Kompleks penjara Port Arthur dari jauh (Foto:Muhammad Hidayat)

Untuk menutup perjalanan singkat saya ke Tasmania beberapa minggu yang lalu, pilihan jatuh ke Port Arthur. Bagi para pecinta sejarah, pengalaman ini memang tak boleh dilewatkan. Sebab, selain dikenal sebagai kota kecil yang indah di selatan Benua Australia, Tassie, begitu Tasmania akrab disapa oleh pelancong kebanyakan, juga menyimpan sejarah kelam tentang eksistensi manusia dan bangsa.

Hari itu (16/07/2019) saya, istri saya, dan seorang teman berangkat dari Sandy Bay, tempat kami bermalam sekembali dari Launceston. Udara yang merosot hingga lima derajat tak mengacaukan semangat kami untuk mengeksplor Tasmania di hari terakhir kami di sana. Untuk mencapai kompleks penjara pertama di Australia itu, kami akan menghabiskan waktu kurang lebih sembilan puluh menit. Sementara jarak dari Hobart ke Port Arthur itu sendiri sekitar 95 kilometer. Hanya bermodalkan Google Maps, dengan enteng kami diarahkan ke sana. Saya pun mampu mengemudi mobil sewaan dengan penuh percaya diri.  

Terletak di Semenanjung Tasman, sebutan Port Arthur diambil dari nama George Arthur yang saat itu menjadi Letnan Gubernur Van Diemen’s Land tahun 1823. Lalu selain jalur darat yang berkelok-kelok seperti yang kami tempuh pagi itu, untuk sampai ke sana pengunjung bisa juga menaiki kapal pesiar dari Hobart melalui Storm Bay yang elok. 

Tiba di sana kami langsung menuju visitor centre. Tempat semua pengunjung membayar tiket masuk sebesar 40 dolar untuk orang dewasa/umum, atau setara empat ratus ribu rupiah. Anak-anak sebesar 18 dolar, sementara pelajar seperti saya hanya dikenakan biaya sebesar 32 dolar. Jam operasional Port Arthur Historic Site sendiri setiap hari dari pukul sembilan pagi hingga lima sore. Di situ juga kami disuguhi informasi singkat tentang lokasi-lokasi yang wajib dikunjungi. Berhubung kami hanya punya waktu kurang dari dua jam, maka 25 minute Harbour Cruise langsung jadi pilihan.

Dari atas kapal kami diajak melihat lebih dekat dua tempat yang terkenal dengan sebutan Point Puer Boys’ Prison dan the Isle of the Dead, lokasinya berdekatan. Sembari mengaktifkan indera penglihatan, telinga juga kami pasang baik-baik untuk menangkap seluruh informasi yang disampaikan oleh seorang tour guide. Point Puer dulunya merupakan penjara terpisah pertama pemerintah kerajaan Inggris untuk anak laki-laki. Kurang lebih tiga ribu tawanan pernah dibuang di sini termasuk anak-anak usia 9 hingga 16 tahun.

Kemudian di sebelahnya terdapat pulau kecil lainnya – the Isle of the Dead – yang menjadi tempat kuburan masal lebih dari seribu orang di Port Arthur saat itu. Mereka ialah narapidana, pegawai penjara, tentara, wanita hingga anak kecil. Pulau itu menyimpan cerita kelam tentang hidup dan mati manusia, antara tahun 1833 sampai 1877. Di bagian selatan pulau itu terdapat kuburan para narapidana tanpa nama. Sedangkan di dataran yang lebih tinggi di sebelah utara merupakan kuburan para tentara yang ditandai dengan batu-batu nisan. Akan tetapi, setelah tahun 1850, kuburan para narapidana tadi diperbaiki dan akhirnya diberi tanda (headstones). Terkadang hadir kesedihan dalam hati kami saat mendengar penuturan tour guide itu. Bagaimana narapidana-narapidana dari Inggris itu dibuang jauh melintasi benua dan samudera, tentara-tentara yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengawal penjara, berikut anak dan istri yang mengikutinya ke ujung paling selatan bumi ini.     

The Isle of the Dead (Foto: Muhammad Hidayat)

Turun dari kapal, kami mempercepat langkah menuju The Penitentiary. Dari segi lokasi, penjara inilah yang paling mencolok dan langsung menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung. Dalam bangunan empat lantai yang merupakan susunan bata merah dan batu-batu besar itu, terdapat 136 sel yang mengisi lantai satu dan duanya. Lantai tiga merupakan ruangan makan malam yang juga berfungsi sebagai ruang sekolah malam hari. Sedangkan lantai paling atas merupakan asrama untuk 348 tahanan yang dianggap sudah berkarakter lebih baik. Sebelum dialihfungsikan menjadi penjara yang menampung narapidana mulai tahun 1857, sejak beroperasi tahun 1854, bangunan yang dibuat tahun 1845 ini merupakan pabrik penggilingan tepung dan lumbung yang berdiri persis di pinggir dermaga. Sayangnya kami tak menemukan alasan di balik dirubahnya fungsi bangunan itu.    

Bangunan The Penitentiary tampak dari depan (Foto: Muhammad Hidayat)

Di atas lahan seluas 40 hektar itu berdiri lebih dari 30 bangunan bersejarah, termasuk di dalamnya lembaga pemasyarakatan, Convict Church dan Guard Tower, Asylum dan Separate Prison, Government Cottage, The Police Station, Commandant’s House dan lain-lain. Lagi-lagi soal waktu, kami tak kuasa mengeksplor keseluruhan cerita kelam yang disimpan oleh bangunan-bangunan itu.  

Bagian dalam dari The Penitentiary. Kondisi sel yang sempit/selebar badan manusia, menyedihkan. (Foto: Muhammad Hidayat)

Dari penjara itu kami berpindah ke The Asylum and Separate Prison. Bangunan yang berada di belakang The Penitentiary ini dibangun tahun 1868 untuk menampung sekitar seratus orang pasien yang mengalami gangguan mental akibat tekanan situasi dan kondisi saat itu. Setelah sempat dihancurkan tahun 1895, The Asylum dibangun kembali dan sekarang menjadi museum dan kafe. Di situ kami bisa menyaksikan bagaimana suasana persidangan hingga dakwaan untuk para narapidana dijatuhkan. Sungguh miris karena beberapa kesalahan tidak sebanding dengan beratnya hukuman yang harus mereka terima.

Separate Prison tampak dari dalam. Sepi dan sunyi. (Foto:Muhammad Hidayat)

Lokasi penjara terpisah juga berada satu bangunan dengan rumah sakit jiwa tersebut. Bermacam-macam motif telah melatarbelakangi alasan mengapa sejumlah narapidana di tempatkan di sini. Antara lain mencuri. Alhasil, kondisi yang baru membuat mereka lebih tertekan lagi karena beban psikologis yang berat. Tiap hari mereka dilarang berbicara satu sama lain. Tujuannya agar dalam suasana yang hening tersebut mereka bisa membuat semacam refleksi/introspeksi diri atas kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Akan tetapi, kondisi seperti itu justru memperparah kejiwaan mereka. Banyak yang akhirnya sakit jiwa lalu mati.     

Separate Prison sengaja di-design untuk menerapkan sistem hukuman baru, yakni mereformasi para narapidana dengan cara isolasi dan kontemplasi. Mereka dikunci selama 23 jam sehari dalam satu sel tunggal. Mereka bisa gunakan untuk makan, tidur, dan bekerja. Sisa satu jam bisa mereka gunakan untuk olahraga sendirian di halaman berdinding tinggi.  

Waktu terus memburu kami. Selanjutnya kami berpindah lagi ke The Church, sebuah gereja yang dibangun oleh narapidana kala itu. Setiap hari minggu lebih dari seribu orang beribadah di sini, baik itu narapidana maupun masyarakat umum. Peristiwa kebakaran tahun 1884 membuat gereja ini mengalami sejumlah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Hingga kini berubah menjadi objek wisata bagi siapapun yang ingin belajar tentang warna-warni masa lalu. Menurut informasi yang kami peroleh, penjara Port Arthur ditutup tahun 1877.

The Church (Foto: Muhammad Hidayat)

Tak lama kemudian kami langsung kembali ke mobil. Saatnya bagi kami merapat ke Hobart airport karena siang itu juga kami akan terbang ke Adelaide.