ilustrasi oleh @ibespalogai
Seperti bunga, ia membawa kebahagiaan. Seperti hujan, ia membawa harapan. Dan seperti yang sudah-sudah, perpisahan tetap terjadi dan pria itu seperti tak peduli bahwa tubuhnya penuh luka dan darah mengalir seperti perigi di musim hujan.
***
Aku ingat adegan film Jepang tentang samurai tanpa tuan yang melakukan duel di padang ilalang. Ia baru saja mengiris dada musuhnya dengan katana. Darah mengucur deras dan matahari tenggelam di antara horizon di langit yang jauh. Aku selalu percaya kematian paling aduhai adalah saat memperjuangkan apa yang kamu percayai. Entah jadi bandit, atau pahlawan.
Sawah-sawah yang baru saja kulewati saat jalan kaki mengingatkanku pada latar duel film itu. Ia rimbun, bergerak ditiup angin, dan gesekan batang padi membawa bunyi yang cukup bisa terdengar dari seberang got di antara jalan raya dan sawah.
“Kamu melamun lagi,” katanya.
“Aku ingat Yojimbo. Ia menebas dada musuhnya di tempat yang mirip sawah ini,” kataku.
Kami berdua menggemari Akira Kurosawa, bedanya ia suka film-film noir ala detektif, aku suka semua film samurai. Ia bilang film samurai itu fasis, sangat maskulin, dan tak punya nilai guna untuk peradaban. Sementara film-film noir Kurosawa menawarkan ketegangan, konflik, daya gedor terhadap pikiran, dan alasan-alasan absurd lainnya.
Jika pertama bertemu dengan perempuan itu, kamu akan mengira ia adalah penjaga hutan, atau anggota polisi pamong praja, atau segala yang berkaitan dengan kerja-kerja otot dan maskulin. Perempuan itu berambut pendek sebahu, tubuhnya tinggi, dan tangannya kekar dengan otot yang menggelembung.
Tapi di balik tampilan maskulin itu, ia bersuara demikian teduh. Seperti Krisdayanti saat menyanyikan lagu pop 90an. Ia gemar tersenyum dan membagikan lelucon jelek tentang plesetan yang tidak tepat guna. Pernah satu kali ia bikin lelucon yang membuatku terbahak karena demikian tidak lucunya.
“Satuan apa yang bertugas membungkam ahli yang tidak berguna? Yak benar, pemadam kepakaran,” katanya tertawa sendiri.
Aku ingat sekali dulu saat pertama kami berinteraksi di satu forum jual beli film bekas. Mangga_muda69 adalah nama akun yang ia pakai. Kukira ia adalah bapak-bapak paruh baya mesum yang asal membeli DVD Kurosawa karena cover Stray Dogs yang dikira film semi bokep. Tapi aku salah. Pertengkaran di forum itu membawa kami bertemu dan ia cukup menyenangkan.
Pertemuan kami terjadi di basement Blok M, di kantin di antara tumpukan buku-buku tua. Ia datang dengan menggebrak meja dan memberondong dengan berbagai makian.
“Lo itu Black_kunti ya? Anjing ya, gua kira cewek, ternyata laki. Lo hode ya?”
Aku yang tengah makan mie ayam tersedak dan tak bisa menjawab apa pun. Kuah mie ayam tumpah di jaket Maternal yang kupakai dan setelah orang-orang melihatku dengan tatap nanar iba, aku baru bisa merespon.
“Buset diceramahin moral ama orang yang make akun bernama Mangga_muda69, gila aja nih ya,” kataku menyerang balik.
Awalnya kukira ia akan marah, tapi perempuan itu malah tertawa. Ia aneh. Sangat aneh. Aku tahu banyak cerita orang yang berkelahi karena pertikaian online. Tapi baru sekali ini aku melihat orang yang datang untuk menyelesaikan pertikaian di forum online dengan tertawa. Adegan itu terlalu komikal, mustahil, dan aneh untuk terjadi.
Tapi itu terjadi.
Setelahnya kami berbincang panjang, aku baru sadar ia gemar sekali mengatakan, betul nggak? Seolah-olah butuh diyakinkan. Di pertemuan itu Aku menawarkan koleksi filmku padanya dan menghabiskan waktu bergunjing tentang film-film Hollywood yang menjiplak karya Kurosawa. Setelah pertemuan itu kami bertukar nomor, berjanji untuk bertemu.
Ia bekerja di Bogor dan datang ke Jakarta membutuhkan waktu dan tenaga tersendiri. Itu mengapa pertemuan kami yang intim itu jadi berharga. Kami masih sering bertikai di forum-forum jual beli film bekas. Sembari sesekali cekikikan di wasap menertawakan orang-orang yang sibuk membela aku atau membelanya.
Seminggu lalu aku bilang padanya bahwa akan ke Merbabu untuk mengurus pembelian koleksi VHS seorang mantan diplomat yang baru saja meninggal. Ia menawarkan diri untuk menemani. Perempuan itu bilang punya paman di sekitar Merbabu dan menjanjikanku untuk berkeliling menikmati suasana gunung.
“Ayo, kalau terlalu siang, nasi pecel paling enak di jagat raya akan habis,” katanya berteriak.
Aku mengangkat jempol dan berjalan ke arahnya. Di belakangnya matahari pagi, langit biru, dan peluh di leher dan keningnya terlihat jelas. Ia memakai jaket parka hitam dengan celana pendek dengan spandex ketan di dalamnya. Ia tersenyum sangat lebar dengan barisan gigi putih yang sebagian ditutupi oleh kawat gigi.
Di perjalanan menuju warung nasi itu kami mengendarai carry tua milik pamannya. Mobil keluaran tahun 70 yang hanya bisa dibuka dari luar. Aku percaya mobil ini punya dua nasib. Entah berakhir mogok di satu bukit atau teronggok di bawah jurang karena kecelakaan.
“Selama masih bisa meluncur, rem pakem, gas jalan, tak ada alasan si jago ini mesti dipensiunkan,” katanya bangga.
“Benar. Tapi aku tak sudi mempertaruhkan nyawaku masuk dalam mobil itu dengan tahu bahwa aku bisa saja mati dan masuk berita online dengan tajuk “Dua orang tewas karena mobil rongsokan masuk jurang”,” kataku.
“Haha, tumben kamu cerewet,” katanya.
Ia tertawa dan terus melaju. Perjalanan kami melewati jalan-jalan berkelok dengan pemandangan yang monoton. Sawah, hutan, lalu sawah, hutan, dan sesekali kampung. Di ujung jalan, di antara sawah dan hutan, ada jalan kecil masuk ke dalam kebun bunga. Ia bilang ingin mampir sebentar untuk mengambil sesuatu.
Kami berdua turun, lalu perempuan itu masuk dalam rumah kaca dan bercakap dengan orang yang ada di dalamnya. Aku melihat-lihat kebun bunga warna kuning yang terhampar seperti karpet. Sepertinya aku merenung cukup lama dan diam di satu tempat sampai seseorang menepuk pundakku.
“Itu daffodil. Orang bilang bunga narcissus, ia menyimbolkan, sebentar aku buka google dulu. Oh ia bermakna kebangkitan, kelahiran kembali, harapan, kegembiraan, ketahanan, keberuntungan, kemakmuran, kenangan, dan pengampunan,” katanya.
“Banyak sekali.”
“Iya. Bunga favorit ibuku. Ia dan pamanku lahir di sini. Kebun ini dulu rumah mereka sampai akhirnya kakek pindah ke Bogor,” katanya.
“Oke,” kataku.
“Itu saja?”
“Aku tidak tahu soal bunga. Apa pun itu, bagus sekali, dan aku senang melihat bunga ini,” kataku.
Ia ikut duduk di sebelahku. Ah, sepertinya aku akan gagal makan nasi pecel paling enak di jagat raya. Manusia adalah makhluk dengan rutinitas. Aku tahu dan nyaris selalu tahu kebiasaan kecil yang ia lakukan. Pernah satu hari ia mengambil nafas panjang, berjalan bolak balik dari pintu ke kursi, sebelum akhirnya menelpon customer service untuk mengurus pemblokiran kartu ATM yang hilang.
Ia tak bisa makan seafood, coklat, susu, keju, karena itu bisa membunuhnya. Ia membenci teh dan air putih hangat. Ia tak bisa membaca komik dan hanya membaca buku hardcover terbitan pertama. Perempuan ini akan pusing jika makan sesuatu yang digoreng terlalu banyak. Dan ia hanya minum es teh manis di warung nasi padang. Hanya di situ dan tidak di tempat lain.
Saat ini ia melipat-lipat ujung pakaian yang dikenakan, aku tahu ia akan bicara panjang tentang suatu hal yang penting. Hubungan kami selama ini cukup membuatku yakin bahwa ini tak akan selesai dalam satu dua jam ke depan.
“Aku akan menikah,” katanya.
Aku tahu ia akan menikah. Aku tak tahu kenapa dia seperti menyesali pilihan itu.
“Dia baik, sangat baik malah,” katanya.
“Okay,” jawabku.
“Kamu tidak perlu khawatir. Ia akan menjagaku dan kami akan bahagia,” katanya.
Aku tak merespon. Aku tak ingin membuat suasana jadi lebih kikuk. Ia pernah bilang bahwa pernikahan baginya cuma sekadar momen hidup. Seperti sekolah, belajar berjalan, naik motor, atau mengurus perpanjangan sim. Aktivitas otomatik yang tak punya makna.
“Ini mungkin jadi pertemuan terakhir kita, aku mau kamu mengingatku dengan segala yang baik,” katanya.
Bulan depan perempuan itu akan pindah ke Selandia Baru dan menetap di sana selamanya. Aku ya akan tetap di sini, mengurus film, menjual film, dan mungkin akan mati sendirian. Aku tak pernah menyesali keputusanku ini, aku memilih cara hidup ini karena ia sempurna. Aku tak perlu bertemu banyak orang, aku bisa mendapat uang dari apa yang aku sukai.
“Kamu… Nggak apa, kan?” katanya bertanya.
“Baik kok,” kataku pendek.
Di kepalaku aku sudah siap untuk hidup sendiri. Mati sendiri. Aku pernah membayangkan bahwa mungkin 10–20 tahun lagi, aku akan mati sendirian dalam kamar kontrakan. Entah serangan jantung atau mati tertimpa timbunan DVD film obscure neorealism Itali atau film-film silat Cina dalam format VHS.
Tapi dia datang tiba-tiba dan begitu saja masuk dalam hidupku dengan gegabah. Mata bening dengan kilauan yang terik seperti matahari. Saat ia melotot menatapku dengan kemarahan di Blok M bertahun lalu, aku jatuh cinta padanya. Aku tak bisa membalas, pikiranku kosong, dan aku kehabisan kata-kata. Ia membuatku percaya bahwa barangkali, jika dan hanya jika kamu cukup beruntung, kamu akan bisa menemui orang yang kamu suka dan hidup bersamanya.
Lalu kami berteman, bicara panjang tentang film-film hitam putih, tentang mie ayam, tentang bunga, tentang hidup yang seringkali brengsek, tentang kereta pagi di stasiun bogor, tentang hujan, dan nasi sisa ayam goreng semalam. Ia membuatku jatuh cinta dengan caranya tersenyum. Menggigit bibir bagian bawah dan memukul lawan bicara terdekat saat terbahak-bahak.
Aku mengira ia akan berakhir jadi residu. Ingatan-ingatan lewat yang akan kulupakan. Tapi ia tinggal, ia datang ke kontrakan jelang tengah malam. Membawa sekeranjang gorengan, es teh, dan juga kopi pahit tanpa gula. Perbincangan hingga pagi yang membuatku harus buka toko siang hari. Aku pikir aku menyukainya, tapi aku salah. Aku jatuh cinta padanya.
Ia merdeka. Ia bebas dan tak perlu siapa pun untuk bisa bahagia. Tidak aku, atau laki-laki manapun. Tapi ia memilihku untuk bercerita. Ia memilihku saat menangis ketika kehilangan anjing kesayangannya. Ia datang padaku saat mengeluh tugas-tugas kantor yang membuatnya lembur berhari-hari. Ia bicara padaku tentang makanan kesukaan, parfum favorit, mengapa orang sering salah melafalkan croissant.
Aku tak begitu percaya pada tuhan. Kukira ia adalah sosok egois keras kepala yang sombong dan kekanak-kanakan. Tapi diam-diam aku mulai berdoa setiap aku dan dia berpisah. Bahwa untuk satu kali saja, kami akan bertemu lagi, mungkin untuk terakhir kalinya. Dia dengan segala kebahagiaannya dan aku dengan segala kebisingan di kepala yang tak bisa kuredam dan tak bisa kuutarakan.
Aku ingat fragmen film Yojimbo, samurai itu pergi setelah membantu orang-orang dalam kota itu menang melawan tiran. Ia pergi tanpa pamit, seperti juga ia datang tanpa permisi. Harapan-harapan orang yang ditolong agar Yojimbo tinggal tak pernah dijawab. Barangkali hidup seperti itu dan aku menerimanya. Kita tak bisa mendapat segala hal yang kita inginkan hanya karena ia baik. Hanya karena ia berharga.
***
“Aku ingin kamu tahu, apa yang kita miliki berharga. Dan aku berterima kasih atas segala hal yang telah kamu berikan,” katanya.
Perempuan itu menahan tangis. Ia selalu menangis pada hal-hal yang berharga baginya. Kematian anjing kesayangan, kemenangan Liverpool, dan sekarang perpisahan kami. Aku hanya berharap ia tak perlu menangis. Karena apa yang kita miliki ini memang sementara dan itu tak apa.
“Kamu yang kuat,” kataku.
Seperti bunga, ia tumbuh dan membawa kegembiraan. Seperti bunga, ia hadir dengan keras kepala, melawan matahari dan merayakan hujan. Seperti bunga, ia mencintaiku dan aku mencintainya.