Pada edisi sebelumnya, Senin, 10 April 2023, saya menulis esai yang berjudul Yang Menarik dari Kurikulum Merdeka. Dalam esai itu saya menyebutkan dua hal yang menarik dari Kurikulum Merdeka (KM). Pertama, ketiadaan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), nilai standar yang mesti dicapai oleh para siswa pada setiap mata pelajaran yang sebelumnya ada dalam Kurikulum 2013 (K-13). Kedua, keberadaan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), sebuah pembelajaran berbasis projek kontekstual dari sisi sosial, budaya, agama, ekonomi, lingkungan dan sebagainya untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Namun, dalam esai ini saya akan mencoba menuliskan antitesa dari esai saya sebelumnya itu.

Apa saja yang tak menarik dari KM?

Pertama, siswa masih diharuskan untuk mempelajari belasan mata pelajaran yang sangat bisa jadi tidak sesuai dengan minat, bakat atau kemampuan alamiah mereka. Apa jadinya jika seorang yang terlahir dengan kecerdasan kinestetik tinggi diharuskan belajar matematika? Ia yang seharusnya memaksimalkan potensinya menjadi seorang atlet, yang seharusnya belajar di lapangan yang terbuka, diharuskan untuk duduk manis menghafal rumus dan menyelesaikan soal yang penuh angka-angka yang memusingkan kepalanya itu? Hasilnya ialah potensinya tidak berkembang dan ia tetap tidak memahami pelajaran matematika itu.

Bagaimana jika seorang siswa yang terlahir dengan kemampuan seni yang tinggi, yang seharusnya mengekspresikan dirinya sebebas mungkin, diharuskan mempelajari sains di dalam ruangan kelas—meskipun sains itu sangat penting bagi semua orang dan kehidupan ini? Belum lagi jika pelajaran itu dibawakan dengan cara monoton dan konvensional yang bikin bosan para siswa? Hasilnya seperti yang diuraikan pada paragraf sebelumnya: kemampuan alamiahnya tidak berkembang dan pelajaran yang diharuskan dipelajari di sekolah tidak dipahami dengan baik.

Bagaimana jika minat dan bakat siswa diwadahi dalam kegiatan ekstrakurikuler? Ekstrakurikuler adalah baik. Tapi, berapa alokasi waktu untuk ekstrakurikuler? Apakah banyak atau hanya sekadar ada? Sekali dalam sepekan dalam waktu sesingkat-singkatnya? Jika ya, itu hanya menjadi sekadar hiasan dalam kurikulum atau jadwal pelajaran! Bukan untuk mengembangkan!

Dalam seminar-seminar pendidikan kita seringkali mendengar bahwa pemerintah melalui sekolah-sekolah ingin mengembangkan minat dan bakat para siswa; setiap siswa harus diperlakukan secara berbeda sesuai dengan kecerdasan alamiah dan gaya belajar masing-masing. Tapi faktanya, para siswa masih harus mempelajari matapelajaran-matapelajaran yang sama dengan jumlah yang bisa mencapai empat atau bahkan lebih dengan cara yang sama dari pagi sampai sore hari! Bisakah tujuan mengembangkan minat dan bakat para siswa itu tercapai dengan cara mengerikan seperti itu?

Hal kedua yang membuat KM tak menarik ialah penggunaan kata merdeka dalam kurikulum itu sendiri. Apa sebenarnya makna kata merdeka itu, dalam Kurikulum Merdeka? Dalam KBBI Daring, merdeka bermakna (1) bebas (dari perhambaan, penjajahan dan sebagainya); berdiri sendiri; (2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan; dan (3) tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa. Makna merdeka yang manakah yang dimaksudkan dalam Kurikulum Merdeka? Dan bagi siapakah kata meredeka itu: siswa, guru, sekolah, atau pemerintah? Atau bagi pihak lain?

Pasalnya, pertama, sampai detik ini, kurikulum nasional tidak memberi kemerdekaan kepada siswa untuk memilih matapelajaran yang disukainya dengan segudang tugas yang bikin para siswa lemas, bukan kreatif. Karena siswa harus melakukan apa yang diperintahkan, bukan melakukan apa yang mereka inginkan.

Kedua, kurikulum nasional juga belum —atau mungkin tidak?— memberi kemerdekaan bagi guru dari tuntutan-tuntutan administratif yang menumpuk. Belum lagi dengan kegiatan-kegiatan di luar mengajar yang seperti rumput liar yang jika dicabut maka tumbuh lagi tumbuh lagi tiada henti. Ditambah lagi dengan belum adanya kemerdekaan (kesejahteraan) finansial, terutama bagi guru-guru swasta atau non-ASN yang membuat mereka harus mencari sampingan pendapatan di luar mengajar agar bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga fokus mereka terpecah belah antara menghidupkan pendidikan bagi anak bangsa dan menghidupkan keluarga tercinta.

Begitulah. Kurikulum Merdeka masih baru sebatas nama.

Tanah Air, Minggu, 16 April 2023 15:12 WIB