Apa yang menarik dari Kurikulum Merdeka? Yang pertama, ialah ketiadaan nilai KKM atau Ketuntasan Kriteria Minimum. Pada Kurikulum 2013, nilai KKM menjadi nilai standar untuk kelulusan sebuah mata pelajaran. Misalnya, nilai KKM mata pelajaran matematika adalah 75. Jadi, siswa akan dinyatakan lulus jika mendapatkan nilai 75 dalam sebuah penilaian atau ulangan harian atau penilaian tengah semester (PTS) maupun penilaian akhir semester (PAS) atau penilaian akhir tahun (PAT).

Kini, dalam Kurikulum Merdeka, KKM ditiadakan. Itu sebuah berkah bagi siswa sekaligus guru. Siswa jadi tidak harus mencapai nilai tertentu dalam sebuah penilaian yang kini disebut sumatif. Guru juga tidak harus berdarah-darah dalam mengajar agar anak didiknya meraih nilai standar. Penialain menjadi wadah untuk mengukur pemahaman siswa terhadap suatu materi pembelajaran, bukan menjadi dasar kelulusan atau ketuntasan.

Pada Kurikulum 2013, siswa akan dianggap memahami materi pembelajaran apabila ia mendapatkan nilai sesuai KKM atau lebih. Namun dalam Kurikulum Merdeka berbeda. Jika siswa mendapatkan nilai 60, berarti pemahamannya terhadap materi tersebut adalah 60 persen. Jika dalam suatu penilaian siswa diminta untuk mendefinisikan sesuatu, lalu mendeskripsikan bentuknya, fingsinya, bahan yang digunakan untuk membuatnya, menganalisisnya, namun siswa tersebut hanya bisa menjelaskan fungsinya, itu tidaklah mengapa. Berarti, pemahaman siswa tersebut baru sampai pada tahap itu.

Minat dan bakat setiap siswa atau manusia secara menyeluruh adalah berbeda. Pun dengan kecerdasan alamiahnya. Pun dengan daya angkap dan ingatnya. Jadi adalah wajar jika seorang siswa memiliki kelebihan dan kekurangan dalam memahami suatu pembelajaran. Di sinilah berkahnya ketiadaan KKM itu.

Mari kita pikirkan ulang. Seorang anak harus mendapatkan nilai tertentu untuk semua mata pelajaran. Di SMP, ada belasan pelajaran yang dipelajari. Jika dalam semua pelajaran itu siswa harus mendapatkan nilai standard—dan kebanyakan nilai standard itu dibikin tinggi—itu merupakan hal yang sangat sulit.

Jika seorang guru diposisikan dalam posisi yang sama, yakni memahami dan mendapatkan nilai standar di semua mata pelajaran, saya kira itu pun sangat sulit, kecuali orang itu benar-benar hebat dalam semua bidang itu. Tidak ada guru—sejauh yang saya temuai selama saya menajdi guru—yang bisa memahami semua mata pelajaran dengan baik di jenjang sekolah menengah.

Hal kedua yang menarik dari KM ialah keberadaan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Tujuan program ini adalah untuk membentuk kecintaan para siswa terhadap nilai-nilai nasionalisme atau keindonesiaan melalui program-program yang berkaitan dengan isu-isu kontekstual di masyarakat berbasis social, lingkungan dan budaya.

Dalam praktiknya di lapangan, para siswa berperan proaktif dalam menjalankan program ini melalui bimbingan guru. Kenapa program ini menarik? Karena tentunya dalam program ini para siswa belajar melalui seluruh pancaindra mereka di luar ruangan kelas. Mereka membuat sesuatu dari bahan-bahan bekas yang ada di sekitar rumah mereka atau sekolah kemudian menjadikannya benda-benda bernilai guna dan bahkan bernilai ekonomi.

Di sini mereka memaksimalkan semua pancaindra mereka. Mereka berkreasi dalam kolaborasi. Mereka juga mempresentasikannya. Mereka benar-benar belajar dengan cara mengalami langsung. Semua siswa menunjukkan wajah yang gembira. Pemandangan ini sungguh mengagumkan.

Apa yang bisa kita petik dari dua hal ini? KM membawa beberapa pembaharuan dalam kehidupan pendidikan di negeri kita tercinta Indonesia. Dan pembaharuan ini merupakan pembaharuan yang positif karena ia menekankan pada penilaian dan pengalaman belajar yang kontekstual, bermakna dan lebih manusiawi.

Cilegon, 6 April 2023 15:29 WIB