Sebagaimana kemarau tahun lalu, kobaran api kembali melalap lebat semak dan banjar ilalang di tanah itu. Asapnya hitam pekat, bergulung-gulung ke udara, terus meninggi, sulit dihalau angin hingga tampak bagai ekor tikus raksasa yang melancip ke langit. Meski api terus berkobar, nyaris tak ada warga yang peduli. Semua seolah telah memaklumi bahwa api itu setiap tahun memang dikirim Tuhan untuk mencukur tumbuhan yang merimba, karena tanah itu tak ada yang punya. Sebagaimana ketika tiba musim hujan; banyak burung dan kelelawar beterbangan di sekitar pohon kesambi yang ada di lahan itu, seolah utusan dari langit untuk menabur biji melalui tahi yang dicipratkan hingga kemudian tumbuh jadi aneka macam tumbuhan.
“Ayo, Bu! ambil air. Biar aku yang menyiramkannya,” pinta Obak Kardi kepada istrinya.
“Biarkan saja, Pak. Biar lahan itu tak seperti rimba,” sahut Marni istrinya.
“Kamu ini bagaimana, Bu? Mestinya lahan itu kita selamatkan.”
“Kan, tidak ada yang punya juga.”
“Kan, apinya bisa merembet jika tidak dipadamkan.”
“Biar ular dan segala macam binatang bahaya yang ada di semak-semak itu mati.”
“Huh!”
Cek-cok sepasang suami-istri baru reda saat Obak Kardi bergegas pergi dan mengajak Bi Muna untuk memadamkan api. Demikian yang terjadi; setiap api itu menjalarhanguskan tanah itu, hanya Obak Kardi dan Bi Muna yang giat menyiramkan air hingga padam. Kedunya silih ganti lari-lari kecil antara lahan dan sumur terdekat untuk mengambil air ke dalam ember karet, lalu disiramkan dengan sabar, dan api itu baru padam saat keduanya bercucur keringat.
Obak Kadir tersenyum sambil mengedipkan mata kepada Bi Muna, dan Bi Muna melakukan hal yang sama.
***
Sebidang tanah yang bersisian dengan tapal batas desa itu tidak ada yang punya. Itulah sebabnya orang-orang menyebutnya tanah Ihi. Karena tak ada yang punya, tanah itu tidak terawat. Ditumbuhi aneka macam tumbuhan hingga rimbun dan tampak angker.
Dari tahun ke tahun, tanah itu selalu menghadirkan beragam kesan bagi banyak orang; kadang mengejutkan, menakutkan, membingungkan, tapi juga kadang membuat orang-orang tertawa lucu.
Konon kabarnya, tanah itu merupakan tempat eksekuti mati para pekerja Romusha yang melanggar. Ada yang bilang tempat latihan tentara Belanda, ada yang berkisah tanah itu dulu merupakan tempat penjajah menanam ganja, ada juga yang bilang tanah itu dulu tempat penyimpanan senjata dan barang berharga sebuah kerajaan.
Semua orang bebas mau percaya pada kisah yang mana saja, bahkan sebagian malah tidak percaya sama sekali. Tapi satu hal yang membuat tanah itu unik—selain tidak ada tuannya dan hanya ditumbuhi semak—, tanah itu tak bisa dilukai. Ada beratus linggis yang patah saat digunakan untuk menggali. Sudah ratusan cangkul juga mengalami hal yang sama. Seiring pesatnya teknologi, traktor dan alat berat pun tetap tak ada yang mampu untuk sekadar membuat goresan di tanah itu.
Sebagian orang—terutama kaum tua yang percaya hal mistik—selalu mengantarkan sesajen ke sana. Sebaliknya, kaum muda yang tidak percaya hal mistis balik menjadi penikmat sesajen itu hingga kenyang. Di antara yang percaya mistis dan yang tidak, Obak Kardi adalah orang selalu punya urusan dengan tanah itu, seolah ia sang pemilik yang kerap jadi penggagas utama untuk memperlakukan tanah itu; mau dibiarkan gambut, mau dipasangi penerang, mau diberi pagar, dan lainnya.
Nyaris tak ada warga yang mau diajak Obak Kardi mengurus tanah itu karena alasan sederhana; tanah itu memang begitu adanya dan tak perlu diurus lagi karena memang tak ada yang punya. Dalam waktu-waktu tertentu, hanya Bi Muna yang mau diajak jika Obak Kardi punya keperluan seperti hendak menebang pohon, memasang pagar, atau kerja lain yang berhubungan dengan tanah tersebut.
Meski tanah itu kerap diurus Obak Kardi dan Bi Muna, tapi tanah itu tetap tidak produktif dan malah sebaliknya semakin hari semakin tampak belukar. Urusan Obak Kardi dan Bi Muna sebatas memasang pagar dan menebang pohon di bagian tertentu. Semakin hari keduanya malah terlihat aneh memperlakukan tanah itu; setiap warga dilarang menaruh sesajen, batu umpak yang biasa jadi tempat sesajen dihancurkan, lampu penerang dilepas, dan pintu pagar diberi palang kayu hingga akses ke dalam jadi tertutup.
“Tanah ini memang tidak berarti bagi semua warga. Tapi bagi kita, lahan ini adalah separuh istana,” ungkap Bi Muna kepada Obak Kardi seraya mengedipkan mata dan tersenyum. Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Obak Kardi. Ia hanya melakukan hal yang sama; balik tersenyum dan mengedipkan mata.
***
Beberapa hari menjelang ramadan, banyak warga yang meminta kepala desa untuk membakar tanah yang sudah mirip hutan di tengah desa. Ada yang dengan alasan karena dilarang menaruh sesajen, ada dengan alasan karena tak elok dipandang, ada yang beralasan karena tanah itu kerap menjadi sarang binatang buas yang membahayakan, ada yang bilang karena di area itu mulai dihuni hantu dan makhluk halus, dan beragam alasan lain yang hampir setiap hari masuk ke telinga kepala desa.
Di tengah banjirnya permintaan warga untuk membakar area itu, suatu pagi kepala desa juga kedatangan Obak Kardi, yang sebaliknya meminta kepala desa agar menolak permintaan warga.
“Area itu merupakan tanah Ihi. Sejak berabad-abad yang lalu sudah ada dengan ciri khasnya yang dipenuhi semak dan tumbuhan lain. Maka mohon Bapak jangan menerima permintaan warga yang ingin membakar semak-semak itu. Jika itu terjadi, saya khawatir desa ini kena bala dan tulah. Biarkan area itu tetap jadi hutan kecil dengan segala kerimbunannya,” ungkap Obak Kardi sambil menunduk dengan nada penuh iba di depan kepala desa beberapa saat setelah menyeruput kopi dan menyalakan sebatang rokok.
Kepala desa tak menyahut, seperti sedang larut dalam pertimbangan, sambil ia jentikkan ujung rokoknya ke bibir asbak.
“Mungkin hanya saya yang mengajukan permintaan ini, Pak. Tapi saya yakin Bapak sangat bijaksana dan memaklumi alasan saya ini,” lanjut Obak Kardi, sedikit mendongak ke wajah kepala desa guna memperlihatkan rautnya yang dibuat begitu muram.
“Tapi area itu semakin hari memang semakin berisiko. Menurut cerita kebanyakan orang, lahan itu sudah jadi sarang binatang buas yang berbahaya seperti ular dan lainnya. Bahkan kabarnya, menurut banyak dukun, lahan itu juga jadi istana makhluk halus yang berpotensi mengganggu kehidupan warga desa ini,” sahut kepala desa mulai menjelaskan risiko lahan itu sebagaimana yang disampaikan warga.
“Kalau jadi sarang makhluk halus dan binatang buas, justru yang berbahaya kalau dibakar, Pak. Binatang buas dan makhluk halusnya akan marah dan dendam kepada warga. Tapi sebaliknya, kalau dibiarkan, maka binatang buas dan makhluk itu akan damai di sana, bahkan bisa jadi akan turut mendoakan desa ini,” bela Obak Kardi, suaranya mulai meninggi.
Kepala desa perlahan mengangguk-angguk sambil mengisap rokok setelah sepintas mencermati perkataan Obak Kardi. Tapi ia tak berani untuk langsung menyetujui rencana itu guna membiarkan tanah itu tetap rimba. Ia lantas menyesap kopi kemudian meletakkan cangkirnya perlahan, menimbulkan suara gemerincing halus dari gesekan lepek dan cangkir.
“Alasanmu baik juga. Tapi saya tidak bisa langsung memutuskan untuk tidak membakar tanah itu, sebagaimana saya juga tak langsung memutuskan untuk membakarnya. Biarkan saya pikir dulu secara mendalam beberapa hari ke depan,” kata kepala desa, membuat Obak Kardi sedikit lega.
Tak lama setelahnya, Bi Muna datang. Ia langsung bergabung ke beranda kepala desa setelah kepala desa menyuruhnya duduk. Usai berbincang sesaat, kepala desa lantas menanyakan keperluan Bi Muna. Tanpa banyak bicara, Bi Muna langsung mengutarakan keperluannya guna meminta kepala desa agar tidak mengizinkan warga membakar tanah itu.
Obak Kardi tersenyum dan mengedipkan mata kepada Bi Muna. Bi Muna pun melakukan hal yang sama.
***
Kepala desa masih belum bisa memberi keputusan untuk menangani tanah tak bertuan itu meski sudah hampir sebulan lamanya sejak warga mengajukan permintaan. Kepala desa masih bimbang untuk melarang atau mengiyakan. Alasan warga baginya masuk akal, tapi alasan Obak Kardi dan Bi Muna juga masuk akal.
Setelah lebih satu bulan dalam penantian yang absurd, akhirnya warga sepakat untuk membakar tanah itu tanpa harus menunggu keputusan kepala desa karena semua merasa itu merupakan langkah yang bermanfaat demi keselamatan warga.
Jumadi adalah orang yang paling lantang menyuarakan rencana pembakaran. Di rumah Jumadi musyawarah digelar beberapa kali. Warga datang berduyun-duyun. Nyaris semuanya setuju untuk menghanguskan lahan tanpa pemilik itu. Semangatnya membuat darah masing-masing mendidih.
“Lahan itu wajib dibakar.”
“Wajib dihanguskan. Demi keselamatan!”
Minggu setelah salat Zuhur, warga berkumpul di sekitar tanah itu. Mereka datang dari arah yang berbeda sesuai musyawarah hingga area itu tampak terkepung. Palang pintu pagar yang terbuat dari sebatang pohon masih melintang kokoh dilengkapi tali kuat dari serat pelepah siwalan. Dua orang warga langsung memutus ikatan tali itu dengan sabit tajam. Sedang beberapa warga lainnya membuka palang pintu dengan gerak yang penuh emosi. Tak hanya itu, sebagian dari mereka juga merusak pagar yang mengelilingi tanah incaran, hingga semua bisa masuk berbondong-bondong—ada yang menyiangi semak, ada yang memotong reranting, ada yang mengumpulkan daun kering, ada yang menyiramkan bahan bakar; tiga dari mereka mulai menyalakan korek api.
“Ayo kita bakar!”
Setelah teriakan itu, tiba-tiba ada yang keluar dari rimbun semak yang tak sempat dipotong; sepasang manusia berlainan jenis—Obak Kardi dan Bi Muna, pakaiannya terpasang bagitu saja, seperti baru saja dipakai dengan tergesa.
“Ternyata Obak Kardi dan Bi Muna. Apa yang kalian berdua lakukan di balik semak itu. Mengapa pakaian kalian seperti baru saja dipakai?” tanya salah seorang warga.
“Oh, maaf saya bukan Obak Kardi dan ini bukan Bi Muna.”
“Lantas kalian siapa?”
“Kami makhluk halus,” lanjutnya grogi.
Sebentar warga terdiam dan saling pandang, sebelum akhirnya tertawa ramai.
Rumah Filzaible, 2022