Malam itu Adelaide cukup sejuk. Saya suka. Adelaide, minimal menurut saya pribadi, sama sekali tak sedingin negara bagian lainnya yang ada di benua Australia. Tapi bagi orang Indonesia kebanyakan yang biasa hidup di cuaca tropis, dingin seperti ini tetap saja menyuguhkan cobaannya sendiri. Terlebih saya yang alergi udara dingin, hiks.
Saya suka kota ini sejak awal. Adelaide mungkin tak semetropolis Melbourne atau Sydney. Tapi, kemajuannya sangat bisa dinikmati. Orang-orang hidup di bawah bayang-bayang regulasi. Seluruh sendi kehidupan punya aturan main. Aturan-aturan yang dengan sendirinya membentuk karakter masyarakatnya. Dan selama hidup di Adelaide, saya berusaha mengikuti seluruh aturan yang ada, meskipun di tengah usaha sadar itu, saya juga pernah kena sial.
Mari saya ceritakan satu kejadian. Waktu itu Kamis malam ketika saya pulang dari masjid Omar Bin Al-Khattab yang ada di Marion Road, Park Holme.
Posisi saya sedang mengendarai mobil ketika suara sirene aparat kepolisian setempat menggema dari belakang. Saya perhatikan dari kaca spion dengan perasaan was-was. “Hmm, kena nih,” gumam saya. Cepat-cepat saya mampu membaca keadaan. Toyota Camry, yang merupakan warisan seorang teman, saya giring ke pinggir jalan. Saya berhenti.
Untuk diketahui, di Adelaide polisi jarang tampak di jalanan. Dan serunya lagi, mereka dengan cepat muncul jika terjadi apa-apa di jalanan. Kecelakaan, pelanggaran, dan seterusnya.
Seorang lelaki tua berseragam menghampiri saya yang baru saja keluar dari mobil. Saya agak panik. Dia menyapa saya dengan sopan. Sejurus kemudian saya menjelaskan posisi saya tadi tapi percuma. Dalam hati saya masih merasa tak bersalah. Untuk itu saya berharap ada kebijaksanaan yang turun malam itu. Sekarang giliran dia yang berkata-kata yang intinya saya telah melakukan kesalahan.
Sejujurnya saya tak bermaksud menerobos lampu merah. Tadi saya berada pada situasi yang sedikit membingungkan. Lampu kuning baru saja menyala dan kalau saya berhenti rasanya tanggung. Posisi mobil sudah di bibir perempatan jalan. Dengan gesit saya putuskan untuk jalan terus. Dan rupanya keputusan itu keliru. Sebuah lampu flash dari kamera elektronik menangkap gerak laju mobil yang saya kendarai.
Lelaki tua itu mengajukan pertanyaan untuk memperoleh identitas saya. Saya pun mengambil sikap kooperatif sembari menyerahkan semuanya tanpa perlawanan sedikit pun. Dia kemudian menginput data saya di sebuah alat mirip komputer yang bersatu padu dengan dashboard mobilnya. Dari alat itulah keluar laporan yang seketika membuat saya juga terkejut. Betapa tidak, beberapa data pribadi saya ada di situ. Sebut saja nama, email, alamat rumah, alamat di Indonesia juga, asuransi yang saya pakai hingga jenis kendaraan. Canggih amat, ya.
Sekali lagi saya memilih kooperatif dan menerima keadaan. Tak lama berselang, saya telah mengantongi surat tilang. Ukurannya mirip struk ATM. Sungguh praktis. Bukan yang berlembar-lembar.
Sampai hari ini saya masih berpikir bahwa bagusnya sistim informasi yang mereka punya membuat semuanya serba mudah. Efisien. Dan yang terpenting yakni menghadirkan ruang logis dan rasional. Masyarakat juga tak terlalu direpotkan. Saya diberi jangka waktu untuk melunasi denda yang telah ditetapkan. Kalau saya tidak salah ingat, kurang lebih lima jutaan. Proses bayarnya pun bisa dari rumah melalui internet banking jika tak sempat ke kantor yang telah mereka tunjuk.
Ternyata tak berhenti di situ, polisi itu memberi saya sesuatu. Saya perhatikan semacam pipa kecil. Itu adalah alat penguji kandungan alkohol dalam darah. Selanjutnya saya diminta untuk meniup pipa kecil yang telah disambungkan dengan semacam alat pengukur gitu. Barangkali tiupan saya pelan, lelaki itu menyuruh saya mengambil nafas dalam-dalam lalu meniup sekuat-kuatnya. Saya coba lagi untuk kesekian kalinya hingga dia memberi komando untuk berhenti.
Belakangan saya tahu bahwa dari udara yang ditiupkan ke alat penguji itu, mereka jadi tahu kandungan alkohol dalam darah kita. Terkadang juga harus berkali-kali meniup alat itu hingga benar-benar tercapai hasil yang akurat. Jika tak ada maka urusan tuntas di situ dan pengemudi bisa dipersilakan pergi.
Saya akhirnya diketahui tak bersinggungan dengan alkohol. PASTINYA!
“Yang benar ajalah, saya kan baru balik dari masjid,” ucap saya dalam hati. Tapi kalaupun ada alkohol, itu tak boleh melewati batas legal dalam aturan mereka. Lambat laun saya merasa cukup tenang. Saya percaya nasihat bahwa kondisi keimanan, hati dan sikap mental di dalam diri punya peran yang lebih penting menghadapi apapun yang sedang terjadi di luar.
Di Adelaide, atau di Australia secara umum, pemerintah sangat ketat pada urusan penertiban warga dalam berkendaraan. Seorang teman bercerita bahwa jika pelanggaran lalu lintas dilakukan berulang kali, maka orang itu bisa-bisa dilarang mengendarai kendaraan seumur hidup. Seumur hidup tak diperkenankan untuk punya SIM. Kalau soal bayar denda mungkin okelah, tinggal dibayar saja, tapi kalau sudah sampai dilarang berkendaraan, itu bisa bikin pusing selamanya. Ibarat kata kebebasannya dicabut.
Setelah semuanya beres, kami berpisah secara baik-baik. Saya respek pada petugas yang telah memperlakukan saya secara professional. Saya langsung pelan-pelan menjauh darinya dan bergabung dengan pengguna jalan lainnya di atas jalanan yang mulai sepi. Keesokan harinya, kata-kata bijak seorang filosof Yunani, Epictetus, menyambar pikiran saya. It’s not what happened to you, but how you react to it that matters.
Hari-hari berikutnya saya lebih mawas diri. Sejumlah aturan selama mengemudi saya jalankan dengan serius. Jalan-jalan di Adelaide secara tak langsung menuntun kita untuk jadi pribadi yang fokus. Kecepatan tak boleh melebihi atau kurang dari yang telah ditentukan, lampu merah wajib ditaati, perhatikan signs jika ingin parkir atau berhenti di sembarang tempat. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Di Kota ini, rupa-rupa aturan telah jadi semacam konduktor yang mengorkestrasi warga negara agar tertib di semua lini kehidupan. Mereka memegang utuh prinsip aturan dibuat untuk menertibkan, bukan untuk membatasi. Atau kalau mau agak ekstrim, untuk dilanggar. Saya percaya bahwa keteraturan hidup bisa dimulai dari kesadaran bersama agar taat pada aturan yang sifatnya tahu sama tahu. Kata orang Indonesia, disiplin sosial.