Mungkin ini semacam rasa cemburu atau takut kehilangan yang diam-diam telah mengakar dalam hati Nam.
Dia hanya mampu melihat Bapak dari jauh, dengan si Nyonya, mereka tertawa-tawa di selasar dengan setangkup roti bakar dan kopi pahit yang masih mengepul.
Dia membayangkan, beberapa tahun lalu, dia masih di sana, bersama Ibu, duduk di sebelah Bapak, tertawa-tawa, bercerita apa saja. Tentu juga dengan cangkir-cangkir kopi yang mengepul dan kue-kue buatan Ibu.
Tertegun.
Tidak ada lagi adegan itu di selasar dengan latar bunga-bunga kemuning yang gugur.
*
Nam tidak menyangka, si Nyonya itu ada di sana. Melebarkan jarak antara ia dengan Bapak. Lelaki idealis, perfeksionis dan keras kepala, mudah marah tapi juga mudah tertawa, lebih tepatnya menertawakan orang lain. Bapak yang hanya punya satu sudut pandang kebenaran: apa yang ia pikir benar, maka harus benar dan berlaku pada semua. Termasuk pada hidup Nam yang tak lagi kanak-kanak.
Nam dewasa yang baru menyadari satu hal: rupanya ia sangat mungkin hanya jadi aib, yang membuat Bapak malu seumur hidup. Nam yang mungkin tak pernah direncanakan untuk ada. Untuk melengkapi kebahagiaan dalam bingkai hidup Bapak.
Dan apa yang diberikan Nam selain rasa malu tak tertangguhkan itu? Sepertinya hanya rentetan rasa malu yang lain. Nam tak sukses, tak jadi ASN, tak punya bisnis, bahkan tak punya rencana menyekolahkan anak-anaknya. Mau disimpan di mana muka Bapak, nama baik Bapak, gelar dan jabatan Bapak, saat orang-orang tahu, anak Bapak cuma menghabiskan harinya mengurus anak-anak di rumah?
“Coba cari asisten buat jaga anak-anak. Orang-orang sudah sibuk daftar ASN, tuh. Noh lihat si Fuji, dia sudah jadi manager. Siapa tuh namanya, anak Haji Syahdan? Si Jihan, ya? Dia sudah punya toko di mana-mana. Kamu mau seumur-umur kayak gitu? Dari pagi sampai pagi lagi, di rumah, ngurus anak, cuma nunggu duit dari suami. Kapan mau sukses?” Bapak bersungut. Jelas wajahnya menggambarkan kekecewaan yang besar.
“Memang berapa ribu orang sih yang masih menyepelekan seorang ibu rumah tangga? Memang sepenting apa gelar ASN itu? Sepenting apa? Bapak tahu Fahd Pahdepie? Dia ASN tapi dia memilih berhenti dari gengsi itu untuk mengejar mimpinya yang lain. Bapak tahu Gol A Gong tidak? Beliau tidak pernah lulus kuliah! Tapi sekarang jadi Duta Baca Indonesia! Bapak tahu? Ah! Kenapa Bapak yang berpendidikan tinggi, akademisi, bergelar, tapi masih berpikiran sempit macam itu?” Nam muntah. Dia membayangkan Bapak jengah karena perdebatan itu. Walau kenyataannya, Bapak tambah murka. Haha.
*
Nam sudah kehilangan Bapak. Mungkin ini yang dirasakan Ibu dulu. Saat Ibu memilih hidup bersama Bapak dan mengabaikan larangan ayahnya. Ibu rela tidak diakui sebagai anak demi mencintai dan mengabdikan hidupnya untuk Bapak. Rasanya sakit. Meski jauh lebih sakit melihat jasad Ibu dipendam dalam tanah. Sedikit menjadi hiburan untuk Nam. Berarti, jarak yang menganga dengan Bapak, bukan masalah besar.
Bapak juga sudah bahagia dengan si Nyonya. Perempuan pilihan Ibu sebagai pengganti untuk menjadi teman hidup Bapak, sekaligus pelayan Bapak. Tapi dia tidak pernah menjadi pelayan di rumah besar itu. Dia hanya jadi nyonya. Dia terlalu sibuk dengan urusannya yang dia bilang menguras tenaga, pikiran dan segenap waktunya. Untuk urusan baju kotor Bapak, ada laundry. Urusan makan, tinggal pesan antar. Sisanya, urusan syahwat Bapak, bisa dibereskan malam hari setelah pekerjaan-pekerjaannya selesai.
“Memangnya saya ke sini mau jadi asisten rumah tangga?” Kata si Nyonya dengan muka masam. Dia komplain karena setiap hari harus mencuci, memasak, dan segenap pekerjaan domestik lainnya. Seperti yang dikerjakan Ibu, orang yang perannya sedang dia gantikan. Bapak memang anti asisten-asistenan, bila bisa dikerjakan sendiri, ya kerjakan sendiri.”
“Loh, Bapak bilang…,” Nam belum selesai, tapi Bapak mengangkat telunjuknya ke dekat mulut. Artinya, “Diam kamu! Jangan sembarangan bicara. Kamu tahu apa?”
Sebuah pembelaan bagi sang Nyonya.
Padahal Nam masih ingat betul, Bapak bilang si Nyonya orang yang akan senang hati mengerjakan semua tugas itu.
Nam masih duduk, sembunyi dari pandangan Bapak di selasar. Tertegun. Dia mulai menyalahkan dirinya sendiri atas jarak dan kehilangan ini. Dia pikir, dia cemburu pada orang baru dalam hidup Bapak. Lelaki cinta pertamanya. Cinta yang mungkin bertepuk sebelah tangan. Bapak yang meski pernah dua tiga kali memukulnya waktu kecil, tapi diam-diam ia idolakan. Nam juga selalu menganggap Bapak sebagai pahlawan hidupnya. Sebagai Bapak paling hebat seluruh dunia. Tapi kini tidak lagi. Tidak. Tidak akan pernah.
“Suami kamu itu payah! Kenapa dia nggak mendukung kamu berkarir? Kamu itu pintar, cerdas, punya banyak skill. Memangnya dia punya apa, sih? Nyekolahkan anak aja nggak mampu!” Bapak menghakimi.
“Itu anak-anakmu sudah bisa apa? Mana hasilnya belajar di rumah? Enam tahun baru mau belajar baca. Tuh anak sepupu-sepupu kamu, lima tahun sudah pintar baca tulisnya. Memang apa sih yang kamu ajarin? Baca-baca buku cerita doang?” Tuduhan Bapak semakin menyakitkan bagi Nam.
Nam bukan tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya. Tapi dia memilih menjadi homeschooler. Ah, tahu apa Bapak soal homeschooler. Dan saat tahu, apa Bapak peduli? Yang dia pedulikan hanya gelar sarjana, jabatan, karir, uang! Meski Nam tak menyadari hal ini sebelumnya.
Dan apa tadi Bapak bilang? Suami Nam payah. Ya, ya, ya…. Tak mendukung Nam berkarier. Ya, ya, yaaa… Barangkali Bapak lupa? Siapa yang mengurung Ibu dalam rumah? Membiarkan cita-cita Ibu seperti batang pohon yang berlumut. Seperti ruang tanpa cahaya. Nam tak lagi bisa bicara.
Hatinya telah patah. Ia yakin Bapak telah jauh berubah sejak bersama Nyonya.
“Bapak sekarang berubah!” Cecar Nam saat perasaan itu muncul.
“Apanya yang berubah? Nggak ada yang berubah! Kenapa kamu selalu menyalahkan Bapak?” Sergah Bapak.
*
Oh, ya. Mungkin sebaiknya Nam lupakan saja Bapak. Kehilangan Bapak tak usahlah membuatnya murung atau menangis sepanjang senja di pertengahan Maret ini. Kehilangan Bapak, hanya secuil fragmen hidupnya yang kecil ini. Biarlah Bapak bahagia menjadi dirinya yang sukses, bergelar, dan bermartabat. Bersama perempuan yang selalu dia bilang sebagai pilihan Ibu untuknya.
Demi Ibu di alamnya yang baru. Nam bersumpah untuk tidak bersedih lagi. Karena jarak hatinya dengan Ibu jauh lebih dekat, bahkan sangat dekat. Jarak Nam dengan Bapak seberapa pun jauhnya kini tak lagi ada artinya.