KURUNGBUKA.com – Pada suatu masa, sastra Indonesia itu Rendra. Seribu orang boleh percaya. Sepuluh ribu orang bisa meragu. Seratus ribu orang berhak tidak percaya. Yang terbaca dalam sejarah dan perkembangan sastra di Indonesia, Rendra adalah nama besar dan berpengaruh. Buktinya adalah buku-buku yang dulu diterbitkan Pembangunan dan Pustaka Jaya masih menjadi bacaan yang mengesankan. Para kolektor kadang mencarinya sambil bersin dan meneteskan air mata. Yang dicari adalah edisi lama atau cetakan yang pertama.

Berarti yang diingat dan dicari adalah Rendra masa lalu? Bagi yang tetap ingin mempelajari Rendra dapat menemukan buku-bukunya yang diterbitkan Gramedia, Kepel, Merak, Diva, dan lain-lain. Rendra yang besar di sastra memberi warisan-warisan penting untuk anak dan cucu. Yang mengenalnya pasti menghormati pula kehebatannya dalam teater.

Jadi, sastra Indonesia itu Rendra itu harap dibenarkan meski sementara. Sejak masa 1950-an, ia telah memikat para pengamat dan pembaca sastra. Semua diawalinya di Solo, selanjutnya melakoni hidup di Jogjakarta, Jakarta, Amerika Serikat, dan lain-lain. Ia yang bertumbuh dalam sastra pantas tinggi, besar, dan kokoh. Sastra tidak memadai untuk segala kekuatannya. Maka, teater membuatnya menjadi manusia agung dan kharismatik.

Rendra yang muda adalah lelaki yang tampak tinggi, cakep, dan ceking. Suaranya bikin klepek-klepek. Penampilannya saat membaca puisi membuat tanah bergetar dan langit merinding. Sosok yang meminta sejuta pasang mata. Pengarang yang membuat mata para pembacanya kadang menyala. Lelaki yang memberi lakon asmara bertubi-tubi, yang membuat para penggemarnya bersiul atau maki-maki.

Rendra, manusia yang terbiasa melawan. Ia berani melawan apa saja dan siapa saja. Yang mula-mula dilawanya adalah ayah. Apakah ia menjadi anak yang durhaka? Jawabannya dapat ditemukan dalam artikel dimuat di majalah Intisari edisi April 1986. Konon, sejak usia 5 tahun, ia sudah bentrok dengan ayah gara-gara tuduhan berbohong dan kesungguhannya untuk jujur. Ia memang tercipta untuk melawan sekaligus menawan.

Pada suatu hari, Rendra pernah berbagi cerita masa remajanya kepada Ajip Rosidi seperti dikutip dalam artikel: “… perlakuan dan tekanan dari ayahnya itu merupakan pengalaman terpahit baginya. Yang membuatnya selalu ingin melawan dan memberontak pada dunia.” Kita bayangkan Rendra yang tampak ganteng mengobarkan perlawanan dengan kata-kata dengan gerak raga yang memukau.

Yang penasaran, bacalah lagi puisi-puisinya dalam buku yang berjudul Ballada Orang-Orang Tercinta. Halaman-halaman buku menyajikan beberapa puisi yang sedikit atau banyak menguak masalah ayah. Rendra punya sikap. Rendra berani berargumentasi. Artinya, perlawanan yang dilakukan tidak konyol dan berlumuran dosa.

Rendra yang remaja dan murid SMA melakukan perlawanan yang cukup menggelitik. Di SMA, ia suka pelajaran bahasa Indonesia. Padahal, ayahnya adalah guru bahasa Indonesia. Yang teringat: “Tetapi, setiap ayahnya mengajar, Rendra selalu ogah-ogahan untuk menyimak. Di pangkuannya selalu siap buku bacaan lain.” Yakinlah itu perlawanan yang bermutu. Akhirnya, Rendra terperosok dalam bahasa, yang mengantarnya masuk dalam jagat sastra yang memikat dan mengikatnya sampai embusan nafas yang terakhir.

Kutipan-kutipan biografinya dalam majalah Intisari semestinya digunakan untuk membuat buku tebal seribu halaman. Siapa sanggup menyusun buku biografi Rendra? Yang diinginkan adalah biografi lengkap, bukan beberapa keterangan yang selalu diulang dalam beberapa artikel dan bermunculan di internet. Apakah ongkos pembuatannya ditanggung penerbit atau pemerintah?

“Saya menulis puisi tidak bisa diprogramkan, kapan saja dan bisa di mana saja. dalam situasi di mana saya merasa: kemarin dan esok adalah hari ini, bencana dan keberuntungan sama saja, langit di luar langit di badan bersatu dalam jiwa,” ungkap Rendra. Ia tidak membual tapi hampir berkhotbah.

Pada abad XXI, kita kangen lagi munculnya pengarang yang mirip Rendra. Apakah sudah ada dan ditemukan? Mustahil. Kaum remaja dan muda hari ini sangat sulit memenuhi unsur-unsur yang membentuk Rendra. Zamannya berbeda dan sastra sedang terengah-engah. Maksudnya, kita tidak perlu menanti dan menerima kemunculan Rendra yang “selanjutnya”. Rendra yang pernah dipuja dalam sastra Indonesia mendingan menjadi nostalgia yang menyelamatkan kita dari sastra mutakhir yang memaksa mata tidak selalu menatap kertas.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<