KURUNGBUKA.com – (07/04/2024) Pengalaman menulis mengikutkan benda-benda. Ada benda-benda yang sudah lama ditinggalkan setelah dianggap kuno. Penggantinya adalah benda-benda baru yang dianggap memberi kemudahan dan kesan-kesan yang berbeda. Namun, ada yang bertahan dengan benda-benda lama berdasarkan penghayatan dalam membuat tulisan.

Ia mengerti ada kerepotan-kerepotan tapi itu menjadikan peristiwa menulis adalah istimewa. Yang membedakan tidak hanya benda. Pembahasaannya ikut berbeda. Dulu, orang yang menulis berpena. Pada masa yang berbeda, orang mengaku “menulis” tapi yang dilakukan adalah mengetik.

Di buku Carmel Bird, kita menemukan penghayatan: “Ketika masih bersekolah, saya sering duduk di pemakaman tua dan menulis novel di buku tulis. Kesunyian, suasana makam yang sudah rusak, sebagian makamnya yang tergali di lereng bukit, bentuk buku, tekstur kertas, tinta hitam yang mengalir dari pena pemberian ayah saya. Hal-hal ini mengilhami saya saat menulis.”

Yang istimewa tidak cuma benda-benda yang bersamanya. Pilihan tempat pun aneh, yang membuat penulisnya merasakan kesungguhan dalam menulis cerita. Ia tidak mencari yang aneh-aneh. Yang terpenting adalah penghayatan.

Sosok menerima berkah: “Saya senang merasakan kertas di bawah tangan saya yang bergerak, mencium bau tinta, memandangi jejak di atas kertas ketika saya mencoba membentuk cerita itu dalam pikiran saya.”

Kertas yang mudah rusak atau hancur dimuliakan dengan tulisan. Tinta yang menetap di kertas memberi “hidup”. Ia belum ada dalam godaan mesin tik atau komputer. Yang bersamanya masih benda-benda “lama”. Yang memberi bobot penghayatan adalah kuburan.

(Carmel Bird, 2001, Menulis dengan Emosi: Panduan Empatik Mengarang Fiksi, Kaifa)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<