Hari pertama sekolah di SMP Azzakiyah membuat Nadia gugup. Ia perlahan menelusuri sekolah tersebut dan melihat mading ekskul. Matanya langsung berbinar ketika melihat ada poster “Klub Seni Rupa”.
Nadia langsung menuju ruang ekskul seni rupa yang tertera di poster mading dan bertemu ketua klub tersebut.
“Permisi, Assalamualaikum…” ucap Nadia.
“Waalaikumsalam, masuk…” Seorang siswi menjawab salamnya dan mempersilahkan Nadia masuk.
“Hm, aku boleh gabung klub ini nggak? Apakah ada semacam tes?” tanya Nadia.
“Wah, boleh banget. Nggak ada tes kok. Ngomong-ngomong perkenalkan aku Laila. Ini Haikal dan ini Janu,” ucap seorang siswi bernama Laila.
Setelah beberapa minggu Nadia memasuki klub seni rupa, ia mulai merasa betah. Ia semakin dekat dengan Laila, Haikal dan Janu. Mereka sering melukis bersama di ruang klub, berbagi inspirasi, dan bahkan merancang karya untuk pameran seni sekolah.
***
Suatu hari, Laila datang dengan wajah antusias.
“Nad, minggu depan kita diajak kunjungan ke Bayt Al-Fann (Rumah seni dalam Bahasa arab) bareng guru seni. Katanya sih galeri itu punya koleksi lukisan dari seniman lokal zaman dulu,” kata Laila.
“Bayt al-Fann?” tanya Nadia. “Namanya indah juga, ya.”
“Indah sih, tapi katanya… ada satu lukisan di sana yang katanya angker,” timpal Janu setengah berbisik sambil mengangkat alis.
“Angker gimana maksudnya?” tanya Haikal penasaran.
“Denger-denger, pelukisnya itu ngilang sebelum lukisannya selesai. Terus lukisannya kayak… berubah-ubah bentuknya gitu kalau dilihat lama-lama. Pokoknya serem lah,” jawab Janu pelan, seolah takut lukisan itu mendengarnya.
Nadia tertawa kecil, “Ah, masa iya lukisan bisa berubah?”
“Namanya juga cerita orang-orang,” balas Laila. “Tapi tetep aja bikin penasaran, kan?”
Hari yang dinanti pun tiba. Rombongan klub seni rupa bersama Bu Ratna, guru seni mereka, naik bus menuju galeri Bayt Al-Fann. Lokasinya berada di pinggir kota, agak tersembunyi di balik pohon-pohon besar dan bangunan tua.
Begitu sampai, Nadia merasa seperti masuk ke dunia lain. Bangunan galeri yang tampak kuno namun terawat. Dindingnya dipenuhi lukisan dari berbagai zaman. Suasananya sunyi, hanya terdengar langkah kaki pengunjung dan hembusan angin dari jendela yang terbuka sedikit.
“Ini sih, serem banget aura nya,” bisik Laila ke Nadia.
Setelah berkeliling beberapa ruangan, mereka sampai di ruang paling ujung. Di situ hanya ada satu lukisan besar, dipajang sendiri di dinding putih. Tidak ada keterangan judul, hanya sebuah papan kecil di pinggir yang bertuliskan: Karya Terakhir – Tidak Selesai.
Lukisan itu menggambarkan sebuah rumah kayu tua dengan satu jendela terbuka dengan tirai di sebelahnya. Langit di belakangnya berwarna merah keunguan, dan di bawahnya terdapat hutan gelap.
“Ini dia,” bisik Janu. “Lukisan yang katanya… bisa berubah.”
Nadia menatapnya dalam diam. Semakin lama ia melihat, semakin ia merasa jendelanya berubah. Seperti ada bayangan berdiri di balik tirai. Tapi begitu ia berkedip, sosok tersebut menghilang. Nadia mengerjap, mencoba memastikan apa yang barusan dilihatnya. Tapi lukisan itu kembali seperti semula. Jendela kosong dan tidak ada bayangan apapun.
“Nad, kamu lihat sesuatu?” tanya Haikal, yang menyadari ekspresi wajah Nadia berubah.
“Nggak, kayaknya cuma bayangan aja,” jawab Nadia cepat. Tapi hatinya belum tenang. Ada sesuatu yang aneh. Lukisan itu terasa hidup. Ia berdiri terpaku di depan lukisan itu sebelum Laila membuyarkan lamunan Nadia.
“Hey, serius banget sih? Ada apa?”
Nadia menoleh pelan, lalu tersenyum kecil untuk menyembunyikan rasa gugupnya.
“Enggak kok… lukisannya bagus aja, detail banget,” jawabnya. Tapi dalam hati, ia tahu ada yang berbeda. Matanya kembali melirik sekilas ke lukisan. Tirai di jendela itu tadi bergerak, bukan?
***
Sepulang dari Galeri Bayt Al-Fann, Nadia duduk di meja belajarnya. Ia membuka buku gambar dan mulai menggambar ulang lukisan tadi dari ingatannya. Jari-jarinya bergerak cepat, seolah tahu apa yang ingin ia lukis tanpa harus berpikir. Goresan demi goresan terlukis dengan mudah, membentuk rumah kayu tua, jendela dengan tirai, langit merah keunguan yang menggambarkan waktu senja dan hutan gelap yang mengelilinginya. Ya, persis seperti lukisan di galeri kemarin.
Namun tanpa sadar. Nadia menggambar sesuatu yang tidak ia lihat di Galeri. Sebuah bayangan hitam samar berdiri dibalik tirai jendela. Tangannya berhenti. Ia menatap gambarnya dengan kening berkerut.
“Sejak kapan aku menggambar ini?” gumamnya pelan.
Ia ingin menghapus bayangan tersebut. Namun semakin dihapus, semakin jelas sosok tersebut. Seolah ia ingin tetap ada di sana.
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Nadia sudah merasa mengantuk dan memutuskan untuk tidur. Ia tak sabar untuk menunjukkan gambar tersebut ke teman-temannya di keesokan harinya. Buku gambarnya tergeletak di meja, terbuka pada halaman lukisan rumah kayu tua dengan bayangan hitam di jendelanya.
Saat Nadia mulai terlelap, dunia nyata perlahan memudar, digantikan oleh suasana yang asing dan sunyi. Dalam mimpinya, Nadia berdiri di tengah hutan gelap. Di depannya, tampak rumah kayu tua yang persis seperti dalam lukisan. Angin bertiup pelan, membuat dedaunan bergoyang dan tirai di jendela rumah itu berayun pelan.
Tiba-tiba, seorang remaja laki-laki muncul dari balik pepohonan. Wajahnya tampak letih namun lembut. Bajunya kusam, seperti sudah lama tidak diganti. Matanya menatap Nadia dengan dalam.
“Nadia…” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.
“Siapa kamu?” tanya Nadia, sedikit takut namun tetap berdiri di tempat.
“Aku Ghaffar,” jawabnya.
Nadia terkejut, “Ghaffar? Pelukis lukisan itu?”
Ghaffar mengangguk perlahan. “Lukisan itu belum selesai. Tapi bukan karena aku tak ingin menyelesaikannya. Aku terjebak di antara dunia yang tak selesai juga. Dan sekarang, kamu melihatku karena kamu punya rasa yang sama.”
“Apa maksudmu?” tanya Nadia bingung.
“Lukisan itu adalah pintu. Ia menampung kenangan, rasa takut dan harapan. Tapi juga bisa jadi jebakan, jika tidak diselesaikan dengan niat yang tulus,” Ghaffar menunduk. “Aku kehilangan niatku. Aku melukis karena keinginanku dan paksaan, bukan keikhlasan dan sekarang aku tak bisa kembali.”
Nadia merasa dadanya sesak. “Terus aku harus ngapain?”
“Tolong aku. Selesaikan lukisan itu dengan hatimu. Bukan dengan rasa takut. Tapi dengan tenang dan hati yang tulus.”
Seketika itu juga, angin berhembus kencang. Suara ranting patah terdengar dari segala arah. Ghaffar perlahan memudar. “Ingat, jangan biarkan kegelapan menguasai lukisan itu, atau kamu juga akan tersesat.”
Nadia terbangun dengan napas memburu. Jam menunjukkan pukul 03.00 WIB. Ia langsung menoleh ke buku gambar di mejanya dan terkejut. Bayangan di jendela kini lebih jelas. Tapi ada cahaya kecil di langit lukisan. Seperti secercah fajar.
Ia mengucek matanya. Karena tak dapat menahan rasa kantuk, ia kembali tidur.
1 jam setelah kejadian tersebut, Nadia bangun dari tidurnya. Udara pagi masih dingin dan langit luar jendela kamarnya masih gelap. Dengan perlahan ia bangkit dari tempat tidur, mengambil air wudhu dan menggelar sajadah di pojok kamarnya.
Suasana yang hening membuat hatinya lebih khusyuk. Saat sujud, ia merasa ada ketenangan yang mengalir dalam dirinya, seakan seluruh beban dari mimpi aneh semalam perlahan terangkat. Setelah selesai, ia duduk sejenak, berzikir, lalu membuka Al-Qur’an kecilnya dan membaca beberapa ayat.
Di tengah-tengah tilawahnya, ia tertegun saat melihat arti dari surah Al-Insyirah ayat 6: “Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”
Ia tersenyum. Ayat tersebut seperti jawaban dari rasa bingung dan takutnya. Ia menyadari bahwa apapun yang terjadi, ia tidak sendirian. Ada Allah yang selalu bersamanya.
Setelah salat subuh, Nadia pun bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Ia merapikan seragam, mengecek kembali buku-buku di tasnya, dan tak lupa memasukkan buku gambar yang berisi gambar dari lukisan misterius itu. Entah kenapa, ia merasa buku itu harus dibawa hari ini.
Saat sampai di sekolah, langit sudah mulai cerah dan suasana masih cukup sepi. Nadia langsung menuju ruang klub seni rupa, berharap bisa berbicara dengan Laila lebih awal sebelum pelajaran dimulai. Ternyata Laila sudah ada di sana.
“Eh Nad, aku juga mimpi aneh tau,” ujar Laila begitu Nadia masuk. “Mimpi tentang anak laki-laki. Dia tuh kayak terjebak gitu katanya.”
Nadia langsung menatap Laila, “Namanya Ghaffar, kan?”
Laila terdiam sesaat, lalu mengangguk. “Iya, kok kamu tahu?”
Nadia membuka bukunya dan menunjukkan gambar terakhir yang ia selesaikan tadi malam.
“Aku juga mimpi tentang dia. Dia minta tolong untuk menyelesaikan lukisan tersebut.”
Laila menatap gambar itu dengan mata membelalak, “Ini? ini rumah yang ada di lukisan ‘Karya Terakhir’, ya?”
Nadia mengangguk pelan, “Iya. Tapi waktu aku menggambar ulang, kayak ada sosok gitu dan Ghaffar… dia muncul dalam mimpi. Dia bilang dia belum tenang. Lukisan itu belum selesai.”
Laila duduk di samping Nadia, menatap gambar itu lebih lama, “Apa mungkin ini kayak wasiat terakhirnya?”
“Bisa jadi,” jawab Nadia lirih. “Kayaknya dia butuh seseorang buat menyelesaikan karya itu.”
Tak lama, Haikal dan Janu pun masuk ke ruang klub. Mereka berdua juga terlihat agak murung.
“Kalian juga mimpiin anak laki-laki semalam?” tanya Haikal sambil meletakkan tasnya.
Janu langsung mengangguk cepat, “Iya, dia bilang.. ‘temukan warna terakhir’. Aku nggak ngerti maksudnya.”
Nadia, Laila, Haikal, dan Janu saling berpandangan. Keempatnya mengalami mimpi yang sama tentang Ghaffar. Perlahan, mereka mulai menyadari bahwa ini bukan kebetulan.
“Kayaknya ini petunjuk,” ucap Laila. “Mungkin kita harus balik ke Bayt Al-Fann dan cari tahu lebih banyak soal pelukis asli lukisan itu.”
“Setuju,” kata Nadia tegas. “Kita selesaikan ini. Untuk Ghaffar.”
Mereka berempat lalu menyusun rencana untuk mengunjungi kembali galeri itu di akhir pekan. Kali ini, bukan hanya sebagai kunjungan seni. Tetapi sebagai sebuah misi untuk menyelesaikan yang belum usai.
***
Akhir pekan pun tiba. Pagi itu, Nadia berdiri di depan Bayt Al-Fann bersama Laila, Haikal, dan Janu. Mereka sudah meminta izin pada Bu Ratna dan pihak galeri untuk melihat kembali lukisan “Karya Terakhir”. Petugas galeri yang lebih tua, Pak Yahya, menyambut mereka.
“Kalian datang lagi? Ada yang bisa dibantu?” tanyanya ramah.
“Kami ingin melihat kembali lukisan di ruangan paling ujung, Pak,” jawab Nadia. “Ada sesuatu yang harus kami selesaikan.”
Pak Yahya terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baiklah, silakan.”
Sesampainya di ruang itu, lukisan itu masih berdiri anggun di tempatnya. Tapi entah mengapa, kali ini tampak lebih kelam. Langit merah keunguan di dalamnya seolah makin pekat. Nadia mendekat, membuka buku gambarnya, dan menatap lukisan itu dalam-dalam.
Ia mengeluarkan alat lukisnya, mulai menambahkan goresan pelan-pelan ke atas kertas, melanjutkan versi lukisan yang ia gambar sendiri. Tangan Nadia sempat ragu.
“Aku takut salah. Gimana kalau ini bukan yang Ghaffar maksud?”
Laila menyentuh bahunya, “Kamu punya niat baik, Nad. Gambar dengan hati. Ghaffar minta tolong bukan cuma karena kamu bisa menggambar, tapi karena kamu bisa merasakannya.”
Nadia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam, lalu mulai melukis dengan pelan. Ia tambahkan cahaya di balik jendela, mengganti langit merah menjadi warna jingga senja, dan membuat bayangan sosok anak laki-laki yang berdiri di ambang pintu—tersenyum tenang.
Setiap warna yang ia tambahkan, seperti menghapus beban yang tak terlihat. Dan di detik terakhir, saat ia menggambar burung kecil yang terbang menjauh dari rumah kayu itu, angin di ruangan tiba-tiba berhembus pelan. Tirai jendela galeri bergoyang meski semua jendela tertutup.
Lukisan asli di dinding bergetar pelan… dan untuk sesaat, wajah Ghaffar terlihat samar di jendela dalam lukisan itu, tersenyum—lalu memudar perlahan.
Semuanya terdiam.
Janu menelan luda, “Apa… itu tadi?”
Haikal menatap lukisan, “Kayaknya… dia udah tenang.”
Pak Yahya yang dari tadi memperhatikan dari kejauhan, mendekat dan menatap karya Nadia, “Kadang, karya yang belum selesai butuh bukan sekadar teknik, tapi keikhlasan.”
Nadia menunduk dan tersenyum lembut. Ia tak tahu persis kenapa ia merasa tenang, tapi hatinya hangat. seolah beban yang bukan miliknya pun ikut terangkat.
***
Beberapa hari setelah kejadian tersebut, suasana hati Nadia jauh lebih ringan dan damai. Ia Kembali menjalani aktifitas sehari-hari nya seperti biasa dan tetap menyimpan kenangan itu di dalam hati kecilnya.
Karena bosan, Nadia menyusul bunda yang tengah sibuk membereskan gudang tua di rumah mereka.
“Bun, lagi apa?”
Bunda yang merasa terpanggil pun menoleh, “Ini, bunda lagi beres-beres gudang, boleh bantuin gak?”
“Boleh bun,” Nadia langsung bergegas membereskan laci-laci tua yang berdebu.
Saat sedang membersihkan laci-laci tersebut, ia menemukan tumpukan surat-surat lama dan foto hitam putih. Salah satu foto di situ membuat jantung Nadia berdegup kencang. Seorang remaja laki-laki dengan senyum yang khas sedang berpose di depan rumah tua. Persis seperti yang ada di lukisan misterius itu.
Di balik foto tersebut tertulis:
Ghaffar Al-Muhandis – 1999. Keponakan kesayanganku
Karena penasaran, Nadia langsung bertanya kepada bunda.
“Bun, siapa Ghaffar ini?”
Bunda terdiam sesaat, menatap foto itu dengan ekspresi campur aduk.
“Ghaffar itu anak dari kakak nenekmu dulu. Ia memang seniman muda yang sangat berbakat dan cukup popular di zaman itu. Tapi hilang secara misterius dan sejak saat itu keluarganya pindah ke luar negeri. Kamu dapat dari mana foto ini?”
Nadia menelan ludah. Ia terdiam sambil menatap foto tersebut.
Medan, 2025
*) Image by istockphoto.com