KURUNGBUKA.com – Festival film menurut Djamaluddin Malik ialah sebagai peristiwa budaya. Di usia kemerdekaan Indonesia yang masih muda, baru 10 tahun, Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik mempelopori digelarnya Festival Film Indonesia pertama kali di Jakarta pada 30 Maret – 5 April 1955.

Mundur 5 tahun dari sana, film “Darah dan Doa” (The Long March) garapan sutradara dan produser Usmar Ismail tayang. Tepatnya, film perang yang mengisahkan cerita Kodam Siliwangi dan pemimpinnya Kapten Sudarto saat berkirab ke Jawa Barat ini pertama kali syuting di tanggal 30 Maret 1950. Film ini seringkali ditandai sebagai film Indonesia pertama yang diproduksi seluruhnya oleh orang Indonesia.

Akhirnya tanggal tersebut dirayakan sebagai Hari Film Nasional, tepatnya Hari Film Nasional ditetapkan pada 30 Maret 1999 oleh B.J Habibie melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1999, sekaligus menjadikan Usmar Ismail sebagai Bapak Film Indonesia─belakangan diakui sebagai Pahlawan Nasional.

Upaya para tokoh perfilman mengadakan Festival Film Indonesia adalah cara agar para sineas bersama-sama melakukan evaluasi selama satu tahun ke belakang. Lebih daripada itu, penyelenggaraan ini sebagai pertemuan kreator dan penonton untuk merayakan sekaligus mengapresiasi perjalanan film Indonesia dari tahun ke tahun.

Sudah kurang lebih 7 dekade para sineas berlomba-lomba menyuguhkan tayangan film yang menggugah hati penontonnya. Tema dan genre cerita menjadi salah satu pergumulan yang tak henti-henti dieksplorasi. Trial and error. Hal tersebut bisa dikonfirmasi dari daftar 10 film Indonesia terlaris sepanjang masa. Meskipun menurut saya semua film bisa disebut drama, tetapi kita lebih mengenal beragam genre lainnya seperti horor, komedi, drama keluarga, dan persahabatan sebagai genre paling diminati.

Film horor masih menjadi primadona bagi penonton Indonesia. Film-film yang menghadirkan hantu untuk menakut-nakuti penonton masih menjadi daya tarik paling besar di bioskop-bioskop tanah air. Terlihat dari film “KKN di Desa Penari” yang masih menduduki peringkat pertama dengan perolehan sebanyak 10.061.033 penonton. Ada upaya begitu keras dari film di bawahnya “Agak Laen” yang nyaris dua bulan bertengger di bioskop hingga hari ini, nyatanya belum berhasil melampauinya, mentok di angka 9.006.211 penonton. Meski masih tayang namun agaknya cukup mustahil untuk mengejar posisi pertama.

Data tersebut sepatutnya dijadikan motivasi untuk para sineas menghasilkan karya film terbaiknya. Artinya, keputusan menjadikan pekerja film sebagai profesi utama adalah (mudah-mudahan) pilihan yang tepat. Selain itu, saat ini yang terjadi adalah perang ide, perang premis. Bukan lagi misalnya, film komedi dan horor di awal dekade 2000-an yang mengesploitasi perempuan-perempuan seksi untuk memancing syahwat penontonnya. Kualitas film horor sendiri sekarang mulai tampak berbenah. Meskipun, wilayah esploitasinya bergeser ke ruang-ruang agama.

Gina S. Noer menulis di unggahan Instagramnya: “Kebanyakan film horor menggunakan salat, doa, zikir dan lain-lain cuma jadi pilot devices murahan untuk jumpscare karakternya diganggu setan. Sehingga kelemahan iman bukan lagi menjadi eksploitasi kritik terhadap keislaman yang dangkal. Tapi cara dangkal biar cepat seram,” ungkapnya. Ia mengaku tak sedang mengkritik film tertentu, ia bicara secara garis besar film-film horor Indonesia sekaligus mengajak filmmaker untuk merenungkan bersama agar lebih bijak lagi menulis cerita.

Gina membandingkannya dengan film asal Korea Selatan “Exhuma” yang cukup ramai mendapatkan pujian penonton Indonesia, termasuk dirinya: “Film Exhuma karakternya percaya sekali dengan belief (baik terhadap diri sendiri ataupun kepercayaan yang dianutnya) dan kemudian belief itu menjadi modal kuat untuk melawan setan yang kuat. Bahkan belief karakter ini kemudian menjadi titik tolak masuk bicara soal nasionalisme Korea.”

Saya sepakat dengan Gina. Eksploitasi terhadap agama, khususnya agama Islam, tampak sudah melampaui batas yang seharusnya. Fokusnya bukan lagi bagaimana menghasilkan cerita yang bagus, tetapi bagaimana cara menakut-nakuti penonton─yang sayangnya karena menggunakan pendekatan agama, efek sampingnya membuat penonton Indonesia berkesimpulan yang mirip dengan apa yang ditontonnya. Perang ide seharusnya menjadi langkah sehat untuk menjaga kualitas film Indonesia. Tanggung jawab ini dipegang oleh pembuat film sekaligus penontonnya.

Terlepas dari itu, bila kita melihat dari sisi positifnya, film Indonesia kiwari sudah jauh lebih baik melampaui film-film terdahulunya, baik secara teknis maupun isi ceritanya yang segar. Sekadar menyebutkan dengan bangga, film-film seperti Yuni, Autobiography, Penyalin Cahaya, Ngeri-Ngeri Sedap, Budi Pekerti, Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, Pengabdi Setan, bahkan serial Gadis Kretek berhasil membuat kagum bukan hanya penonton Indonesia, tetapi penonton di festival-festival bergengsi bertaraf Internasional hingga menyabet banyak penghargaan di sana.

Film “Autobiography” tampaknya cocok masuk ke jajaran film yang diinginkan Gina. Film Makbul Mubarak ini sering disebut sebagai film horor tanpa hantu. Artinya, sineas Indonesia sangat mungkin bisa membuat film-film sebagus itu ke depannya. Tinggal bagaimana kualitas SDM-nya terus ditingkatkan. Pemerintah tentu saja harus banyak mengambil peran. Begitu. Selamat Hari Film Nasional!

Cilegon, 24 Maret 2024

*) Image by Netflix.com.

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia dan membagikan berita-berita yang menarik lainnya. >>> KLIK DI SINI <<<