KURUNGBUKA.com – Arok (Rio Dewanto) bersama jaringan terorisnya melancarkan aksi pemboman di Jakarta. Motivasinya jelas, mereka ingin membalaskan dendam keluarganya dan membangun era baru dengan menghancurkan sistem pemerintahan yang dianggap korup dan memiskinkan rakyatnya sendiri.

Oscar (Chicco Kurniawan) dan William (Ardhito Pramono), pendiri Indodax, perusahaan start up berbasis teknologi yang mempertemukan penjual dan pembeli aset digital itu diduga kuat terlibat dalam organisasi terorisme, sehingga mereka ditangkap oleh Badan Kontra Terorisme Indonesia (ICTA) yang dipimpin oleh Damaskus (Rukman Rosadi) dan dua kepala divisinya, Emil (Ganindra Bimo) dan Karin (Putri Ayudya).

Kita akan dibuat terkejut dengan penyergapan sekaligus pemasangan bom ponsel di mobil keuangan negara. Uang berhamburan dari dalam mobil dan menjadi serbuan masyarakat sehingga menimbulkan kekacauan. Sejak itu, rentetan bom menuju 13 bom seperti yang disampaikan Arok membuat situasi semakin menegangkan.

Sejak awal hingga pertengahan cerita, kita seolah dipaksa merangkai sendiri alurnya karena pergerakan cerita begitu cepat. Yang merepotkan, banyak karakter yang tidak jelas melafalkan kalimat sehingga di beberapa bagian kita akan kesulitan mencerna maksudnya, pun teks dalam ponsel dan komputer yang terlampau kecil, dan disayangkan sekali tidak ada takarir atau sulih teks yang menyertainya di layar.

Secara ide, formula cerita yang dipakai dalam film ini masih sangat umum sekali dalam mengisahkan cerita tentang terorisme. Bahkan perkara bitcoin saja, mesti ada dialog khusus yang menjelaskan tentang itu, sehingga ada kesan teks book sekali penyampaiannya, kurang natural.

Secara teknis sinematografi, CGI, music scoring, dan adegan actionnya cukup memuaskan, terlihat sangat proper sekali persiapannya. Sayangnya, untuk beberapa aktor masih kurang terlihat meyakinkan dalam membawakan karakternya. Sebut saja seperti Chicco dan Ardhito yang kurang maksimal menunjukkan karakter seorang pengusaha yang passionate dengan bisnisnya.

Angga Dwimas Sasongko, selaku sutradara dan penulis skenario bersama M. Irfan Ramli merangkai alur ceritanya terkesan tergesa-gesa, dan kurang kokoh membangun latar belakang cerita setiap karakternya. Saya membayangkan film ini akan lebih baik bila dibuat sebagai serial saja semacam Money Heist dan Lupin. Walaupun pesan satir yang berusaha disampaikan tentang mimpi-mimpi utopis para teroris dan kritik tajam tentang ketidakbecusan, lamban serta keteterannya pemerintah dalam menangani kasus terorisme bisa diterima dengan baik.

Beberapa adegan justru tertolong dengan kemunculan karakter Agnes kekasih William yang diperankan oleh Lutesha. Gila, sih, aktor satu ini. Dia bisa begitu menjiwai setiap karakter yang dibawakannya—hampir di semua film, dia nyaris tak pernah gagal memainkan karakternya sekecil apa pun perannya. Agnes sendiri digambarkan sebagai perempuan polos, nekat, dan kocak. Lutesha benar-benar gemilang sekali menghidupkan karakter Agnes. (Lofyu sekebon neng Duyung Senja)

Terlepas dari itu semua, film 13 Bom di Jakarta menjadi tontonan alternatif di tengah belantara film horor yang terus merajai bioskop. Datanglah dengan tanpa membawa ekspektasi yang tinggi, bila hanya untuk sekadar mendapatkan hiburan, film ini cukup bisa menghibur.

Saya menontonnya sekitar jam 21.00 dan selesai jam 23.25. Beruntungnya cukup banyak penonton film ini malam kemarin. Mall sudah tutup dan kami harus melewati tangga darurat untuk menuju ke parkiran. Saya berasa menjadi polisi seperti dalam film yang akan menyergap teroris.

Score: 7,5/10.

*) Image by Visinema dan Legacy Pictures.