Setiap kali Rhien selesai berzikir, suara rengekan itu terus saja terdengar di dalam lubang telinganya. Tidak hanya sekali, berkali-kali dalam sehari hingga ratusan kali. Seolah suara itu adalah bisikan setan yang mengganggu ibadahnya. Awalnya Rhien tak ingin mengacuhkannya, tetapi ketika suara rengekan itu makin memekakkan telinga, Rhien benar-benar dibuat bingung.
Hari-hari selanjutnya, suara tangisan itu makin keras terdengar. Memekakkan. Seolah gendang telinga Rhien harus dipecahkan oleh suara aneh itu. Berhari-hari pula, dalam waktu yang selanjutnya, Rhien mulai tak konsentrasi dalam mengaji. Dalam hafalan ayat-ayat Ilahi, juga dalam ibadahnya yang lima kali. Hilang semua kenikmatannya dalam sembahyang pada yang kuasa.
Teman-teman Rhien mulai merasakan ada yang aneh di tubuhnya. Rhien yang biasanya periang dan sering bercanda, tetiba sering menyendiri dalam kamar asrama putri. Wajahnya muram, mirip mendung tak jadi hujan. Cahaya matanya menggelap, seolah dalam kepalanya selalu berarak awan-awan kelabu yang siap menurunkan hujan lebat sewaktu-waktu. Dan dalam seminggu ini, Rhien yang biasanya makan banyak, jadi sering muntah. Perutnya seakan tak rela menerima segala makanan dari mulutnya. Hari ke delapan selanjutnya dan seterusnya, Rhien benar-benar tak ingin makan.
Sahabat baik Rhien segera melapor ke istri pimpinan pondok. Tubuh Rhien mulai melemah. Takut-takut Rhien meriang atau tifus. Berita cepat tersebar, wajah Rhien yang biasanya terlihat teduh bak dedaunan beringin, akhir-akhir ini terlihat muram. Bak rembulan padam, wajah itu benar-benar menggelap, tertutup awan-awan hitam. Rhien sebenarnya berharap seseorang datang untuk segera menyingkirkan awan-awan hitam itu. Namun, ia tak tahu harus bercerita kepada siapa.
Rhien malu. Benar-benar malu. Ia akan dicap jelek oleh semua orang dan sahabatnya. Kalaupun ia bisa menjelaskan secara rinci, entah siapa yang mau percaya. Ia hanya mau bercerita pada pemilik semesta, lewat butiran bening yang sering meleleh dari sudut matanya, lewat sujud panjangnya di atas sajadah ungu pemberian mendiang ibunya, lewat kedua tangannya yang gemetar menengadah ke angkasa.
Rhien tahu hanya itu yang bisa ia lakukan, walau sejujurnya rasa gundah gulana, bingung bercampur kepedihan selalu menusuk dadanya. Pikirannya kusut, gelap selalu berkelindan di tempurung kepalanya. Hingga suatu hari, ketika ia kebagian jatah untuk memasak di dapur pondok tempatnya mengaji, ketika melihat pisau dapur, rengekan yang biasa ia dengar di dalam telinganya tetiba menghilang.
Apakah dengan pisau itu segalanya akan jadi selesai? Segalanya akan jadi lebih ringan? Rhien membatin berulang-ulang. Ia diantar ayahnya ke sini dengan harapan kehidupan akhirat yang lebih baik dalam genggamannya. Rhien anak pertama, ia diharapkan bisa mencontohkan kebaikan untuk adik-adik perempuannya. Ayahnya sungguh berharap setelah ia lulus nanti, segala ilmu dan ajaran budi pekerti ia amalkan untuk kemaslahatan sesama. Namun, Rhien merasakan berbeda. Setelah dua tahun ia diajarkan segala ilmu di tempat ini, hari-harinya makin muram. Seolah ia tak sanggup melanjutkan segala cita-cita ayahnya.
Rhien masih ingat, ketika ayahnya melepas dan menitipkannya untuk mencari ilmu di pondok ini, beliau dengan lembut berkata bahwa perempuan baik-baik, dari rahimmnya akan melahirkan benih putra dan putri terbaik.
Sekarang ia ragu, apakah perkataan ayahnya terdengar ambigu. Bisa iya bisa tidak. Ia tak jadi melanjutkan ke SMK demi merelakan kemauan ayahnya. Namun, ia belum bisa menerjemahkan pesan itu secara benar dan nyata. Seolah hal itu hanyalah angan-angan yang belum tentu benar kenyataannya. Lalu, bagaimana jika ayah dari benih di rahim itu seorang bajingan? Apakah rahim itu juga akan melahirkan generasi penerus yang baik? Bagaimana jika cat hitam dan putih tercampur? Bukankah hitam akan lebih punya kendali dan kuasa untuk mengubah warna putih menjadi lebih pekat, gelap, dan segalanya terasa abu-abu? Tak bersih lagi?
Rhien melihat ujung pisau yang berkilatan itu. Gerakan tangannya terhenti. Air masih mengucur dari keran. Sayur kangkung yang belum dipotong masih dalam genggaman. Sejujurnya kepalanya terasa pusing. Ia hampir saja mau pingsan subuh tadi, tetapi demi tanggung jawab, ia paksakan. Pisau itu seolah bekata padanya. Harus berani. Suara rengekan bayi dalam telinganya terdengar lagi. Ketika teman Rhien memanggil namanya dan ia menoleh, suara rengekan itu berhenti.
Rhien diminta menghadap ke istri pemilik pondok. Rhien mengangguk. Dalam langkah gontai, ia masih ingat sembilan puluh tiga langkahnya menuju tempat pemilik pondok yang masih dalam satu kawasan tempat ia belajar dengan halaman tengah berumput hijau super luas dikelilingi tiga gedung bertingkat lima melingkar membentuk huruf U. Ia menuju bangunan utama di tengah dengan desain paling beda. Di sanalah pemilik pondok dan istrinya tinggal.
Namun, ketika berhadapan dengan pemilik pondok dan istrinya, suara bayi dalam telinganya seolah bungkam dalam ketakukan mengikuti suara hatinya yang tetiba bisu. Ia tak bisa menjelaskan secara gamblang ketika ia dihujani pertanyaan-pertanyaan. Kenapa akhir-akhir ini hafalannya menurun? Kenapa Rhien tak serajin dan seceria dulu? Ke mana Rhien yang sering membantu dan mengajarkan pelajaran yang teman-teman Rhien tak bisa? Pertanyaan itu membuat Rhien bingung.
Seharusnya di depan mereka ia bisa bercerita apa yang sebenarnya terjadi, semisal ia diisengi temannya atau ia mengalami perundungan karena Rhien terlahir dari keluarga tak punya. Berbagai pertanyaan Rhien jawab dengan gelengan. Ketika pemilik pondok bertanya lagi apakah ada sangkut pautnya dengan lima adik Rhien yang masih kecil-kecil dan butuh biaya sekolah? Rhien lagi-lagi menggeleng.
“Seandainya pisau ini bisa bicara, ia bisa berkata jujur, Umi.”
Istri pak kiai pemilik pondok yang biasa Rhien panggil Umi hanya bisa menggeleng tak mengerti. Terlebih Abi, pemilik pondok sendiri. Beliau malah bertanya adakah seseorang lelaki yang iseng padanya? Bukankah bangunan santri perempuan dan laki-laki terpisah? Rhien menggeleng. Abi dan Umi ikut menggeleng tak mengerti.
“Rhien hanya butuh kejujuran dari Abi.” Suara Rhien parau terdengar. Gemetar tangannya ketika ia mengacungkan pisau itu di depan wajahnya sendiri. Tiga detik kemudian, ia menyembunyikan pisau itu di balik punggungnya.
Duduknya jadi tak tenang. Wajah Rhien merah padam menahan ketakutan. Raut muka Umi terlihat bingung. Rhien gegas pamit keluar dalam rasa sungkan, malu, sedih, bingung, bercampur pedih. Gerimis menderas, turun dari sudut matanya. Gemetar badannya tak ia pedulikan. Namun, pisau itu terus saja bekata pada Rhien, “Bagus! Kerja bagus Rhien. Kejujuran terasa menyakitkan. Namun, hanya dengannya ketidakadilan bisa dikalahkan.”
Lima menit setelah sampai di asrama putri, Rhien pamit dengan teman-temannya. Rhien dihujani pelukan teman-temannya karena mereka melihat pipi Rhien basah dengan mata merah. Rhien ingin pulang. Walau bukan jadwal libur untuknya, Rhien hanya berkata bahwa ia kangen adik-adiknya. Lalu desas-desus berita tentang Rhien menyebar ke segala penjuru. Rhien telah berhasil menyuarakan kejujurannya, termasuk ke ayahnya. Begitu pedih ayah Rhien mendengar ceritanya.
Bersama polisi, mereka berangkat lagi menuju pondok tempat ia belajar. Meminta keterangan dan keadilan. Sayang, uang selalu bisa punya kuasa segalanya. Lima pengacara dan puluhan polisi telah disiapkan untuk melindungi Abi. Cerita Rhien dan ayahnya dianggap mengada-ada. Karangan. Rhien dianggap depresi karena tekanan belajar.
Ayah Rhien tak punya kuasa apa-apa. Setahun, dua tahun, tiga tahun, laporannya ke polisi tak membuahkan hasil. Pedih memang, tetapi ayah Rhien terus berusaha dan berdoa. Satu keyakinannya bahwa Tuhan selalu bersama orang-orang yang teraniaya. Ayah Rhien masih bahagia karena anaknya berani berkata jujur. Hingga ia beranikan menjual sawah dan ladangnya untuk menyewa pengacara demi mencari keadilan. Sayang seribu sayang, Rhien malah dipanggil untuk sidang dalam kasus percobaan pembunuhan dan perbuatan tidak menyenangkan dengan rekaman CCTV dari pisau dapur yang ia acungkan di dalam ruang tamu pemilik pondok.
Begitulah, lagi-lagi, uang selalu bisa memutarbalikkan segala hal di dunia ini. Apalagi ketika dua orang perwakilan pondok membawa sekoper uang ke rumahnya dan bertemu ayah Rhien untuk berdamai, ayah Rhien dengan tegas menolak. Bagaimana mungkin harapan dan cita-cita anaknya yang pupus hanya dihargai seratus juta. Atas penolakan itu, sidang pun berlanjut.
Maka, ketika Rhien didampingi ayahnya untuk hadir di persidangan dan Rhien berkata jujur dengan menangis, menceritakan semuanya, semua yang hadir seolah tak ada yang percaya. Suara orang miskin memang selalu terdengar lirih, terbawa angin, lelucon belaka. Ketika para pengacara pemilik pondok membacakan di atas kertas berbagai macam pembelaan dan menyudutkan Rhien, suara bayi dalam telinganya kini terdengar merdu lantang.
“Kamu berhasil menyelundupkan pisau pondok ke ruang sidang ini. Kamu lihat bukan lehernya yang kembang kempis menelan ludah itu. Ia sedang berusaha menyembunyikan berbagai hal dengan gerik santai yang dibuat-buat karena ia punya kuasa. Sekarang keputusan ada di tanganmu. Segala pilihan hal di dunia ini memang mengandung risiko. Bukankah ia yang menyuruhmu menggugurkanku? Setelah ini, setelah segalanya selesai aku tak akan menyalahkan pilihanmu. Aku hanya malu jika kau tak berani menyuarakan keberanian, mengutarakan kebenaran. Lakukan sekarang, Rhien!”
*) Image by istockphoto.com