Anime movie (film animasi) Mononoke Hime atau Princess Mononoke sangatlah mengesankan. Film yang dirilis pada 1997 itu, bagi saya, adalah salah satu film anime terbaik dari Studio Ghibli—selain Sen to Chihiro no Kamikakushi alias Spirited Away (2001). Secara tematik, anime yang ditulis dan disuradarai oleh Hayao Miyazaki ini memiliki kesamaan dengan Tonari no Totoro alias My Neighbor Totoro (1988) dan kemiripan dengan Gake no ue no Ponyo alias Ponyo on the Cliff (2008) yang berbicara tentang betapa pentingnya menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Perbedaan Mononoke Hime dengan dua anime yang disebutkan terakhir adalah Mononoke Hime lebih terasa “dewasa”, serius, dan (alur ceritanya) kompleks, sementara yang lain lebih terasa “kanak-kanak”, santai dan (alur ceritanya) sederhana.

Anime ini bercerita tentang seorang remaja bernama Ashitaka yang tinggal di sebuah desa atau hutan di bagian antara utara dan timur. Suatu hari desanya diserang oleh seekor monster babi yang terkena kutukan. Ia berhasil membunuh babi itu, tapi tangannya terkena kutukan yang kelak kutukan itu akan memakan dirinya sendiri dan membawanya kepada kematian.

Ia pun berkelana untuk menyembuhkan kutukan itu. Lalu di perjalanan ia bertemu dengan Juko, seorang ahli pemburu-pengintai. Katanya, jika tangan Ashitaka ingin sembuh, maka ia harus bertemu dengan Dewa Rusa. Bukannya bertemu dengan Dewa Rusa, ia malah terjebak di tengah peperangan antara para pembuat senjata yang diketuai Eboshi dengan Moro, Dewa Serigala yang mengasuh seorang anak perempuan bernama San alias Mononoke.

Moro dan San memerangi Eboshi karena Eboshi ingin mengubah hutan menjadi pabrik besi untuk membuat senjata. Selain itu, dengan senjata api buatannya, Eboshi juga selalu mengusir para kera yang berusaha menanami kembali bagian-bagian hutan yang telah rusak dengan pohon-pohon. Agar rencananya berhasil, Eboshi bekerja sama dengan Juko untuk membunuh Dewa Rusa. Okotto, Dewa Babi, beserta pasukannya bekerja sama dengan Moro melawan Eboshi dan Juko, tapi sayang tak berhasil. Saat Eboshi dan Juko memburu Dewa Rusa, pabrik besinya diserang para samurai yang ingin menguasai pabrik besi tersebut.

Eboshi akhirnya berhasil menembak kepala Dewa Rusa dan menyerahkannya kepada Juko. Juko membawanya kabur. Dewa Rusa berubah menjadi Dewa Kematian—selain bisa memberikan nyawa, ia juga mampu mengambil nyawa makhluk hidup. Siapa pun dan apa pun yang tersentuh bagian tubuh Dewa Kematian yang menyerupai cairan yang tersebar dengan sangat cepat ke pelbagai penjuru akan mati seketika. Hutan dan pabrik besi dilumat Dewa Kematian.

Beruntung, Ashitaka dan San berhasil menangkap Juko dang mengembalikan kepala Dewa Rusa kepada pemiliknya. Seketika hutan yang mati ditumbuhi kembali pohon-pohon kecil. Akhirnya, Ashitaka memilih tinggal di pabrik besi yang pasti akan dibangun kembali agar ia bisa mengontrol manusia untuk bisa hidup berdampingan dengan alam tanpa merusaknya, sementara San tetap tinggal di hutan agar tetap lestari.

Menjaga Alam

Dari anime yang berduarasi dua jam lebih itu kita belajar bahwa hutan dan gunung (baca: alam) harus dijaga dengan baik. Jangan sampai hancur! Setiap hutan, gunung, laut memiliki penjaganya masing-masing. Secara tersirat, film-film yang saya sebutkan sejak di awal paragraf tulisan ini menyatakan bahwa memang ada sesuatu yang gaib yang menjaga seluruh tempat-tempat tertentu di muka bumi ini, namun pada akhirnya semuanya dikembalikan lagi kepada manusia sebagai penghuninya.

Namun, jika hati manusia dipenuhi oleh keserakahan, maka yang akan terjadi adalah kehancuran, baik itu kehancuran alam maupun kehancuran sosial, yang pada akhirnya menghancurkan umat manusia sendiri beserta kehidupannya.

Kehancuran itu bisa kita lihat sendiri di sekitar kita saat ini. Hujan dan kemarau sudah tidak lagi mengenal musim. Saat hujan turun, wilayah-wilayah yang dulunya tidak terdampak banjir kini malah menjadi wilayah langganan banjir. Gunung-gunung terus dikeruk. Sawah-sawah kian hari kian diurug, dibuat perumahan. Udara penuh polusi. Dan seterusnya dan seterusnya.

Saya jadi berandai-andai: Pada suatu hari, para pengusaha (terutama pengusaha tambang pasir, pengusaha pengeruk gunung, pengusaha pembangun perumahan dan gedung-gedung dan pengusaha-pengusaha lainnya yang usahanya berkaitan dengan menghancurkan alam), para penguasa-pembuat kebijakan dan masyarakat secara umum melakukan nonton bareng film Mononoke Hime. Lalu setelah itu ada diskusi terkait film tersebut dengan kondisi kelestarian alam dewasa ini. Kemudian kita membuat perjanjian dan benar-benar melaksanakannya: untuk menjaga kelestarian alam bersama-sama.

Terjadi atau tidaknya hal ini tergantung kita semua.

Rumah Baca Bojonegara, Minggu, 12 Maret 2023 23:34 WIB