Di Terminal Mena, Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Ternggara Timur, aku terkesima. Lagu daerah yang diputar full volume dari sebuah ottotruk yang memasuki Terminal Mena dan senyuman hangat dengan gigi dan bibir berwarna orange dari mama-mama yang sudah duduk di ottotruk, sesaat berhasil membuatku ternganga. Wah keren, aku berbisik. Sebelum aku bertanya, Bapa Paul salah satu petugas terminal, langsung memberitahuku bahwa ottotruk itulah yang akan membawaku ke Denge, desa terakhir sebelum nanjak Wae Rebo. Aku dan beberapa masyarakat lokal langsung mengerumuni dan memanjat ottotruk satu persatu. Dua orang masyarakat lokal yang melihatku kesusahaan naik ke ottotruk karena tubuhku yang kelewat pendek, segera membantu mengangkat ransel dan plastik makananku, sebagian lagi ada yang mendorong tubuhku agar aku lebih mudah memanjat ottotruk.
Jelas ini pengalaman pertama yang membuatku berdebar-debar. Ottotruk yang asal mulanya adalah truk biasa ini, kini diubah menjadi papan-papan tempat duduk untuk para penumpang. Semuanya terdiri dari enam baris. Barisan paling depan adalah barisan paling menyiksa, karena tepat berada di bawah dua salon besar. Tentu saja ottotruk ini tidak hanya membawa orang, tepat di bawah kakiku ada dua ayam kampung dengan kakinya yang diikat dan satu anak babi yang pasrah, dan aku harus tahu diri, sepanjang perjalanan aku harus berbagi kenyamanan dengan ayam dan babi itu.
Sebelumnya aku tak pernah membayangkan bisa menikmati jenis transportasi seperti ini: ottotruk dengan musik full volume plus lagu-lagu dari berbagai genre yang diputar sepanjang lima jam perjalanan menuju Denge. Menembus jalanan yang sempit dan rusak, jurang-jurang dengan kedalaman yang membuat jantungan, menerobos sungai, dan persawahan yang maha luas. Jangan bayangkan musik itu akan berhenti atau mati mendadak, si supir sudah menyiapkan berbagai alat cadangan agar perjalanan ini tetap meriah dengan dentuman musik yang mirip musik konser di Alun-Alun Kota Serang. Saking kerasnya dentuman musik itu, setiap melewati perkapungan, orang-orang terutama anak-anak akan segera keluar rumah dan berlarian kepinggir jalan, ada yang menonton ada juga yang bergoyang dengan bertelanjang dada, meski telingaku mendadak tuli, aku tetap tak bisa menyembunyikan tawaku setiap kali melihat pemandangan itu.
Sadar aku seorang wisatawan, para bapa yang menggunakan udeng bergaris coklat dan sarung hitam lusuh dan para mama menggunakan pakaian adat lokal berwarna hitam, langsung menanyaiku hendak menginap di mana. Aku tak langsung menjawab. Sebaliknya aku malah memperkenalkan diriku sebagai pejalan yang hendak bersilaturahmi ke desa mereka, aku meminta mereka untuk menerimaku dan mengajariku beberapa bahasa lokal, sungguh tak dinyana, perkenalan singkat itu ternyata membawaku pada banyak keberuntungan. Keberuntungan yang meletupkan sebuah kata di benakku. Sayang. Satu kata yang mewakili perasaanku saat aku bersitatap dengan masyarakat Wae Rebo beberapa menit lalu. Yah, perjalanaku ke Wae Rebo adalah sebuah perjalanan yang mempertemukan kasih sayang antar manusia yang sudah lama tak kutemukan sepanjang hidupku.
***
Kalau kamu bertanya, daerah mana yang ingin aku singgahi berkali-kali. Jawabannya adalah Wae Rebo. Bukan, bukan karena keindahan alamnya yang sudah mendapat pengakuan dari UNESCO saja. Tapi, karena aku ingin menikmati hal-hal sederhana seperti hari ini. Aku melewatkan pagi yang berkabut di Wae Rebo ditemani secangkir kopi dan sepiring ubi rebus bersama Bapa Rafael. Aku merasa ini adalah pagi terpuitis yang pernah aku rasakan. Kabut-kabut yang menutupi pegunungan yang mengitari Mbaru Niang yaitu tujuh bangunan rumah kerucut yang atapnya terbuat dari daun ilalang, seperti tengah bersenandung tentang simponi alam yang syahdu. Dari ketinggian tempatku duduk, aku tercenung, alangkah istimewanya alam dan penghuni Wae Rebo ini, semua seolah sepakat memperlakukan aku dan beberapa wisatawan dengan sangat baik.
Kemarin sore, saat pertama kali datang, aku dan beberapa wisatawan mengikuti upacara adat Wae Lu’u sebagai sambutan untuk pada para tamu di rumah utama, kami dilarang melakukan aktivitas apa pun sebelum melewati upacara adat atau pengucapan doa oleh kepala adat dalam bahasa lokal. Sebuah doa berupa permohonan izin kepada para leluhur agar kami diterima saat berada di tempat ini. Dalam upacara ini, setiap wisatawan wajib menggunakan sarung yang sudah disediakan warga dan uang dua puluh ribu sebagai sesaji dan prasyarat dari upacara adat tersebut. Baru setelah upacara adat itu selesai, kami diantar ke salah satu rumah kerucut yang menjadi tempat menginap para wisatawan. Dan untuk pertama kalinya, aku terpana dengan penginapan yang unik seperti ini; Satu ruangan melingkar luas, dengan matras serta selimut dan bantal yang tersusun rapih. Wisatawan dari kelompok manapun akan tidur dalam satu ruangan yang mampu menampung 30-35 orang ini. Malam harinya saat wisatawan lain saling bercengkerama, aku memutuskan bersilaturahmi ke enam rumah kerucut yang di salah satunya aku melihat para mama yang tengah bergotong-royong memasak untuk kami. Menunya berupa sayur labu, tempe goreng, telur dadar dan sambal hijau. Menu lokal yang menjadi pemersatu para wisatawan dalam maupun luar negeri. Sebenarnya Wae Rebo tidak hanya memiliki tujuh rumah saja. Di sekelilingnya, masih ada beberapa rumah dengan bangunan biasa yang jika kita singgah ke rumah-rumah tersebut si pemilik rumah akan menyambut kita dengan hangat.
Sewaktu matahari mulai meninggi dan menyebarkan hawa hangat ke sekujur tubuh, saat obrolanku dengan Bapa Rafael sampai pada pendidikan anak-anak Wae Rebo, saat itulah aku melihat wajah Bapa Rafael tiba-tiba serius, “Kami tidak menutup diri dari pendidikan seperti yang banyak orang luar pikirkan, anak-anak jika sudah waktunya mereka sekolah, akan kami masukkan ke sekolah. Tak ada alasan bagi kami untuk melarang mereka mengeyam pendidikan,” ucap Bapa Rafael dengan aksen lokal yang tegas, membuatku semakin kagum. Bagiku desa tradisional ini adalah wujud desa tradisional yang sempurna. Di sini aku melihat perpaduan adat, budaya yang tidak berbenturan dengan segala hal yang berbau modernitas. Sarana dan prasarana yang ada seperti listrik, taman baca, dan pustu adalah sebagai penunjang kebutuhan wisatawan, sisanya untuk kebutuhan mereka sendiri, mereka pasrahkan pada alam sebagai sumber kehidupan. Sementara untuk fasilitas berupa sekolah, anak-anak Wae Rebo yang sudah mencapai usia sekolah, akan menginap di asrama sekolah di Kombo kampung pemekaran dari Waerebo.
Di sisi lain, buatku pribadi inilah yang kusebut keberuntungan. Sejak naik ottotruk dari Ruteng hingga bisa menginap di Wae Rebo, aku tak mengeluarkan uang sepeserpun sebagaimana wisatawan lain. Jika mengikuti administrasi yang wajib ditaati, setiap wisatawan akan dikenakan biaya Rp. 600.000,- untuk menikmati kawasan Wae Rebo, biaya itu meliputi tips guide, menginap di rumah kerucut dan makan, estimasi ini belum termasuk biaya transportasi. Selain keberuntungan, aku jelas tak tahu apa pun mengapa aku mendapatkan perlakuan istimewa seperti ini. Tapi satu hal yang bisa kupastikan; tulus dalam bersikap adalah kunci dari segala keberuntungan. Percayalah, pergi ke tempat seeksotis apa pun, tidak ada yang lebih mempesona dari kehangatan, keramahan dan penerimaan dari manusianya seperti yang kurasakan ini. Kata Pak Martinus seorang warga yang tiba-tiba membayari ongkos ottotruk untukku mengatakan, sejak dulu kami terbiasa menerima tamu istimewa-istimewa di sini adalah mereka yang dianggap lebih dari sekadar wisatawan. Satu hari tidak ada tamu istimewa, satu hari juga kami merasa aneh dan gelisah. Aku sendiri, diperlakukan seperti seorang anak yang telah lama tidak pulang kampung oleh Bapa Rafael dan istri. Di sini aku makan dengan menu yang istimewa karena proses membeli bahannya yang harus melewati hutan lebat dan jalur yang sempit serta memakan waktu 3 jam, aku juga mandi dengan air hangat, dan mendapat hadiah satu kain tenun buatan mama Rafael. Aku betul-betul sangat disayangi bahkan sampai tak diizinkan melanjutkan perjalanan jika aku tidak menerima bekal berupa uang dari mereka.
Sungguh, kemewahan dan pesona seperti inilah yang membuatku ingin kembali ke Wae Rebo. Aku ingin belajar bagaimana menjadi ramah dan membagi kehangatan, aku juga ingin menetap dalam waktu yang lama agar aku bisa ikut memetik kopi, aku ingin merasakan bagaimana rasanya main sepak bola di bawah hujan bersama anak-anak, dan ikut menenun bersama para mama sambil belajar bahasa daerah. Satu keinginan muluk yang entah kapan bisa kunikmati, namun kuyakini aku akan segera kembali ke sini.
Keren, so inspire Ye,
Seperti melihat langsung perjalananmu di sana 👍👍😊😊
Perjalanan dan tempat baru mengajarkan begitu banyak hal, bahkan tak jarang ‘melahirkan’ diri yang baru. Sehat selalu Teh Yehan. Hehe