Dalam hal kekayaan alam, susastra, sejarah, dan purbakala, Sulawesi Selatan adalah satu dari banyak tempat yang menakjubkan di Indonesia. Pada September 2018 lalu, persis satu bulan sebelum gempa dan tsunami menerjang sebagian wilayahnya, aku bersama seorang kawan dari Inggris berkesempatan mengunjungi Makassar dan sekitarnya. Kami sudah mengantongi jadwal dan tempat yang akan kami sambangi.
Terletak di pesisir barat daya Pulau Sulawesi, Makassar (Ujung Pandang 1971-1999) adalah salah satu kota penting dalam sejarah Bangsa Indonesia. Nama Makassar sudah disebut dalam Kitab Nagarakretagama karya Mpu Prapanca pada abad 14 sebagai salah satu wilayah taklukan Majapahit.
Sebagai kota bahari, sekitar abad 16, Makassar menjadi pusat perdagangan yang diperhitungkan di Indonesia Timur karena letaknya strategis. Bahkan menjadi markas penting bagi pedagang Eropa dan Arab. Pesatnya kemajuan kota Makassar pada Abad itu, tak lepas dari kebijakan dan kebijaksanaan Sultan Alauddin (Raja Gowa) dan Sultan Awalul Islam (Raja Tallo)
Kini Makassar menjadi salah satu kota metropolitan di luar Jawa. Tempat-tempat wisata modern dan wisata alam dan sejarah menjadi magnet yang kuat.
Sulawesi Selatan, I am Coming!
Pukul 18.20 pesawat landing di Bandara Hassanudin. Kami sudah dijemput oleh kawan yang mengundang kami untuk menginap di rumahnya selama di Makassar. Dengan senang hati kami menerima, salah satunya karena rumah itu terletak kurang-lebih 15 menit berjalan kaki ke Pantai Losari. Cuaca sungguh panas, saat aku melihat temperature menunjuk angka 32 derajat celcius.
Benteng Penyu dan La Galigo
Pada esoknya, selagi kawan kami mengajar di sebuah institute seni, aku dan kawanku mengunjungi Benteng Rotterdam menggunakan taksi online dengan ongkos Rp. 18.000,-. Dulu, pada 1545, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, Raja Gowa ke-9 membangun sebuah Benteng dan menamainya Benteng Jumpandang atau Ujung Pandang yang terletak di dekat pantai. Bila dilihat dari ketinggian, benteng ini berbentuk seperti seekor penyu hendak menuju laut, mengandung filosofi; rakyat Mengkassar (Makassar) jaya di darat-jaya di laut.
Sejarah mencatat benteng ini pernah hancur akibat serbuan tentara Belanda yang menyerang Gowa. Karena gempuran bertubi, akhirnya Kerajaan Gowa kalah. Kemudian pada 18 November 1667 mereka menandatangani perjanjian Bongaya yang salah satunya berisi penyerahan benteng kokoh itu kepada Belanda.
Kemudian oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda, Cornelis Janzoon Speelman, nama Jumpandang diganti Fort Rotterdam untuk mengenang kota kelahirannya di Belanda. Kemudian Benteng itu digunakan untuk menampung hasil panen rempah-rempah dari Indonesia Timur.
Kini Benteng ini menjadi cagar budaya, di dalamnya terdapat museum yang menyimpan benda-benda khas Sulawesi, dan kisah perjuangan rakyat Makassar. Museum itu dinamai La Galigo yang diambil dari sebuah karya sastra mendunia tentang perjalanan Pangeran Sawerigading, tertulis dalam Sureq Galigo yang berisi 300.000 larik epik. Inilah epos yang konon disebut terpanjang di seluruh dunia.
Di sebuah sudut dekat museum, ada seruang kecil yang dahulu digunakan untuk menyekap Pangeran Diponegoro. Maka, pada pintu gerbang benteng yang berhadapan dengan dermaga, kita bisa melihat pada sisi kanan gerbang terdapat patung Pangeran Diponegoro yang gagah dengan menunggang kuda. Pemimpin Perang Jawa 1825-1830 yang konon dikatakan perang yang relatif pendek tetapi membangkrutkan pihak Kolonial itu menjalani pengasingan selama kurang lebih 21 tahun.
Pulau Samalona
Sulawesi juga terkenal dengan pulau-pulau kecil nan indah. Salah satunya adalah Samalona. Kami memutuskan mengunjungi pulau itu pada esoknya. Waktu paling bagus untuk menyeberang adalah pagi hari. Jadi pukul tujuh kami sudah berada di dermaga depan Fort Rotterdam. Untuk sampai ke pulau kecil berpenghuni 17 KK itu kami harus menyewa perahu seharga Rp. 350.000,- PP.
Sekira 30 menit berperahu, kami menepi dan disambut penduduk yang ramah, menawarkan tempat singgah. Masuk ke pulau itu, kami tidak dipungut retribusi dan bagi yang ingin menginap, di sana juga tersedia penginapan sederhana.
Selain tenang, bagi penyuka snorkeling, laut Sulawesi sangat menjanjikan. Tetapi perlu berperahu lebih ke tengah lagi untuk mendapatkan spot yang bagus. Sayangnya aku sedang flu, sehingga memutuskan tidak snorkeling. Tetapi menikmati ikan bakar yang cukup besar hasil tangkapan penduduk yang kami bayar Rp. 100.000,- lengkap dengan nasi dan sambal.
Laut Samalona hijau-biru jernih. Perahu-perahu tertambat di bibir pulau. Berdiri di tepian, aku melihat di seberang sana gedung-gedung tinggi. Iya, Kota Makassar hanya sejarak tatapan mata telanjang, putih keperakan ditimpa sinar matahari musim panas.
Tetapi sayangnya, di beberapa titik banyak teronggok sampah. Bungkus minuman instant, karton rokok, dan banyak lagi.
Pelabuhan Paotere
Berjarak sekitar 5 km dari pusat Kota Makassar atau sekitar 30 menit perjalanan, aku dan kawan sampai di pelabuhan warisan masa lalu yang hingga kini masih bertahan. Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo sejak abad 14. Dari sinilah 200 armada phinisi diberangkatkan menuju ke Malaka.
Sampai kini pun pelabuhan ini masih digunakan beraktivitas perahu-perahu rakyat sepertti phinisi dan lambo. Saat kami sampai di sana, sebuah kapal besar sedang bongkar muatan. Pekerja-pekerja pelabuhan tampak sibuk di bawah terik matahari. Banyak anak-anak kecil yang bermain di sana, di bangkai-bangkai kapal karatan yang tertambat di bibir pelabuhan.
The Kingdom of Butterfly
Sepanjang jalan menuju Taman Nasional Bantimurung, kami disuguhi pemandangan alam pegunungan yang indah dan udara sejuk. “Seekor Kupu-kupu” raksasa merentang sayap di atas gerbang masuk yang di dalamnya terdapat museum dengan koleksi sekitar 130an spesies kupu-kupu berbagai ukuran yang diawetkan.
Kini setidaknya ada 20 spesies yang ditangkar di sana sehingga Bantimurung mendapat julukan The Kingdom of Butterfly. Seperti tempat wisata pada umumnya, di area parkir banyak lapak-lapak menjajakan souvenir dan didominasi kupu-kupu yang diawetkan.
Sulawesi Selatan memang menyimpan kekayaan flora dan fauna sehingga wajar kalau seorang Naturalis dari Inggris, Alfred Russel Wallace begitu terpesona. Dalam “The Malay Archipelago” Wallace mencatat perjalanannya, setidaknya ia pernah singgah selama 4 hari di Bantimurung dan menemukan enam spesies kupu-kupu dari 232 species kupu-kupu yang ditemukan Wallace.
Tiket masuk ke Bantimurung Rp. 25.000,- untuk wisatawan lokal, dan Rp. 225.000,- untuk wisatawan mancanegara. Begitu masuk area, kami melihat selajur sungai mengalir membelah taman dan air terjun indah sangat ramah untuk bermain. Lebih ke masuk ke dalam, aku melihat sebuah telaga sunyi dan cantik. Kupu-kupu kecil putih terbang di antara perdu-perdu tepi telaga. Gemericik air menyempurnakan suara keheningan. Pohon-pohon tinggi menjulang mendindingi telaga hingga menimbulkan perasaan tenang.
Dari telaga itu, kami menyusur jalan setapak kemudian mendaki antara 115 anak tangga berjarak antara 2 km hingga sampai di Gua Batu nan misterius. Beberapa pemuda menjual jasa sewa lampu seharga Rp. 25.000,- untuk penerangan menyusur gua. Gua itu lembab, stalaktit dan stalakmit menjadi ornamen alam yang membawa imajinasi kita menuju tempat-tempat purba. Di beberapa titik di dalam gua ada kubangan-kubangan air, menampung tetesan stalaktit. Lalu kami melewati lorong sempit hingga sampai pada bidang kecil yang konon katanya di situlah tempat raja-raja zaman dahulu bersemedi.
Leang Leang
Situs purba ini masih masuk wilayah Tanan Nasional Bantimurung, Bulusaraung. Hanya berjarak sekitar 20 menit bermobil dari Bantimurung. Berdinding pegunungan karst ribuan tahun, Leang Leang diakui sebagai kawasan karst terbesar setelah Guangshou, China.
Untuk menjelajah sekitar 43.750 hektar di antara batu-batu besar mencuat dan berserak serta goa-goa prasejarah, pengunjung hanya cukup membayar retribusi Rp. 10.000,- untuk wisatawan lokal, dan Rp. 20.000,- untuk wisatawan asing. Dalam bahasa Makassar, Leang berarti Goa. Maka tak heran jika di sini banyak sekali goa-goa.
Perlu menapaki anak tangga batu untuk menuju sebuah goa yang pada dindingnya ada cap tangan yang konon katanya milik salah satu anggota suku yang mengikuti ritual potong jari sebagai tanda duka atas kematian kerabat dekat. Tetapi kami tidak bisa melihatnya dari dekat karena ada pintu besi membatasi pengunjung. Tetapi, lukisan di dinding goa itu, tetap bisa kami lihat dari balik pintu.
Leang Leang ditemukan oleh dua arkheolog Belanda: Mr. Van Heekeren dan Miss Heeren pada 1950. Usia lukisan purba itu diperkirakan 5.000 tahun dan goa-goa itu diperkirakan sudah didiami sejak 8000-3000 SM.
Jadi, ketika menyaksikan sepotong kecil saja betapa kaya dan indahnya Indonesia, maka pantaslah kalau Indonesia enam besar Negara yang memiliki alam nan indah. Memang nusantara adalah mooi indie. []