi belum pernah mendengar ombaknya,
Dan mabuk seperti ibu di dalamnya
Ketika besar, aku kembali terdiam
Laut ibu yang diceritakan puluhan tahun lalu
Menjadi hujan mengerikan dalam mataku
Menempel dalam ingatan hingga jadi bayang
Sebab saban tahun, perayaan tentang ayah
Selalu dirayakan nama-nama aneh itu
Arakundo, Rumoh Geudong, Simpang KKA,
Ada juga ayah temanku di sana
apa ayahmu juga?
Jakarta, 2024
***
Dari Bahaya ke Bahaya
Kami yang tumbuh tanpa pikiran bapak
Saban hari menertawakan diri sendiri
Di lubuk desa para ibu menjadi bapak
Membajak keringat dan meudodaidi kami
Keringat bapak yang berpeluh di dahi ibu
Adalah aliran kebahagiaan baginya
Sesekali ada rasa sakit menyergapnya
Tapi langsung padam saa melihat mataku
Di kampung ini lelaki telah pergi jauh
Tapi nama mereka disebut bagai bunga
Aroma yang singgah di rumah kami
Setelah angkara menembus kepala mereka
Sejak saat itu, cita-cita ibu hanyalah aku
Ia bahkan merobek keinginannya sendiri
Bagaikan hujan yang turun sepanjang tahun
Deras dan begitu menyakitkan
Di depan Monas, meski sesak dengan suara
Tapi aku terus saja mendengar kesunyian ibu
Jakarta, 2024
***
Di Tubuh Ibu
Di tubuh ibu,
aku memancing doanya
Memancing dengan kail kesungguhan
Kail yang penuh kerinduan itu,
Begetar di muara penantian
Doa ibu adalah pohon dalam diriku
Yang begitu lebat dan berdesakan
Doa-doanya bagaikan hujan
Turun deras dan basah kerinduan
Aku ingin pulang ke rumah ibu;
Dalam senyum dan tawanya
Dalam diam dan sedihnya
Tabungan rinduku ini
sudah begitu meruah
Jika mengingat ini, tiba-tiba
Teh buatan ibu dan dapurnya ngebul
dalam kepalaku; aromanya mengobati nyerinya perantauan
Jakarta, 2024
***
Sayap Patah Gigil Rindu
Kau yang pergi dari kuatnya ingatan
Meninggalkan sayap patah gigil rindu
Bahagia yang kuat ini pun kenanga
Nostalgia paling baik adalah kehilangan meski sesekali kangen akan hinggap
dan muncul tiba-tiba
seperti kangen masa kecil
berlarian di bawah hujan yang tembaga
Kutelusuri bayangmu dalam saban
peristiwa bahkan dalam diriku sendiri;
tapi ibu menggerutu
Katanya tubuhku mekar dengan begitu banyak luka
Luka ke luka hanyalah tanda bahwa kita dewasa kataku
Di luar, hujan masa kecil turun begitu tembaga
Dan aku tiba-tiba ingin kembali menjadi
Temanmu pada kehidupan selanjutnya
Jakarta, 2024
***
Nyala untuk Yuyun
Basah hujan sepanjang tahun,
belum tentu
membuat gigil, sayang.
Kecuali kepergianmu,
si jantung merah delima
hutan rimba.
Ingin kurantau hatimu,
degup dan makna
apa di dalamnya.
Namun lirih, Yun,
namamu telah semerbak kenanga.
Telah pergi kau ke lain
rindu, Yun. Sedang orang-orang
menyebut namamu,
penuh dan khidmat,
menyentuh bagai
derau hujan yang mencari
kemarau dalam mataku.
Kenapa ada rindu yang tiba-tiba,
basah seperti ini, Yun?
JAKARTA, 2016
Image by istockphoto.com