Sudah berulang kali Nyak Mah menolak lamaran laki-laki yang datang ke rumahnya. Perempuan berkulit gelap, bertubuh ceking dengan rambut yang selalu ditutup kerudung itu tak mau kehidupannya diganggu. Ia ingin hidup bebas, seperti kucing jalanan yang saban malam tidur di emperan toko. Lagi pula sejak kecil dia memang sudah bebas, bebas dari pertolongan siapa pun dan membangun hidupnya sendirian di tengah hiruk pikuk kota yang menguar aroma pesing.
Sejak kematian ayah ibunya dalam kecelakan bus di Takengon, Nyak Mah tinggal sendirian di sebuah kios kecil, di seberang rumah sakit yang dipenuhi pasien hingga ke emperan. Kios yang terbuat dari bilah papan itu berdiri lesu di antara bangunan-bangunan megah dan lalu-lalang kendaraan. Siapa pun yang kebetulan melewati kios itu pastilah menelan ludah, sebab rupanya yang begitu kumuh, serupa jamban di tengah lembah.
Sudah beberapa kali Satpol PP mengingatkan Nyak Mah agar kios itu dibongkar karena mengganggu keindahan kota. Namun, Nyak Mah tetap bertahan laksana tiang jembatan yang saban hari menahan beban. Bagi Nyak Mah, kios itu adalah satu-satunya pengingat bahwa ia pernah memiliki ayah dan ibu. Maka, sehebat apa pun ancaman yang datang dia akan melawan.
Pernah suatu hari rombongan Satpol PP membawa truk besar ke kiosnya, beberapa jam setelah bupati baru dilantik. Mereka turun berhamburan dari truk dan lalu mengepung kios itu seperti Densus 88 yang hendak menyergap teroris. Nyak Mah yang baru pulang berbelanja berlari bagai kijang, menerobos dan mendorong tubuh-tubuh yang berdiri di sana. Dia memaki orang-orang berseragam itu dengan ganas, melempari mereka dengan tomat, bawang, dan sekeranjang sabun yang baru saja dia beli.
“Pergi kalian!” bentak Nyak Mah dengan suara keras.
“Ini perintah Bupati,” sahut salah seorang dari mereka dengan wajah merah.
“Kios ini dibangun oleh ayah dan ibuku, bukan oleh bupati,” timpal Nyak Mah sambil berkacak pinggang.
“Ini demi keindahan dan kenyamanan warga kota.”
“Haba bangai! Kiosku sudah ada sebelum kota ini berdiri.”
Tangan Nyak Mah kembali meraih barang belanjaan yang tersangkut di sepeda. Dilemparinya mereka satu persatu, seperti orang-orang Palestina melempari tentara Israel, membuat rombongan Satpol PP bergerak mundur.
“Pergi dan sampaikan kepada bupatimu agar ia menepati janjinya!” teriak Nyak Mah sekali lagi seraya mengeluarkan belati dari pinggangnya.
Rombongan Satpol PP sempat maju, tapi tatapan puluhan warga yang berkumpul di seberang jalan membuat mereka ragu. Seorang komandan berbisik pada anak buahnya, “Jangan bikin ribut, nanti viral.” Maka mereka pun mundur teratur, sambil menahan malu.
Nyak Mah menyaksikan gerombolan itu menaiki truk dengan terburu. Dia merasakan hatinya terbakar. Ingin rasanya dia menginjak-injak kepala bupati sampai lumat dan lalu membuangnya ke tong sampah. Dia benar-benar marah dengan laki-laki itu. Dulu, sebelum terpilih dia telah berjanji berkali-kali untuk tidak melakukan penggusuran. “Kemakmuran lebih penting dari keindahan,” katanya saat kampanye. Namun, baru setengah hari menjadi bupati, laki-laki itu sudah berulah.
***
Nyak Mah memandang kiosnya dengan pandangan suram. Sekarang kios itu sudah kosong. Tak ada lagi barang-barang yang bisa dipajang dan dijual di sana. Semua sudah habis untuk makan sehari-hari. Dan, ketika kios itu benar-benar kosong, dia pun memilih menjadi pemulung di tengah kota, memungut botol-botol bekas yang dibuang orang-orang berpakaian necis.
Ketika ayam pertama baru berkokok dan dingin masih merayap, Nyak Mah bergegas membuka mata dan bersiap-siap berangkat. Dia menggunakan sepeda Phoenix peninggalan ayahnya yang terparkir dalam kios. Dia membersihkan sepeda itu setiap malam, menghapus debu-debu yang menempel. Ketika debu-debu itu terjatuh, ia terkenang pada masa kecilnya sendiri, saat kedua tangannya memeluk pinggang ayahnya, berkeliling kota yang ramai ketika petang menjelang.
Usai membasuh wajahnya seraya mengusir rasa kantuk yang masih menggantung, Nyak Mah menaiki sepeda, mengayuhnya sekuat tenaga. Beberapa kali dia berhenti untuk mencongkel tumpukan sampah yang menggunung di sepanjang jalan. Dia harus cepat-cepat sebelum truk-truk berwarna kuning mengangkut sampah-sampah itu dengan sigap. Kadang-kadang dia harus bersaing dengan pemulung lain, seorang laki-laki angkuh yang kerap mengejeknya dengan panggilan dara kleng.
Di tengah persaingan sesama pemulung, Nyakmah selalu saja mendapatkan hasil yang lumayan, dua karung botol bekas setiap hari. Kadang-kadang, ketika dia mendapat kabar ada kenduri di pinggiran kota, maka dia akan ke sana, memungut sampah-sampah yang berserakan dengan penuh semangat, tanpa peduli pada ratusan pasang mata yang menatapnya dengan sinis. Kadang-kadang si empunya pesta memberinya sedikit makanan untuk dibawa pulang, dan kadang-kadang pula ia diusir sebelum kedua tangannya yang tirus sempat memungut botol-botol bekas di sana.
Pengalaman demikian membuat Nyak Mah semakin tegar, semakin mengerti artinya hidup, apalagi hidup di tengah kota kecil yang dipimpin mantan pemberontak. Pengalaman itu juga semakin memperteguh keyakinannya bahwa tidak semua orang perlu kawin, terlebih dirinya yang sudah terbiasa hidup sendirian, terbiasa tidak dipedulikan, baik oleh pamannya sendiri maupun penguasa kota yang janjinya di musim pemilu berserakan bagai sampah di sana-sini.
Saat usianya menginjak enam belas, pamannya mengenalkan seorang laki-laki pada Nyak Mah. Sang paman yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu merayu Nyak Mah agar mau menikah dengan Razikin yang kala itu bekerja sebagai satpam di sebuah swalayan yang hampir bangkrut. Namun, Nyak Mah menolak tawaran itu mentah-mentah seraya hatinya mengumpat keras.
“Nikahkan saja dengan anak Paman, jangan dengan saya!” kata Nyak Mah seraya membersihkan botol bekas di depan kiosnya.
“Ini tanggung jawabku sebagai pamanmu,” sahut pamannya dengan suara sedikit keras.
“Tidak mau!”
Jawaban itu membuat wajah pamannya sempurna berkerut, entah dia marah atau kecewa. Laki-laki itu berdiri di ambang pintu dengan mulut menganga seperti gorong-gorong kota yang dipenuhi limbah. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada suara yang keluar, hanya bau tembakau yang menguar dari mulutnya yang gelap. Namun, Nyak Mah tak ambil pusing. Dia sudah sangat kesal dengan ulah pamannya yang selalu saja muncul bagai hantu.
Teringat dia akan masa-masa yang lalu, ketika ayah ibunya baru saja meninggal, laki-laki itu tak pernah sekali pun mengunjunginya, apalagi memberinya sedikit beras. Namun, ketika Nyak Mah sudah dewasa dan punya penghasilan sendiri, laki-laki yang ia panggil paman itu sering datang meminjam uang. Dan, ketika Nyak Mah menolak permintaan itu, sang paman pun memaki, mengumpatnya sebagai anak durhaka.
Kenyataan itu membuat Nyak Mah tak sudi lagi memandang wajah pamannya. Pernah beberapa kali dia berdoa agar pamannya ditabrak truk pengangkut besi atau ditimpa pesawat yang jatuh dari langit, atau tenggelam di selokan kota, agar laki-laki itu tak lagi mengganggu hidupnya. Namun, laki-laki itu seperti memiliki sembilan nyawa, dia tetap saja bugar setelah dua tahun lalu dihajar preman terminal yang membuat wajahnya remuk dan tulang hidungnya patah.
Di waktu-waktu yang lain, pamannya kembali datang membawa jodoh untuk Nyak Mah, mulai dari pedagang sayur, penjual ikan di pasar, sopir labi-labi, pengusaha batu-bata, guru honorer sampai teungku-teungku yang baru pulang mengaji dari Labuhan Haji. Akan tetapi, Nyak Mah masih saja berkeras hati, menolak tawaran-tawaran itu dengan kasar. Baginya, orang-orang yang dibawa pamannya itu tak lebih dari potongan sampah yang saban hari ia pungut di jalanan kota. Dia sudah merasa cukup dengan sampah-sampah yang dibuang pengemudi di tengah jalan. Tak mau lagi dia menerima lamaran laki-laki yang akan membuat dirinya menjadi sampah di kemudian hari.
Bagaimana pun Nyak Mah sudah bertekad tak ingin kawin. Dia ingin tetap bebas, menyusuri jalanan kota di pagi buta seraya mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual. Memang pendapatannya tidak seberapa dan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Akan tetapi bagi Nyak Mah, asal ia bisa mengganjal perut dan membeli pakaian setahun sekali, itu sudah memadai. Lagi pula buat apa dia kawin kalau nantinya hanya menjadi babu laki-laki? Bagus hidup sendiri, walau miskin ia masih bisa bebas ke sana-sini, begitu pikirnya.
Namun, tadi malam dia bermimpi bertemu kedua orang tuanya. Dia melihat ayah dan ibunya berdiri di pinggir jurang yang begitu gelap, bersama lolongan anjing yang menyalak hebat. Ayahnya menunjuk-nunjuk ke langit dan ibunya menatap tanah. Tak jelas apa yang mereka ributkan. Namun, suara keributan itu membuat Nyak Mah terjaga, mengingatkannya pada pertengkaran mereka di masa lalu, ketika dia masih berusia lima tahun.
Sambil duduk memeluk lutut, dia kembali terkenang saat kedua orang tuanya masih hidup. Mereka selalu saja bertengkar. Bahkan ketika keduanya menaiki bus menuju Takengon, pertikaian belum juga usai. Malam ini, ketika keduanya telah lama mati, mereka masih juga bercekak dalam mimpinya. Mengingat kejadian itu, Nyak Mah semakin yakin bahwa pernikahan hanya akan mengundang kegaduhan.
Dan sampai cerita ini ditulis, Nyak Mah masih saja keras kepala. Entah berapa lamaran lagi yang akan ia tolak, entah berapa banyak malam yang akan ia lalui sendirian di kios itu. Kota mungkin akan terus berubah, tapi perempuan itu tetap bagai batu: keras, dingin, dan tak tergeser.
Catatan:
Dara kleng: Gadis hitam
Haba bangai: omong-kosong







