KURUNGBUKA.com – (11/05/2024) Pada suatu masa, para pengarang Indonesia menggubah puisi, cerita pendek, dan novel yang berlatar Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, Mesir, dan lain-lain. Mereka yang menempuh studi, berkunjung, jalan-jalan, atau bekerja di pelbagai kota di negara-negara asing memang berhak menulis teks sastra berlatar sana.

Mereka menulisnya dalam bahasa Indonesia, yang kadang dipublikasikan di Indonesia. Yang membaca adalah orang-orang Indonesia. Yang dibaca mengandung hal yang berbeda gara-gara lokasi-lokasi asing, bukan di Indonesia.

Arswendo Atmowiloto memberi saran: “Demikian juga dalam pemilihan lokasi. Pilihan tempat yang kaukenal betul. Yakini itu. Bagaimana cara mengenali? Jalan terbaik adalah pernah tinggal di tempat tersebut. Jalan kedua adalah dengan menambahi pengetahuan tentang hal itu.”

Kita pernah menjadi pembaca novel-novel masa 1920-an, yang menggunakan lokasi-lokasi di Jawa dan Sumatra. Pada saat sastra subur, kota-kota (besar) menjadi lokasi. Para pengarang berani mengelak dari kota besar mengisahkan hal-hal di desa atau tempat-tempat pinggiran. Lokasi cerita kadang biografis.

Yang teringat, Arswendo Atmowiloto dalam novel berjudul Canting memilih lokasi di Solo. Di novel-novel lain, saat ia bekerja dan pindah di Jakarta, menyuguhkan lokasi-lokasi di Jakarta. Ia malah pernah dengan nama samaran menulis novel berjudul Opera Jakarta.

Pesan penting saat mengisahkan lokasi: “Tetapi yang terpenting adalah melibatkan sikapmu. Penilaian, tanggapan mengenai lokasi.” Orang-orang yang menulis tidak boleh menyepelekan lokasi. Orang-orang yang membaca pun berhak terkesan atau bosan dengan klise tentang lokasi.

(Arswendo Atmowiloto, 1984, Mengarang Novel Itu Gampang, Gramedia)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<