Sepulang bekerja hatiku kesal saat melihat tudung saji di meja dapur dibiarkan terbuka; sebuah piring berisi tulang ikan dan sepiring lagi bekas nasi. Kutaksir sempat ada sepiring nasi di sana, tetapi acak tinggal beberapa butir, beberapa lagi berserak di meja. Dari belandongan suara ibuku terdengar cempreng—dengan setengah berteriak—“Nang, tolong taruh piring kotor itu ke WC, lalu rendam dengan air biar kerak sisa-sisa makanan itu gampang dibilas, atau sekalian saja cucikan!”

Alih-alih melaksanakan perintah ibuku, kubanting piring kosong itu ke lantai. Suara gaduh terdengar. Piring itu seng. Jadi terdengar lebih heboh ketimbang piring kaca. Lebih-lebih piring seng itu bereko sampai jatuh telungkup. Ibuku tergesa-gesa menghampiriku dan berkata ada apa-ada apa-ada apa. Tak kusahuti ia, malah kutendang piring itu sampai menggelinding ke arah WC, menghantam kucing buduk peliharaan adikku, sampai berputar dan telungkup lagi tepat di liang kakus. Kucing sialan itu kabur blingsatan. Sudah pasti kucing itu mengacak-acak jatah makan siangku. Garong!

“Ada apa ini gubrakgabrik di dapur?”

“Aku mengajar bocah-bocah seharian, capek, pusing, rungsing. Deweke cuma ngurus satu bocah cilik di rumah. Nah, aku ngurus puluhan bocah. Pergi ke mana ikan, tahu, tempe di meja? Terbang ke mana nasi-nasi di piring, Bu?”

“Kucing ini pasti.”

“Salahkan Nengsih pelihara kucing jalanan.”

“Salah kamu karena enggak mau buang kucing itu selagi nganggur,” sahut ibuku tak kalah seru.

Memang aku tak pantas memarahi ibuku begitu. Tanpa marahpun ibuku tahu aku sedang tidak enak hati kalau sudah memanggilnya dengan sapaan deweke. Dan tidak patut pula aku marah karena aku cuma pencari nafkah sekunder. Sudirman, bapakku, sering kulihat lebih murka dariku setelah mengetahui tak ada apa-apa untuk dimakan. Masak mi sendiri pun ia ogah—kecuali jika aku atau ibuku—memasak untuknya. Ah, alangkah raja!

Sore itu aku benar-benar marah karena aku tengah dibikin jengkel oleh anak-anak didikku di sekolah. Belum lagi karena aku lupa sarapan dan segan mengutang barang sepotong cireng di kantin. Kukuat-kuatkan perutku sampai siang karena kupikir aku akan pulang cepat. Tapi mendadak tugas dari Yang Terhormat Kepala Sekolah nge-print ini-itu sampai aku tiba di rumah sore hari; uang rokok tak dapat lantaran ia keburu pulang duluan, laparku pun tak terkira, lalu ibuku tak pelak kena sasaran kejengkelanku.

Biar hatiku tenang, ibuku lantas berkata, “Ya sudah, tunggu dulu. Biar kucolok Mejikom. Kaubelilah tempe oreg atau rumbah dulu sana!”

“Mana ada orang jual lauk masih utuh sore-sore begini,” semburku. “Rumbah juga pasti sudah bau bacin.”

“Beli mi saja sana!”

“Nengsih mana?! Suruh dia belikan saja!”

“Sebelum kentong magrib dia tidak akan pulang. Kau seperti tidak tahu adikmu saja!”

Deweke saja belikan mi sana!”

Ibuku tidak meradang mengikutiku. Ia redam dan langsung pergi ke warung setelah tombol Mejikom dihidupkan. Ketika kubuka pintu kulkas, kudapati ada seplastik ikan kering, sepiring pepes entah apa, dan semangkuk lodeh. Ketika itu, entah rasa kesalku bertambah atau berubah senang melihat temuan bak harta karun itu. Kukeluarkan semua makanan itu di meja dan bersiap membentak ibuku lagi saat ia tiba. Sembari menunggu nasi tanak, kupasang panci untuk memanaskan lodeh pada lubang kompor sebelah kanan dan wajan untuk menggoreng ikan asin pada lubang kompor sebelah kiri.

Aku bersiap-siap membentak ibuku lagi karena sengaja menyembunyikan makanan meskipun aku tahu makan itu pastilah akan khusus dihidangkan untuk bapakku sepulang ia dari tambak. Aku maklum. Masakan itu disimpan selain untuk mencegah bapak murka, ibu tidak ingin tidak memperoleh jatah belanja dan iuran bank untuk esok hari. Bapakku—dengan segenap kuasa—tidak akan merasa bersalah memakan sebutir telur utuh yang disembunyikan di balik tumpukan nasi meskipun Nengsih—adik bungsuku—merengek minta secuil. Ia lebih rela menarik sehelai lima ribu rupiah agar ibu membeli telur lain.

Setelah beberapa lama menunggu, ibu datang dan bertepatan dengan lodeh telah mendidih, juga ikan asin telah tiris. Dari pintu depan aku bisa mendengar ia berceloteh, “Tidak ada ABC, cuma ada Supermi. Kalau mau, silakan masak, kalau enggak, simpan saja di lemari.”

Tiba ia di dapur, giliranku berteriak, “Kalau buat Sudirman saja deweke masak spesial. Coba sekali-kali dia makan mi di rumah. Deweke tidak tahu saja. Di tambak dia bisa enak makan daging makan telor dapat kiriman dari majikan. Lha, kita, kalau enggak tempe oreg, Supermi. Mlendeh nanti perutku.”

Ibuku melihat sajian di meja mengepulkan asap. Tak kusangka, ia berkata tak sesuai dengan ancang-ancangku sebagaimana ia selalu membela bapak. “Duh Gusti, kamu mau perutmu mulas-mulas habis makan lodeh itu? Makan saja kalau mau.”

Sudah dua sendok kusesap lodeh itu. Memang agak kecut. Tapi rasa lapar ini mengabaikan kecut asem itu. Lantas ibuku melanjutkan, “Makanan basi itu. Kusimpan dulu di kulkas biar nanti malam kubuang dan enggak kelihatan siapa-siapa. Saminah mengirim semua ini buat meracuni kita.”

“Kenapa tidak dibuang cepat-cepat sih, Bu?”

“Cepat-cepat? Ya, biar ketahuan tetangga,” sahut ibuku. “Tadi bibimu itu mengajakku mengobrol lama. Dia bilang lodeh itu buat kamu dan bapakmu. Enggak sudilah aku. Jadi kutaruh saja di kulkas sementara. Aku tidak ingin membikin dia tidak enak hati.”

Tanpa ba-bi-bu lagi kuambil dan kupangga mangkuk lodeh itu dan kucangking seplastik ikan goreng itu dan kubuang ke liang sampah di halaman depan rumahku. Berceceran. Meskipun ibuku memintaku menutupi sisa makanan itu dengan sampah-sampah daun agar tidak kelihatan—lantaran tidak ingin membikin tidak enak hati—tak kuhiraukan dia.

Saminah adalah adik bapakku. Ia memiliki badan gembor karena makan lebih banyak daripada yang seharusnya seseorang makan dalam sehari. Orang mengira memang sudah patut ia begitu. Hidup berlimpahan lantaran ia tidak pernah direpotkan dengan mengurus anak dan cuma tinggal berdua dengan Dul, suami setia. Tetapi itu sekadar perkiraan orang. Ia dan Dul masihlah mengurus seorang anak perempuan kecil berusia tujuh tahun. Laura nama anak itu. Bagi sebagian orang, nama itu terdengar tidak pantas diberikan untuk anak kampung; tetapi sebagian orang lagi maklum karena memang anak itu adalah “anak kota”.

Laura adalah—dapat dibilang—seorang cucu bagi Saminah dan Dul. Ia lahir dari rahim seorang menantu—yang belakangan diketahui berbuat serong dan hamil duluan sebelum menikah—dengan Rahmat, anak tunggal Saminah dan Dul. Si menantu jelita dari “kota” itu telah talak oleh Rahmat. Kapan mereka resmi menikah, aku tidak tahu. Pun kapan mereka berpisah, aku tidak peduli. Setelah perceraian itu, Rahmat merantau ke arah entah. Sebagai sepupu aku pun tidak tahu ia pergi ke mana. Bapakku, jangan harap dia mau buka mulut untuk bicara; ia membuka mulut kalau akan didulang makanan dari dapur Saminah.

Semua kudengar samar-samar dari mulut ibuku dan para tetangga. Malah, kudengar kabar lain, Rahmat itu kabur dari rumah lantaran tahu ia adalah anak pungut dari Saminah dan Dul. Entah Saminah entah Dul itu mandul. Tetapi, terlepas dari gosip kemandulan itu, orang-orang melihat mereka selalu bahagia dan saling mencintai meskipun keadaan tak berpihak. Makan serba kecukupan dan Rahmat pun tumbuh mandiri. Kini Laura menjadi cucu sekaligus anak angkat mereka setelah Rahmat memutuskan menikah lagi dengan perempuan dari desa entah. Laura sepantaran dengan Nengsih.

Saminah sangat mencintai Laura mungkin lebih besar daripada ia mencintai Rahmat, karena ia tidak bisa tidak melepaskan ketakutan ditinggalkan oleh anak lelaki. Bocah perempuan kecil itu dibelikan baju bagus-bagus, gaun pengantin-pengantinan yang sekalinya dipakai haruslah dicuci dengan sabun pemutih karena si bocah telah bermain ke kubangan-kubangan lumpur; ia diberi jajan tidak kurang; ia dibebaskan bermain se-leluasa mungkin sampai-sampai setiap magrib orang-orang pastilah mendengar teriakan Saminah, “Laura… Luraa… Lauraaa… di mana kamu, Nok? Pulanglah! Nanti dijemput Sandekala!”

Jika orang-orang tidak mendengarnya berteriak dari ujung RT 1 sampai RT 2, Saminah akan mengunjungi rumah kerabat satu persatu, tak terkecuali rumah kami. Kebetulan Nengsih ikut ketularan manja sebab Laura. Ketika Saminah mengetuk pintu rumah kami, setiap orang di rumah enggan bersapa dengan dia, apalagi mengobrol, kecuali ibuku. Ibuku meladeni Saminah dengan satu alasan—sebagaimana selalu ia ungkapkan kepadaku dan bapakku—agar tidak memutus tali silaturahmi dan tali kekeluargaan. Bapakku menganggap ibuku munafik. Bagiku, bapak juga munafik dengan tetap menelan setiap makanan pemberian Saminah.

Setelah ia pamit dan ibuku menutup pintu ruang tamu, ibuku menggerutu dan bahkan pernah memaki, “Dasar perempuan sok! Sudah tahu anak bandel, malah dilepas begitu. Ikat saja si Laura di kaki amben biar tidak kabur magrib-magrib begini! Merepotkan saja!”

Meskipun demikian, Ibuku agak cemas bila ia mendapati muka Saminah datar dan serius merasa kehilangan Laura. Maka ia tanyai Nengsih apakah ia sempat melihat Laura barang sebentar saja, apakah ia bermain dengan anak itu siang tadi, atau apakah ia kira-kira tahu ke manakah anak itu akan pergi setiap sore. Dan Nengsih pun selalu menggelengkan kepala.

“Lain kali, kalau bermain dengan Laura, tolong ingat-ingat, ya, terus kalau bisa, tolong bilang juga ke Bibi Saminah ke mana Laura biasa bermain.” Begitulah pesan ibuku.

Ibuku merasa bersalah dan bertanggungjawab bila memang anak itu hilang. Tapi, sejauh ini, tidak pernah anak itu menghilang, sehingga lama-kelamaan ia merasa Saminah sajalah yang sok mencari perhatian. Pernah satu ketika ia dihebohkan oleh Saminah yang histeris kehilangan Laura sampai berlinang air mata; Ibuku, bapakku, dan Nengsih dibikin panik juga. Tetapi tak lama kemudian, anak itu malah datang berjingkrak-jingkrak ria merangkul sebuah balon besar setelah diajak jalan-jalan oleh Dul.

Lantaran tak tahan dengan curhatan dan kecemasan Saminah perihal anak itu, ibuku juga pernah mengusulkan untuk memulangkan saja anak itu kepada Rahmat, atau si mantan menantu jelita itu, tetapi Saminah tidak menggubris, malah berkata, “Ya anak Rahmat, anakku juga. Ya Rahmat yang ngurus ya sama juga dengan saya yang ngurus. Memangnya kamu, satu anak sudah besar tapi tidak bisa diandalkan, satu lagi masih kecil tapi masih saja rungsing uang jajan.”

Yang dimaksud Saminah ‘anak sudah besar’ itu adalah aku, dan ‘tidak bisa diandalkan’ adalah pekerjaanku. Ibuku melihat bibir Saminah begitu bulat, tidak enak dipandang sembari memelototkan mata seperti bintang film Suzzana. Ibuku mencegah diri untuk mengatakan Laura bukanlah anak Rahmat. Tapi, ia cuma melengos saja dan membiarkan Saminah mengoceh dengan diri sendiri.

Pada satu siang—dengan mengendarai sepeda pemberian dari Rahmat—Laura memainkan sepeda itu bergantian dengan Nengsih di pelataran rumah kami. Nengsih riang karena ia baru pertama kali naik sepeda dan tanpa diajari keseimbangan, ia dapat bergerak maju. Ia tertawa lebih keras daripada Laura dan ia menggelindingkan roda sepeda itu lebih sering daripada Laura. Sampai beberapa saat kemudian,  Ibuku dikejutkan dengan teriakan Saminah. Ia berteriak-teriak dengan berkata entah, mengutuki pantat Laura sembari mengebas-ngebaskan gaun pengantin-pengantinannya, memaki sepedanya dan memarahi tanah tempat di mana Laura tersuruk.

Ia mengomel tanpa henti sambil menjinjing sepeda itu sekaligus mengemban Laura yang menangis tak kalah nyaring dengan omelannya. Saat suasana hening, ibuku meminta Nengsih masuk rumah.

“Kenapa?” tanya Roepah kepada Nengsih.

“Dia belum bisa naik sepeda, jadi jatuh.”

“Jatuh sendiri kok menangis seperti orang mau disembelih,” komentarku ketika itu. Dan, baru kusadari kemudian nada suaraku agak tinggi, sehingga Bibi Saminah mendengarku.

Ia lantas berkata, “Aku pikir jadi guru itu bisa makmur,” kata Bibi Saminah. “Coba lihat Rahmat. Kuli bangunan saja dia sudah bisa mencicil mbangun rumah di BTN.”

Telingaku panas tetapi tidak ingin lebih panas di kepalaku, apalagi mendidihkan hatiku bila melanjutkan percakapan dengan bibiku satu ini. Tapi kusadari ia masih memegang rantang. Ia mengomel lantang tapi rantang tetap stabil ia genggam. Terpaksa aku menahan diri untuk melengos. “Sekarang kenapa enggak berangkat kerja ke sekolah?”

“Lagi enggak ada jadwal,” jawabku ketus.

“Oh, jadi nunggu ada jadwal saja kerjanya?”

“Ya,” imbuhku lebih ketus lagi.

“Ikut Rahmat saja. Lumayan buat nyumpal mulut ibumu. Kudengar dia rungsing terus mikirin jajan adikmu. Lagipula, kapan lagi bibimu ini kaukasih jajan juga?!”

Kupingku terbuka, tapi kepalaku tidak kubiarkan memproses segala ucapannya. Bibirku tertutup, tapi memang sial aku pandai berpura-pura. Mesem-mesemlah aku kepada bibi sialan ini. Pun pada satu hari nanti, ia pula akan mesem-mesem kepadaku. Maki-memaki ini pun akan sama-sama kami lupakan. Tapi, mungkin kebencian akan tetap mengendap di hatiku sampai kapan pun.

Entah kapan terakhir kali kami bicara dengan bermanis-manis bibir; kuingat ia mewanti-wanti bila aku menjumpai Laura di mana pun, bermain dengan siapa pun, dan membeli jajanan apapun, agar segera melapor atau paling tidak agar mengingat-ingat di mana terakhir kali aku melihat Laura. Lalu ia mengoper sebuah rantang berisi makanan-makanan itu kepadaku dan mengucapkan assalamu’alaikum. Lalu kusambut dalam hati, wa’alaikum sambal lalapan pete. Entah itu kapan.

Kini, melihat bibiku pulang sambil menjinjing sepeda kecil itu, ibuku keluar rumah dan menghampiriku. Kami pun membuka rantang itu bersama-sama. Undakan atas adalah nasi putih penuh dijejalkan beralaskan daun pisang. Dari bau, kami tahu itu adalah nasi kemarin sore, juga agak lengket. Undakan tengah adalah tumis dage kecap. Sudah berlendir dan hampir bacin. Undakan terakhir adalah kuah ikan gombyang. Sama-sama hampir bacin dan tak mungkin bisa dimakan meski dipanaskan lagi.

“Seharusnya kamu tidak perlu membukanya,” ujar ibuku.

“Penasaran saja.”

“Kalau kamu penasaran, coba berkunjunglah ke rumah bibimu dan bukalah kulkasnya. Setandan pisang anyep berjamur, singkong yang nyaris tape tanpa ragi, ikan goreng tiga kali dipanaskan sampai gosong mirip kulit batang pohon mangga, entah apalagi. Dan yang kita terima ini adalah yang kiranya mulut mereka tak sanggup kunyah lagi.”

“Biarlah ini buat Bapak.”

“Bapakmu… Bapakmuu…”

“Biar dia tahu kelakuan adik kesayangannya,” imbuhku.

“Bapakmu tahu, tapi dia pura-pura tidak tahu.”

Dan makanan itu pun menjadi penghuni liang sampah di pelaratan kami. Sore itu aku sedang memeriksa PR anak-anak melalui laptop. Dari ruang tengah, kulihat adikku Nengsih baru pulang disertai derai tawa; ia bercengkerama dengan Laura; bercanda ria berlomba-lomba es lilin siapa tandas lebih dulu. Mereka baru tiba sembari menenenteng ciki masing-masing.

Canda tawa mereka agak membuyarkan konsentrasiku dan aku pun beristirahat dan memutar rangda Abege. Setelah Laura berteriak ia menang—es lilinnya tandas lebih dulu—ia menarik-narik lengan Nengsih, membujuknya untuk mengikutinya. Lalu kulihat Nengsih tidak menggubris malah menjilat-jilat esnya yang tak sabar untuk dihabiskan. Kemudian Laura meminta bantuan Nengsih untuk membukakan cikinya, dan Nengsih pun menolak, “Susah tanganku basah. Kan esmu sudah habis buka sendiri saja.”

“Lengket.”

“Gosok saja ke bajumu.”

“Emak Saminah nanti marah.”

“Ya sudah sana ke Kang Udin,” sambung Nengsih. Ia bermaksud meminta Laura untuk meminta bantuanku. Dan Laura pun mendatangiku. Tak beberapa lama ciki itu pun habis dimakan bahkan setelah Nengsih baru saja membuka cikinya. Ia kemudian mengajak Nengsih berangkat lagi. Entah ke mana. Tapi Nengsih menolak lantaran mulutnya masih penuh dan ciki dalam genggamannya pun belum habis. Ia berusaha memuluk ciki itu banyak-banyak tapi mulut kecilnya tak mampu menampung.

“Aku minta cikimu dong,” ujar Laura.

Mong.”

“Sedikit saja.”

Mong.”

“Pelit.”

“Tadi ‘kan kamu sudah makan punyamu sendiri.”

“Sedikit saja.”

Mong.”

“Ya sudah kita enggak jadi main lagi.”

“Ya sudah,” imbuh Nengsih. Ia kemudian masuk rumah. Dan entah kenapa, luput dariku, tiba-tiba Laura menangis menguar. Aku, yang panik mendadak, menarik lengan adikku.

“Kenapa?”

Mbuh.”

“Kenapa dia nangis?”

Mbuh, Kang. Dia nangis sendiri jeh.”

Perasaanku sudah tidak enak. Aku berusaha menenangkan anak itu sebagaimana kulakukan pada murid-muridku. Namun usahaku nihil. Ia tetap menangis, dan ya, mungkin aku harus bersiap-siap digempur oleh omelan bibiku. Tangisan anak itu pelan-pelan dan lama-kelamaan reda. Ia sendirian mengorek-ngorek tanah pelataran dan aku pun berpesan kepada Nengsih untuk tidak mendekatinya dulu. Nengsih menurut. Ibuku kemudian ambil alih. Ia mendekati Laura dan menawarkan uang jajan, tetapi anak itu menggeleng-geleng. Ibuku juga menawarkan makan siang, tetapi ia tetap menggeleng-geleng. Setelah dibujuk dan langsung diangsurkan sepiring nasi dan seceplok telor, ia malah berlari, pergi, sehingga membuat dadaku lapang.

Dasar bocah!

Suatu siang aku dibikin kesal oleh Nengsih karena adikku itu tak berhenti merecoki peng-input-an data ke laptop. Aku keluarkan uang lembar dua ribuan dan kuberikan kepada Nengsih. “Pergilah main jauh-jauh, ke empang, ke lapangan, dan ajak juga Laura, dan jangan kembali sebelum magrib,” ujarku ketus.

Nengsih merengut dan paham ia harus berbuat apa. Hanya untuk sebentar saja ia gelalanggeleleng di lantai sebelum disamper Laura. Tak beberapa lama kemudian mereka enyah ke arah entah. Aku, setelah bosan mendengarkan Rangda Abege, aku putar Rebutan Lanang. Pekerjaanku di depan laptop itu terhenti lagi ketika ibuku masuk tanpa permisi. Ujug-ujug membanting seplastik bungkusan makanan.

“Kenapa lagi sih, Bu?”

“Sialan Saminah.”

“Kenapa lagi?”

“Rumbah ini kubeli dengan duitku sendiri, anak-anakku kuberi makan dengan duitku sendiri, kenapa dia begitu terampil membicarakanku kepada orang-orang? Duh, Gusti!”

Aku tetap mendengarkan ibuku meski kepalaku hampir meleduk. Ibuku melanjutkan, “Di warung Bi Nah, dia ngomong, ‘kamu itu bagaimana sih, Ro. Laura seharian bermain di rumahmu masa tidak kauberi makan sih, Ro? Mentang-mentang dia bukan anak siapa-siapa, kaubiarkan saja dia tidak diberi jajan.’ Dia ngomong begitu di depan orang-orang. Mau ditaruh di mana mukaku, Nang, Duh, Gusti. Lha, memang kapan anak itu bermain di sini seharian di sini?”

“Dia ngomong begitu?”

“Di depan orang-orang sengaja bikin aku malu.”

“Sialan anak itu kalau bicara sembarangan!”

“Yang sialan itu Saminah.”

“Dia bilang aku tidak memberi anak itu makan. Lha, kalau si Laura menolak, masa harus aku jejal-jejali dan harus aku sumpal-sumpalkan nasi ke mulut dia?! Saminah bilang aku tidak tahu terima kasih lantaran kita sering dikirimi rantang makanan-makanan. Lha, dia pikir kiriman makanan itu rejeki paling anugerah?! Kalau dia pikir kiriman makanan itu belas kasih, kucing pun tidak sudi mengendus makanan-makanan itu. Astagfirullahal’azim! Biar kulemparkan makanan-makanan itu ke muka Saminah.”

Kulihat muka ibuku memerah.

Kepalaku mendidih. Aku tidak bisa lagi meng-input data. Sebagaimana sering terjadi, ibuku akan merongseng seharian dan mengisi udara rumah itu dengan gerundelan-gerundelan. aku tahu pada akhirnya sebuah tindakan harus dilakukan. Sore itu, aku sengaja menutup pintu rumah dan sedikit melampirkan tirai agar aku masih bisa melihat keluar. Ketika Nengsih datang sembari mendorong-dorong sepeda dengan Laura berada di jok kemudi, bibiku itu berjalan mengekori mereka. Pemberhentian mereka adalah pelataran rumah kami.

Ibuku membisikiku, “Tidak usahlah ngomong macam-macam sama dia. Toh, begitu-begitu juga bibimu, begitu-begitu juga adik Bapakmu, begitu-begitu juga pernah kasih makanan tidak-busuk.”

Ketika Nengsih mendorong sepeda itu agak kuat, Laura meluncur tak terkendali. Ia oleng. Jatuhlah ia tersuruk ke tanah seraya bibiku histeris, “Duh, Gusti, dasar anak bodoh tidak hati-hati!” Aku tahu umpatan itu dialamatkan bukan kepada Laura. Nengsih berdiri kaku dan tak berani bergerak selangkah pun. Tangan bibiku begitu ringan jatuh berkali-kali ke pantat Nengsih yang tidak saja mematung, tetapi juga menahan tangis.

Aku membuka pintu lebar-lebar dan berkata, “Eh, Bi, tuman sampean, kuh! Nengsih tidak pernah ngomong apa-apa setiap kali ia dipukul oleh anak angkat sampean. Tapi, sampean ngomong macam-macam setiap kali anak angkat sampean itu ngomong ngelantur.”

 Perasaanku sungguh meletup-letup setelah berkata begitu. Lalu, kulanjutkan, “Sampean tidak saja ngomong macam-macam tentang Emakku, ngomong macam-macam juga ke orang-orang d warung Bi Nah. Ya, aku tahu. Ini kiriman makanan aku kembalikan. Matur kesuwun! Lain kali, sebelum dikirim ke kami, mbok coba angsurkan dulu ke kucing. Kalau kucing itu sudi, mbok tidak usahlah dikirim ke kami.”

Kuletakkan rantang—yang kemarin bibiku berikan—di lantai beranda dengan hati-hati. Makanan masih utuh di dalam. Tak tersentuh. Aku kemudian mengemban Nengsih dan masuk rumah, meninggalkan bibiku dan Laura dengan perasaan rusuh. Bibiku melongo untuk beberapa saat. Kupikir, barangkali bibiku tidak pernah menyangka bahwa keponakannya, yang sarjana, yang seorang guru, bisa berkata sekasar itu. Beberapa saat setelah perasaanku lega, aku membuka tirai dan melihat rantang itu tetap berada di beranda rumah kami. Pun aku enggan menyentuhnya lagi setelah seekor kucing buduk peliharaan adikku sudi mengendusnya.

*) Image by istockphoto.com