“Hhh, lagi-lagi aku dimarahi ayah dan ibu karena ilusiku. Padahal, aku yakin sekali kalau itu nyata,” gerutu Ana sambil menjatuhkan tubuhnya di atas kasur.

Sore itu, Ana melemaskan tubuhnya di atas tempat tidur berwarna biru.

Tak lama, Ana melihat peri. “Apa ini ilusiku lagi? Tapi ini terlihat nyata bagiku,” ucap Ana sambil mengucek-ngucek matanya.

“Mungkin mereka bilang kalau aku ini ilusimu saja, namun kau tahu kalau aku nyata,” ujar peri bertubuh mungil, yang tak lain adalah ilusi Ana.

“Iya, kamu benar, mereka menganggap kamu itu ilusi. Bahkan bukan hanya kamu, tetapi yang lainnya juga. Aku tahu, setiap yang dilihatku itu memang ilusi tapi itu nyata bukan? Dan mereka menganggap kalau itu hanya ilusiku belaka. Mereka menganggap ilusiku berlebihan,” gerutu Ana, dengan kesal. Yang tadinya posisi tidur, ia mengubah posisinya menjadi duduk.

“Kalau begitu, ikut aku saja. Di duniaku tak ada yang menganggap ilusi. Di sana mereka menganggap nyata, sama seperti yang di pikirkanmu,” ajak peri mungil itu.

“Baiklah,” ucap Ana sambil mengikuti peri mungil itu yang perlahan ke jendela. Ana tak melihat ke bawah saat ia berada di bibir jendela. Ya, letak kamar Ana berada di lantai dua.

Ana terus melangkah mengikuti peri mungil itu. Hingga tanpa disadari, Ana telah melewati bibir jendela. Ana langsung terjatuh, tubuhnya lemas tak sadarkan diri. Dan tubuhnya berlumuran darah.