Sebagai orang baru di kantor, Suhbali merasa tidak ada yang salah dengan pantat Jelantik. Ia melihat pantat Jelantik biasa-biasa saja. Pantat Jelantik memang besar, tapi proporsional dengan tubuh padat berisi dan menjulangnya. Namun, orang-orang di kantornya bilang pantat Jelantik mengembang, tampak padat berisi, sedikit penuh, dan terlihat hampir meluber menuruni paha.

Pantat Jelantik sudah seperti berita utama koran pagi yang layak menjadi teman menikmati kopi. Semua orang di kantor merasa wajib membicarakannya. Merasa ketinggalan berita jika tidak mengetahui perkembangan pantat itu. Pantat Jelantik adalah isu terpanas yang mampir di kuping Suhbali sejak pindah dinas ke kota kecil di wilayah tengah negara ini.

“Pasti pantat itu diisi angin sampai bisa mengembang sebesar itu.”

“Pantat itu berisi lemak jenuh. Lihat saja setiap berjalan pantat itu bergetar. Menggelambir.”

Orang-orang di kantor selalu membuat tebakan sendiri soal pantat Jelantik. Ada dua jenis pantat di kantor itu: pantat besar dan pantat kecil. Pantat Jelantik memang besar, tapi tidak seperti golongan pantat besar lainnya. Pantat itu mengembang, tampak padat berisi, sedikit penuh, dan terlihat hampir meluber menuruni paha. Jika Jelantik berjalan, pantat itu akan bergetar. Membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa gemas, geram.

Tidak sedikit yang ingin mengempesi sepasang daging menggunung di belakang tubuh Jelantik itu. Pasti sangat asyik bisa menerjang Jelantik, mengikatnya di tiang bendera saat apel pagi, kemudian menusuk pantat itu dengan pulpen kesayangannya yang selalu terselip di saku baju. Namun, adegan itu hanya berputar di otak mereka. Tangan dan kaki mereka mati sejenak begitu Jelantik lewat. Bahkan bibir yang biasanya mengeluarkan kata-kata tersumpal begitu saja. Mungkin tersumpal pantat Jelantik yang gempal.

Diam-diam Suhbali memperhatikan segumpal daging di belakang tubuh Jelantik. Ketika Jelantik lengah, secepat kilat Suhbali akan melemparkan pandangannya pada pantat itu. Ketika Jelantik berjalan, Suhbali akan mengekor di belakangnya. Tetap saja, Suhbali tidak menemukan apa yang dikatakan orang-orang. Baginya pantat Jelantik tidak mengembang, tidak tampak padat berisi, tidak penuh, dan tidak terlihat hampir meluber menuruni paha seperti yang dikatakan teman-teman kantornya. Seperti golongan pantat besar pada umumnya.

Seandainya pantat Jelantik terlalu besar untuk tubuhnya, pasti lelaki 53 tahun itu akan susah berjalan. Bahkan mungkin akan kesulitan berdiri setelah duduk. Lagi-lagi Suhbali tetap merasa pantat itu baik-baik saja.

Tidak banyak yang mengenal baik Jelantik. Laki-laki penyendiri yang lebih senang mengurung diri di ruangan daripada bergabung makan siang di kantin. Jika tidak, Jelantik memilih pulang ke rumah dinasnya. Cukup berjalan kaki lima menit, mungkin kurang.

Jelantik memiliki wajah dan gaya yang sederhana. Ketika dipindahtugaskan ke kantornya yang sekarang, Jelantik hanya datang dengan satu koper besar dan tas selempang kecil butut yang terbuat dari kulit asli. Belakangan orang-orang di kantornya mengetahui kalau Jelantik sudah punya seorang istri dan sepasang anak kembar laki-laki. Ia tidak membawa serta keluarganya. Mereka menetap di kampung halamannya yang berada di barat negara ini. Lebih aman dan lebih baik mereka di sana, begitu pikir Jelantik.

Lelaki itu juga jarang terlibat perbincangan dengan orang-orang kantor. Jika memang harus berbincang, hanya yang berkaitan dengan persidangan. Itu pun percakapan super singkat. Jelantik tidak pernah mengumbar siapa dirinya.

Jelantik pernah sekali terlibat perbincangan dengan Suhbali. Bukan perbincangan yang disengaja. Jelantik terjebak dalam situasi harus berbicara kepada Suhbali mengenai laptopnya yang mati tiba-tiba di pertengahan malam. Ingatan Jelantik terbawa pada Suhbali, jaksa bertangan dingin. Jaksa baru itu memiliki kelebihan lain selain mengajukan tuntutan. Suhbali akrab dengan masalah yang menimpa Jelantik saat itu. Begitu yang Jelantik dengar dari staf dan jaksa lain.

Jelantik berjudi dengan peruntungan. Ia mendobrak malam untuk mengetuk rumah kontrakan Suhbali yang tidak jauh dari kantor.

Suhbali masih membuka mata. Ia sedang menerima telepon dari istrinya ketika Jelantik mengetuk pintu rumah kontrakannya. Mau tidak mau Suhbali menyambut atasannya itu.

“Otodidak, Pak,” jawab Suhbali ketika ditanya soal muasal kemampuannya.

Pertanyaan yang awalnya Jelantik niatkan sebagai basa-basi rupanya menjadi pemantik untuk percakapan yang lebih panjang. Pertanyaan-pertanyaan lain mengalir. Bukan dari Jelantik, melainkan Suhbali.

Suhbali diam-diam masih ingin tahu soal pantat Jelantik. Dengan segala upaya Suhbali sengaja menahan Jelantik di ruang tamu rumah kontrakannya. Dengan serangan pertanyaannya, Suhbali membuat Jelantik banyak bicara malam itu.

Rupanya Jelantik pintar mengerem laju kata-katanya tiap kali bercerita mengenai diri dan keluarganya. Suhbali merutuk dalam hati. Jangankan bicara soal pantat yang lebih personal, untuk tahu nama anak kembar laki-lakinya saja Suhbali kewalahan. Di matanya pantat Jelantik masih sama. Tidak mengembang, tidak tampak padat berisi, tidak sedikit penuh, dan tidak terlihat hampir meluber menuruni paha seperti yang dikatakan orang-orang di kantornya.

Selang beberapa hari setelah percakapan panjang malam itu, Jelantik memanggil Suhbali secara personal ke ruangannya, di jam makan siang. Jelantik memang pernah beberapa kali memanggil Suhbali untuk beberapa urusan, tapi bukan di jam itu. Meski sudah beberapa kali datang ke ruangan Jelantik, Suhbali tidak dapat menghidupkan percakapan serupa malam itu.

Jelantik tidak merasa berutang apa pun kepada siapa pun. Baginya apa yang dilakukan Suhbali malam itu adalah kewajiban bawahan membantu atasan. Begitulah Suhbali menebak pikiran bosnya.

“Pelajari ini.” Jelantik mendorong setumpuk kertas terjilid dengan jari tengah dan telunjuknya ke arah Suhbali.

Suhbali membacanya, yang kemudian ia ketahui sebagai berkas pelimpahan kasus pemalsuan sertifikat lahan dari kepolisian. Suhbali tersenyum mengetahui nama tersangkanya. Senyumnya lebih lebar lagi ketika mengetahui kasus itu di bawah kendalinya sekarang. Tambah lebar lagi ketika bayangan lembaran-lembaran uang merah pucat masuk ke saku celananya.

Gaji Suhbali sebagai jaksa muda memang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder keluarganya. Suhbali bahkan bisa menabung untuk persiapan operasi cangkok jantung jika nanti ia menemukan donor untuk balitanya. Tidak disangka donor itu datang begitu cepat. Suhbali bersyukur sekaligus kebingungan. Operasi cangkok jantung tidak bicara soal ratusan juta, sementara uang di rekening hanya cukup untuk biaya perawatan.

Suhbali merasa ini adalah cara Jelantik berterima kasih atas bantuannya malam itu. Suhbali memang sempat menyinggung masalah keluarganya, berharap Jelantik menawarkan bantuan kepadanya. Sayangnya, jangankan mendapat timbal-balik, sekadar kata-kata simpati atau ekspresi empati pun tidak ia dapatkan dari Jelantik.

Suhbali memperhatikan susunan uang yang dijejerkan tamunya. Ia membayangkan menandatangani surat operasi cangkok balitanya. Selepas menjabat tangan tamunya itu, Suhbali mengunci pintu rumah kontrakannya. Mereka telah sepakat, karena alat bukti lengkap, Suhbali hanya bisa meringankan dakwaan saja.

Suhbali kembali teringat pantat Jelantik. Pantat itu berkelebat begitu saja. Pantat yang kata orang kantor mengembang, tampak padat berisi, sedikit penuh, dan terlihat hampir meluber menuruni paha. Beberapa jaksa memang memiliki pantat besar. Tidak hanya jaksa. Polisi, hakim, panitera, beberapa dari mereka berpantat besar, beberapa terlihat biasa saja. Lagi-lagi Suhbali hanya bisa membayangkan pantat Jelantik yang memang besar, tapi tidak seperti yang digambarkan teman-teman kantornya.

Suhbali juga punya pantat yang cukup besar sebagai jaksa muda. Suhbali sebenarnya ingin menjadi jaksa berpantat normal, tetapi keadaan terus merayu untuk memompa pantatnya menjadi semakin besar. Hanya untuk operasi cangkok jantung balitanya, begitu Suhbali membela diri.

Jelantik sedang menandatangani suatu berkas ketika Suhbali masuk ke ruangannya. Pulpen kesayangan yang biasa terselip di saku baju, ia letakkan di atas meja. Suhbali setengah hati mendorong plastik hitam berisi gepokan uang. Dalam hati ingin sekali ia memasukkan uang itu ke kantong celananya sendiri. Tanpa perlu ia bagi lagi dengan jaksa lain, juga dengan atasannya, Jelantik. Namun, mau bagaimana lagi, ini kerja kelompok.

Jelantik membuka ikatan plastik hitam di hadapannya. Ia mengangkat pantatnya dari dudukan kursi. Tanpa menghitung isinya, Jelantik memasukkan gepokan-gepokan uang yang ada dalam plastik hitam itu ke kantong celana belakangnya. Satu, lima, tujuh, sepuluh, dua puluh, dua puluh lima, lima puluh ….

Pupil mata Suhbali melebar. Sungguh ajaib, gepokan-gepokan uang—yang masing-masingnya bernilai 10 juta—bisa masuk ke dalam kantong kecil di bagian pantat itu. Pundak Suhbali bergelak halus ketika melihat pantat Jelantik mengembang pelan, tampak padat berisi, sedikit penuh, dan terlihat hampir meluber menuruni paha.

Jelantik kemudian menyodorkan sepuluh gepok sisanya kepada Suhbali sembari berkata, “Bagi dengan jaksa lainnya.”

Jelantik tahu ia sedang mengumpulkan uang untuk balitanya. Jelantik tahu kondisi balitanya. Darah panas Suhbali mengalir secara berlebihan ke kepala. Kepala Suhbali menyembulkan asap tipis tak kasat mata.

Dengan susah payah Jelantik mengangkat pantatnya dari posisi duduk. Begitu bisa menguasai pantat yang semakin terlihat berat, Jelantik meninggalkan Suhbali yang masih duduk di tempatnya. Ketika Jelantik berjalan, pantat itu bergetar. Getarannya membuat Suhbali merasa gemas, geram.

Di otak Suhbali berputar adegan ia menerjang Jelantik, mengikatnya di tiang bendera, kemudian mengajak teman-teman lain menusuki pantat itu dengan pulpen kesayangan Jelantik. Dengan dada yang masih panas, Suhbali mengambil pulpen kesayangan yang baru saja digunakan Jelantik menandatangani suatu berkas.[]