Judul Monolog : Di Tepi Sejarah, Episode 4 : Amir, Akhir Sebuah Syair
Pemain/Aktor : Chicco Jerikho
Produser : Happy Salma dan Yulia Evina Bhara
Sutradara Teater/Penulis Naskah : Iswadi Pratama
Sutradara Visual : Yosep Anggi Neon
Penata Artistik dan cahaya : Iskandar Leodin
Penata Musik : Freza Anhar
Pentata Suara : Imam Maulana
Durasi : 1:11:55
Sebagaimana judulnya, Amir, Akhir Sebuah Syair. Seri monolog Di Tepi Sejarah episode ke-4 yang diaktori oleh Chicco Jerikho ini memotret sisi kelam kehidupan penyair Amir Hamzah yang mungkin tidak banyak diketahui khalayak. Meskipun pemicu pecahnya revolusi sosial di Sumatera Timur yang turut menumbalkan Amir Hamzah sudah ada yang menulis, sebut saja misalnya catatan Wara Sinuhaji, Patologi Sebuah Revolusi : Catatan Anthony Reid tentang Revolusi Sosial di Sumatera Timur Maret 1946, yang dimuat dalam jurnal Historisme Edisi 23/XI/Januari 2007 yang diterbitkan oleh Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra USU. Kehadiran monolog mengenai nestapa sang pujangga Amir Hamzah ini turut merawat ingatan kita tentang sejarah bersimbah darah peristiwa revolusi sosial di masa lalu.
Meletusnya tragedi berdarah revolusi sosial berkat dominasi politik Jepang dan Belanda. Jepang yang membatasi hak-hak kepemilikan perkebunan tembakau para bangsawan dan melakukan eksploitasi besar-besaran memobilisasi para buruh dari pulau jawa untuk dipekerjakan di ladang-ladang perkebunan di Sumatera. Sementara untuk merebutkan kembali hak-haknya dan melanggengkan kepemilikan harta, sebagian besar kaum bangsawan istana rela memilih menjadi boneka dan bekerjasama dengan pihak Belanda.
Wara menegaskan, bahwa masyarakat yang pro pembentukan republik saat itu terpecah menjadi dua kubu. Ada yang kooperatif; menggunakan cara-cara halus dan elegan, ada pula yang radikal; mengedepankan cara-cara kasar, cenderung tak berprikemanusiaan. Nah, yang radikal inilah yang menunggangi dan menyulut amarah rasa ketertindasan kaum buruh untuk menghabisi para bangsawan; yang digeneralisir sebagai kaum feodal antek Belanda yang harus dilenyapkan. Hingga Amir Hamzah yang tak bersalah pun, turut menjadi korban.
Monolog yang dibawakan oleh Chicco Jerikho (CJ) terdiri dari 7 babak. Di babak awal, sebagai penonton kita akan dibuat menahan napas. Sekitar 3 menit kita disuguhkan ekspresi ngungun penuh kemelut tokoh Amir Hamzah yang tengah duduk sambil terseguk di kursi dengan lengkingan backing vokal bernada pilu yang kian mengiris-iris perasaan. CJ berhasil memeragakan sosok Amir Hamzah yang tengah dirundung gulana bak disuguhi buah simalakama.
Bagaimana tidak, saat ia tengah bergairah menikmati fajar baru berjuang demi persatuan dan kesatuan bangsa bersenjatakan pena dan kata-kata bersama Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana, lewat media Poedjangga Baroe; majalah perjuangan yang mereka biayai sendiri. Dengan berat hati Amir harus meninggalkan keduanya; sahabat yang sudah ia anggap seperti urat nadinya sendiri. Juga harus rela berpisah dengan wangi bunga yang dicintainya yakni Ilik Sundari; gadis yang ia jumpai saat studi di Solo. Juga mengabaikan begitu saja tawaran emas Purwo Darminto sahabatnya, yang meminta Amir untuk menggantikannya mengajar Bahasa Indonesia di Jepang. Ia “terpaksa” harus pulang kampung memenuhi permintaan Sultan Langkat yang akan menjodohkannya dengan Kamaliah. Pulang ke Langkat bukan dalam rangka nostalgia; rindu kampung halaman, melainkan balas budi kepada Sultan Mahmud; pamannya yang telah mengurus dan membiayai pendidikan Amir hingga bisa bersekolah di Batavia.
Beberapa tahun paska kepulangan Amir ke Langkat, 3 Maret 1946. Revolusi sosial pun pecah. Massa buruh merangsek menyerbu istana. Satu per satu para bangsawan diburu dan dilenyapkan. Mayat diceritakan bergelimpangan begitu saja di sembarang tempat. Tak terkecuali Amir, ia pun menjadi korban. Ia diculik dari istana berpisah dengan istri dan putrinya Kamaliah dan Tahura. Di tempatkan di ladang sunyi; dipaksa bekerja, tanpa penerangan dan makanan yang cukup. Sebelum akhirnya dieksekusi mati pada 20 Maret 1946 di ladang perkebunan Kwala Bagumit lantaran Amir dianggap sebagai tokoh paling berbahaya yang mesti segera dilenyapkan.
Meskipun hanya monolog yang bicara satu arah, namun apa yang ditampilkan oleh CJ begitu filmis. Kita disuguhkan dengan berbagai karakter tokoh yang berbeda-beda. Dengan piawai, CJ beralih dari satu tokoh ke tokoh lain dengan bantuan properti yang sederhana. Selain memerankan tokoh utama sebagai Amir Hamzah, CJ memerankan seorang buruh yang tengah terbakar amarah membenci dan hendak melenyapkan kaum bangsawan; kaum feodal yang bergelimang kemewahan kontras dengan para buruh yang hanya memiliki lengan dan bahu untuk mendekap penderitaan.
Buruh tersebut terlihat begitu geram dan penuh dendam. Memerankan lelaki tua yang menziarahi pusara Amir, yang memberi kabar kepada Amir bahwa Kamaliah dan Tahura selamat dan baik-baiknya saja. Lelaki tua tersebut pun memuji keteguhan sikap Kamaliah yang begitu khidmat menuruti semua pesan-pesan Amir Hamzah untuk tidak mendendam kepada siapapun. Bahkan dengan tegas Kamaliah menolak menandatangani persetujuan vonis hukuman mati bagi algojo yang telah melenyapkan suaminya.
Serta memerankan Ijang Widjadja sang algojo yang telah melenyapkan Amir, yang menjadi gila karena selalu disiksa dan dihantui rasa bersalah. Ijang mengenang bagaimana ia menemani Amir semenjak kecil; mengantar mengaji ke surau, dan mengajarinya silat. Ijang memuji keluhuran budi Amir yang tak pernah berkata kasar semenjak kecil. Keluhuran budi Amir ia sebut bak bunga tanjung yang mekar di pagi hari. Betapa Ijang teramat menyesali perbuatannya, ia mengaku tak mengerti apa itu revolusi, ia menjadi algojo karena terpaksa, jika tidak ia dan keluarganya yang terancam dibunuh dilenyapkan.
Secara umum, CJ berhasil memerankan secara visual dengan baik skenario yang ditulis sekaligus disutradari oleh Iswadi Pratama. Meskipun di babak 6 dan 7, tanpa sadar CJ terpeleset lidah menarasikan monolog yang kontradiktif. Di babak 6, saat berperan sebagai Ijang yang begitu tersiksa didera rasa bersalah penuh penyesalan, Ijang mengaku tidak tahu kalau yang menerima hantaman parangnya adalah Amir Hamzah murid silat kesayangannya saat kecil. Sementara diujung babak atau babak ke-7, saat kembali berperan sebagai Amir, yang menunggu namanya disebut, saat hendak dieksekusi, dengan jelas Amir berkata dan menyebut nama Ijang saat menitipkan burung mainan terbuat dari daun kelapa untuk diberikan kepada Tahura putrinya sebelum dirinya dipenggal.
Juga di babak awal, saat Amir menyampaikan tidak bisa menolak permintaan Sultan Mahmud untuk pulang karena berhutang jasa kepada Sultan yang telah membesarkannya sedari kecil setelah kedua orangtuanya wafat. Hal ini terlalu mendramatisir, sebab menurut catatan Ensiklopedia Sastra Indonesia yang dirilis oleh laman kemendikbud sendiri, Amir ditinggal wafat oleh ibunya saat usia 20 tahun (1931), disusul 2 tahun kemudian oleh kepulangan ayahnya (1933).
Berbeda dengan pertunjukan monolog konvensional pada umumnya yang panggung pementasan berhadapan secara langsung dengan penonton. Monolog yang ditayangkan gratis dan virtual di kanal indonesiana.tv ini tentu memiliki perbedaan, karena sudah dilengkapi dengan bantuan teknologi digital; kita disuguhkan zoom in dan zoom out yang membuat pertunjukan kian maksimal. Lighting atau pencahayaan, pun pemakaian property cukup elegan, pas tanpa berlebihan. Kita ambil contoh misalnya.
Saat CJ hendak memerankan seorang buruh tembakau, ia cukup mengenakan caping terbuat dari daun pandan dan menyelendangkan sarung (lihat babak ke-2). Saat hendak memvisualkan beratnya penderitaan yang dialami Amir di ladang pengasingan, CJ cukup menyelubungi badannya yang menggigil ketakutan dengan karung goni yang sudah kumal (lihat babak ke-4). Saat memerankan lelaki tua yang menziarahi pusara Amir, CJ mengenakan jas hitam, peci, payung hitam, sarung songket, keranjang parsel berisi bunga (lihat babak ke-5).
Pun secara audio visual, kita dimanjakan dengan lantunan-lantunan musik khas melayu sebagai pengantar suasana. Kidung, suara derap langkah merangsek menyerang menuju istana, teriakan-teriakan geram “Anjing, feodal”, hingga suara-suara batin yang membisiki sitokoh.
Beberapa pesan moral yang bisa kita kecap dari suguhan monolog berdurasi kurang lebih satu jam ini. Pertama, keteguhan dan ketegaran sikap. Bagaimana sosok Amir saat hendak dieksekusi dibisiki suara batin ibunya yang menyatakan agar jangan meneteskan airmata sedikit pun untuk hal-hal yang tak perlu ditangisi. Amir begitu tabah menerima suratan takdir. Kedua, keteladanan sikap Kamaliah, yang alih-alih tersulut dendam ingin melenyapkan algojo yang telah menghabisi nyawa suaminya, justru ia menolak menandatangani persetujuan hukuman mati Ijang. Karena bagi Kamaliah hidup dan mati seseorang merupakan urusan Tuhan. Ketiga, Saat Ijang memeragakan silat, ia memberikan nasehat bagus kepada Amir; hadapi rasa kemarahan dan ingin menyerang dengan tetap tenang, bersandar pada Tuhan. Kedua mata harus tetap jeli berdasarkan pada hati yang bersih. Sikap yang mulai langka di tengah kecamuk zaman yang grasa–grusu ingin serba instan jauh dari kesabaran dan ketenangan.
Monolog ini di tutup dengan penggalan syair Amir Hamzah berjudul Padamu Jua yang begitu indah dan relevan dengan adegan Amir menjelang pelaksanaan eksekusi mati dirinya. Habis kikis/segala cintaku hilang terbang/pulang kembali aku padamu/seperti dahulu/Kaulah kandil kemerlap/pelita jendela di malam gelap/melambai pulang perlahan/sabar, setia, selalu/.
Kehadiran monolog ini bukan saja mengajak kita untuk kembali mengenakan jas merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah), juga bisa menjadi media pembelajaran apresiasi sastra di sekolah. Sekaligus menjadi contoh yang baik bahwa monolog atau pertunjukkan apapun mesti digarap dengan telatan dan maksimal. Wallahu a’lam.