Gaia memandangi cermin besar yang berdiri di tengah laboratoriumnya. Cermin itu memantulkan wajahnya yang kelelahan—mata cekung, rambut panjang acak-acakan, dan bibir yang kehilangan warna. Jas lab yang kusam semakin menunjukkan betapa kelelahannya. Tapi di balik kelelahan itu, ada keyakinan yang tak tergoyahkan. Ia sudah bekerja selama enam tahun untuk menciptakan Chronos Mirror, sebuah perangkat revolusioner yang ia percaya bisa memproyeksikan masa lalu dan masa depan. Obsesi Gaia terhadap kendali waktu seolah melawan takdir itu sendiri.

‘‘Baiklah, ini dia,’’ gumamnya, tangannya gemetar saat menyalakan perangkat. Cahaya biru keunguan memancar dari rangkaian mesin di sekeliling cermin, lalu menciptakan suara dengungan yang memenuhi ruangan. Gaia melangkah mundur perlahan, menahan napas.

Pada awalnya, pantulan di cermin hanya menampilkan dirinya, tetapi perlahan, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Pantulan Gaia memudar, digantikan oleh pemandangan padang tandus yang asing. Di tengah padang itu berdiri seorang pria. Tubuhnya penuh luka, pakaian compang-camping beserta jas lab yang lusuh, dan di tangannya tergenggam sebuah kunci emas.

Gaia membeku. Pria itu menatapnya langsung, seolah tahu bahwa ia sedang diawasi di balik cermin.

‘‘Siapa kau?’’ tanya Gaia, meski ia tahu pria di balik cermin itu tak mungkin mendengarnya.

Pria itu terdiam, tidak menjawab. Tapi sebaliknya, ia melangkah maju, dan pantulan di cermin mendadak berubah. Sekarang Gaia melihat dirinya sendiri, berdiri di padang tandus yang sama dan menggenggam kunci yang sama. Pemandangan itu membuatnya bingung setengah mati.

***

Malam itu, Gaia tidak bisa tidur. Bayangan pria di cermin sangat menghantuinya. Siapa dia? Mengapa cermin menunjukkan masa depan di mana ia sendiri berada di tempat itu?

Rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Esoknya, Gaia kembali ke laboratorium dan mengaktifkan Chronos Mirror sekali lagi. Kali ini, ia berdiri lebih dekat, memandang ke dalam cermin dengan intensitas yang membara.

‘‘Apa yang sebenarnya ingin kau tunjukkan padaku?’’ tanyanya.

Tiba-tiba, cahaya dari cermin membesar, menyelimuti tubuh Gaia sepenuhnya. Apa yang terjadi? Seharusnya tidak seperti ini, batinnya. Ia merasa seperti ditarik ke dalam pusaran secepat kilat, tubuhnya ringan, lalu…

Gelap.

Ketika Gaia tersadar dan membuka matanya, ia berdiri di padang tandus yang sama seperti yang dilihatnya di cermin. Udara panas membawa debu yang menusuk paru-paru, membuat langkahnya terasa berat. Tanah retak dan langit kelabu menyelimuti sekelilingnya.

‘‘Ini… ini mustahil,’’ gumamnya.

‘‘Akhirnya kau datang,’’ sebuah suara berat terdengar dari belakangnya.

Gaia sontak berbalik, dan di sana berdiri pria yang sama dengan yang dilihatnya di cermin.

‘‘Kau… siapa kau?’’

Pria itu tersenyum samar dan berkata, ‘‘Kau bertanya seolah tak mengenal dirimu sendiri.’’

Gaia mengerutkan kening. ‘‘Apa maksudmu?’’

‘‘Namaku Adrian,’’ katanya, ‘‘tapi kau bisa memanggilku dengan nama yang lebih akrab: Gaia. Senang bisa bertemu dengan diriku.’’

Kata-kata itu membuat Gaia terdiam. Pikirannya terhenti beberapa menit. ‘‘Tidak mungkin. Kau bukan aku. Kau, kan, pria!’’

‘‘Aku sudah menduga kau tidak akan percaya. Perlu kau ketahui, jenis kelamin hanyalah salah satu detail kecil yang berubah,’’ kata Adrian, melangkah mendekat. ‘‘Ini bukan pertama kalinya kau berdiri di sini, Gaia. Ini juga bukan kali pertama kau menciptakan Chronos Mirror. Kau telah melakukannya puluhan, bahkan ratusan kali sebelumnya. Dan setiap kali, hasilnya selalu sama: kau terjebak.’’

Gaia merasa tubuhnya melemas. ‘‘Apa maksudmu aku terjebak?’’

Adrian menunjuk cermin besar yang tiba-tiba muncul di tengah padang tandus. ‘‘Kau tahu? Cermin itu bukan alat untuk melihat waktu. Itu perangkap. Ia menciptakan siklus tak berujung di mana kau terus hidup, mati, dan terlahir kembali, hanya untuk menciptakannya lagi.’’

Gaia menggelengkan kepala, tidak percaya. ‘‘Tidak, itu tidak masuk akal. Aku… aku yang mengendalikannya!’’

‘‘Tidak,’’ potong Adrian. Ia tertawa kecil, getir. ‘‘Kau hanya pion dalam permainan yang kau buat sendiri. Dan aku adalah bukti kegagalanmu. Aku telah mencoba menghentikan siklus ini, tetapi selalu berakhir di sini. Kau akan menjadi aku, Gaia. Dan kau akan terus mencoba,’’ katanya sambil menggelengkan kepala, seperti menertawakan kebodohan Gaia.

Pria itu mengeluarkan kunci emas dari saku jasnya. ‘‘Ini bukan sekadar kunci, tapi simbol kebebasanmu. Satu-satunya cara untuk menghancurkan cermin itu dan mengakhiri semua ini. Tapi ingat, menghancurkan cermin berarti menghancurkan dirimu sendiri. Semua versimu, di semua waktu.’’

Gaia menatap kunci itu, lalu cermin di depannya. Ia ingin percaya bahwa ada jalan keluar, tetapi setiap langkah terasa seperti jebakan lain.

‘‘Apa yang harus kulakukan?’’ bisiknya.

‘‘Kau tahu jawabannya,’’ kata Adrian sambil menyerahkan kunci itu.

Dengan tangan gemetar, Gaia meraih kunci emas itu dan berjalan mendekati cermin. Ia menatap bayangannya sendiri, yang tampak penuh ketakutan.

‘‘Aku… aku tak ingin lenyap,’’ katanya lemas, air mata mulai mengalir di pipinya.

‘‘Tapi kau ingin bebas, bukan?’’ suara Adrian terdengar di belakangnya.

Jika ini akhir segalanya, apakah semua kerja kerasku sia-sia? Tapi jika aku tidak melakukannya, aku akan terus terjebak dalam siklus tak berujung ini, pikir Gaia.

Gaia menutup mata, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kali ini akan berbeda. Lalu dengan seluruh keyakinan dan keberanian yang tersisa, ia menancapkan kunci itu ke pusat cermin. Cahaya menyilaukan meledak dari retakan kecil di cermin, menjalar cepat ke seluruh permukaan. Kilauannya terasa seperti paradoks yang indah tetapi menyakitkan, seolah-olah menceritakan akhir dan awal yang terjadi secara bersamaan. Saat cahaya itu memenuhi pandangannya, ia mendengar samar suara Adrian, “Kita akan bertemu lagi, Gaia.”

***

Ketika Gaia membuka matanya lagi, ia berdiri di laboratoriumnya. Chronos Mirror berdiri di depannya, utuh, tanpa retak sedikit pun.

Bukankah seharusnya Gaia melebur bersama cermin itu dan semua bayang-bayangnya?

Tiba-tiba Gaia menyadari satu hal. Ia menghela napas panjang, menatap pantulan dirinya yang menyedihkan di cermin. Ia tahu semuanya dimulai lagi.

‘‘Baiklah, ini dia.’’

*) Image by istockphoto.com