Beberapa hari lalu saya sudah tamat membaca sebuah light novel berjudul Gadis Minimarket (GPU, cetakan ketujuh, 2022) karya novelis Jepang Sayaka Murata. Novel yang berjudul asli Konbini Ningen itu secara garis besar menyoal tentang kehidupan manusia normal di tengah masyarakat di zaman modern.

Salah satu—atau mungkin beberapa—hal yang saya garisbawahi dari novel itu ialah ada hal(-hal) yang sebenarnya tidak normal, abnormal, yang kerap dilakukan oleh “masyarakat normal”, yaitu mencampuri urusan dan kehidupan orang lain serta menjadi orang yang seolah-olah paling tahu apa yang harus dilakukan oleh orang lain. Misalnya, setelah lulus sekolah atau kuliah seseorang harus bekerja, lalu pacaran atau menikah, mempunyai anak, membangun rumah, membeli mobil dan seterusnya dan sebagainya. Jika ada hal yang terlewat atau tak dilakukan, maka orang tersebut dianggap abnormal.

Kemudian saya secara alamiah mengaitkannya pada realitas yang terjadi di masyarakat normal kita—kita anggap saja begitu.

Hal normal yang terjadi di sekitar kita adalah membuat dokumen-dokumen kewargaan seperti KTP, KK, SIM dan sejenisnya dengan cara melakukan tindakan gratifikasi atau memberi sogokan. Dan merupakan tindakan abnormal jika sogokan itu ditolak. Saat hendak mau mendapatkan pekerjaan pun demikian. Kita bayar ke seseorang dulu sebelum dibayar perusahaan. Itu normal.

Hal normal lain adalah pintu rumah kita diketuk, lalu seseorang memberikan amplop berisi uang yang tak seberapa atau sembako yang pasti habis dalam sehari-dua hari di hari sebelum pemilu untuk memilih kepala desa, lurah, camat, bupati, walikota, gubernur, anggota dewan sampai presiden dan kita menerimanya dengan senyum yang lebar. Dan di TPS, kita memilih atau tak memilih calon yang diusung oleh orang yang mengetuk pintu rumah kita. Itu juga masih normal.

Masih banyak hal normal yang ada di lingkungan kita. Sebut saja pejabat yang terjerumus ke lubang kenistaan korupsi yang telah habis masa hukumannya dan ia dibebaskan, lalu kita menyambutnya dengan riang gembira, dengan bacaan salawat segala, seperti ia pulang dari ibadah haji atau umroh, lalu ia mencalonkan diri lagi pada panggung pemilu berikutnya, dan kita pilih lagi, dan ia menang lagi, lalu terjerumus ke jurang yang sama lagi dan begitu terus-menerus. Dan itu, ya normal.

Di dunia pendidikan juga ada, seperti siswa titipan, siswa yang beli kursi sekolah, siswa yang bisa masuk sekolah anu karena ia anak pejabat daerah atau anak pejabat sekolah. Ada juga siswa yang nilainya hancur tapi tetap naik kelas dan lulus, termasuk dalam lima atau enam hari siswa harus mempelajari sekian pelajaran dari pagi sampai sore dan dituntut untuk mendapatkan nilai standar yang tinggi dalam ujian. Nilai standar kok tinggi, emang ada? Ya ada-lah. Kan itu normal di kita.

Terus ada juga orang yang jujur dan selalu susah naik pangkat. Itu banyak. Orang yang tidak punya skill tapi pandai menjilat tapi cepet banget naik pangkat. Itu lebih banyak. Dan lagi-lagi, itu normal.

Dalam kehidupan beragama juga ada. Sekarang, di kampung-kampung, masjid dibangun megah-megah, tapi yang ibadah orangnya cuma itu-itu saja. Ketika melaksanakan ritual doa bersama di dalam masjid, seperti ngeriung, para ustaz maupun jamaahnya merokok di dalam masjid, padahal ada banyak anak-anak di sana. Itu normal-normal saja.

Mungkin segitu saja dulu, khawatir banyak orang yang tersinggung. Tapi, semua yang saya sebutkan itu adalah normal bagi masyarakat normal kita. Iya, kan?

Rumah Baca Bojonegara, Sabtu, 22 April 2023 M /
Ahad, 2 Syawal 1444 H 23:06 WIB