Mengenang 100 tahun Sitor Situmorang

KURUNGBUKA.com – (02/10/2024) Sejak awal Oktober, kesibukan-kesibukan besar diadakan di Indonesia. Orang-orang mengadapak peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Konon, peringatan berdasarkan (fakta-fakta) sejarah dan nasib Indonesia (1965). Peringatan itu menjadi andalan rezim Orde Baru. Di Gedung Parlemen, Jakarta, 01 Oktober 2024, kita melihat orang-orang terhormat dilantik menjadi anggota DPR dan DPD. Kita biasa mendengar penjelasan mereka ingin mengabdi untuk Indonesia. Di persumpahan, mereka bekerja memajukan dan membahagiakan Indonesia: 2024-2029. Berlanjut 02 Oktober 2024, jutaan orang di sekolah atau kantor mengenakan baju (mengesankan) batik. Mereka dalam selebrasi Hari Batik: memuliakan warisan para leluhur. Konon, batik bercerita keindonesiaan.

Peringatan-peringatan akbar dan sekian kesibukan bakal menjadikan Oktober sebagai bulan meriah tema dan produksi pesan-pesan biasa klise. Kita sulit mengerti segala maksud selama Oktober. Deretan pidato dan seruan-seruan bakal berceceran setiap hari. Situasi makin rumit dengan kesibukan atas nama demokrasi di seantero Indonesia. Konon, debat-debat diselenggarakan agar demokrasi tak sekadar coblosan. Indonesia terlalu sibuk!

Di serambi rumah, kita memilih duduk tenang menikmati teh atau kopi. Di jalan, orang-orang bergerak dengan beragam kepentingan. Langit tampak mendung, berharap sah musim hujan. Pohon-pohon ingin menghijau. Tanah-tanah mau selalu basah. Kita berimajinasi kesuburan, kemakmuran, keindahan, dan lain-lain. Di serambi, kita dalam lamunan setelah membaca puisi-puisi gubahan Sitor Situmorang. Penghormatan tokoh dan puisi mumpung berhak membuat peringatan kecil: 100 tahun Sitor Situmorang (1924-2024).

Kita membaca puisi untuk mengingat, mengenali, dan mengartikan Indonesia. Di puisi berjudul “Nyanyian Tanah Air”, Sitor Situmorang gamblang menggandrungi dan berharap Indonesia terberkati. Ia menulis: Salamku pada negeri tercinta,/ Salam pada gunung-gunungnya,/ Salam pada lembah dan ngarai/ Salam pada Danau Toba yang permai. Ia berkiblat Danau Toba dalam mengisahkan Indonesia itu molek, kerja, pangan, dan doa. Larik-larik pengakuan, tak perlu dicomot untuk iklan pariwisata.

Sitor Situmorang berpuisi bukan mengumbar indah-indah saja. Sejak masa 1950-an, ia mengerti puisi sanggup menggugat. Pada masa revolusi, ia memberi puisi-puisi bergairah meski dicap ideologis dan jatuh dalam bualan politis. Puisi dan politik terlalu dekat. Di kepentingan berbeda, Sitor Situmorang tetap mengarahkan puisi sebagai perlawanan. Di puisi berjudul “Permata Zamrud di Khatulistiwa”, kita diajak menikmati keindahan sekaligus penghancuran.

Kita dalam duka saat membaca: terlebih di malam berbulan, sembari/ pohon-pohon raksasa di hutan di lereng gunung,/ tempat pengambilan kayu gelondongan,/ mendendangkan kisahnya dalam sepi:// Bagaimana besok pagi mesin-mesin penebang/ akan muncul merubuhkan pohon-pohon,/ dan traktor-traktor menyeretnya ke pantai,/ masuk kilang – dan dalam beberapa menit saja/ mengolah kayu umur ratusan tahun jadi serbuk,/ dengan gigi-gigi baja yang tajam,/ kemudian diolah jadi plywood/ bakal penghias rumah kaum berada/ di mancanegara. Semula, kita mengira puisi mengandung pujian untuk segala dimiliki di seantero Indonesia. Puisi itu mirip risalah wajib terbaca oleh presiden, DPR, menteri, gubernur, pengusaha, dan lain-lain. Pembaca sadar atas “bangkrut” di khatulistiwa.

Di serambi setelah membaca puisi, kita melihat Indonesia dulu dan kini belum rampung dihancurkan. Konon, kebiadaban itu menghasilkan laba besar. Setumpuk dokumen dan penjelasan-penjelasan resmi bisa diberikan agar kedukaan ditanggungkan gunung, hutan, sungai, dan laut tak mendatangkan laknat. Indonesia dalam puisi justru ironi.

Kita kadang ingin menemukan puisi memberi kelegaan, bukan duka bersambung. Di puisi berjudul “Nusantara”, Sitor Situmorang mengurangi gundah pembaca. Ia mengisahkan: Rindu tanpa batas/ pada isi terpendam/ angin lintas/ bisik bibir kelu/ gunung berapi berbalut awan. Pengembaraan Sitor Situmorang di pelbagai tempat makin memberi pengertian-pengertian Indonesia. Ia tetap terikat Indonesia saat berkelana ke Eropa dan pelbagai negara. Puisi-puisi digubah sering berpijak dan berakar Indonesia.

Masa silam itu misteri dan menakjubkan. Sitor Situmorang mencatat khazanah Nusantara di arus warisan para leluhur. Indonesia dibentuk dengan beragam adat. Indonesia itu alam dan ritual, tergelar dari abad ke abad. Sitor Situmorang dalam puisi berjudul “Dunia Leluhur” membimbing kita “meninggalkan” serambi menuju dampak-dampak lampau. Sitor Situmorang menulis: Hutan jadi bayang-bayang/ roh leluhur/ merasukit tubuh/ kutanam bambu/ biar hangat kampung halaman/ daunnya hijau/ lebih hijau kalau rimbun. Indonesia abad XX justru Indonesia bermimpi industrial dan segala pemujaan teknologi berkiblat Barat. Leluhur ditutup dalam album lama. Orang-orang tega sekadar menengok dunia leluhur itu “fiksi”.

Pada suatu hari, Sitor Situmorang menggubah puisi dipersembahkan kepada Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Puisi tetap menerangkan nasib Indonesia. Puisi itu berjudul “Lagu Lautan Nusantara”. Kita di serambi seperti membuka halaman-halaman sejarah dan mengingat pasang-surut nasib (demokrasi) Indonesia di babak sambungan masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto.

Kita dalam larik-larik tak terlalu sulit ditafsirkan: Kancah nasib peruntungan/ keturunan demi keturunan/ dititipi panggilan hidup/ dalam gema nyanyian/ peredaran bulan dan matahari/ Terbentuknya negara-bangsa/ pada 17 Agustus 1945!// pemikul tugas pencipta/ pewaris nilai peradaban baru/ berinti cinta tanah air tunggal!/ pusaka kelahiran di setiap dusun/ dari Sabang sampai Merauke/ di lembah di pegunungan/ sepanjang setiap sungai/ sekujur pantai seluruh Nusantara. Puisi menjadi “penggalan” sejarah membentuk dan menggerakkan Indonesia. Kita menanti puisi itu dikutip dalam pidato para pejabat, guru besar, atau mahasiswa agar Indonesia tak melulu data-data birokrasi dan hasil riset-riset ilmiah.

Di serambi, kita tak lama untuk bersama puisi dan renungan. Waktu terus bergerak. Kita dalam peristiwa-peristiwa berbeda. Puisi-puisi terbaca di serambi itu ikhtiar kecil bagi kita dalam peringatan 100 tahun Sitor Situmorang (1924-2024). Kita agak mafhum: Sitor Situmorang menjadi Indonesia dengan puisi-puisi. Kita menjadi pembaca menemukan Indonesia dalam puisi-puisi jarang terbaca dan terkutip lagi saat Oktober terlalu sibuk dan ruwet. Begitu.

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<