image by istockphoto.com

WAKTU menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Saya bermaksud turun dari Simawang, daerah yang menjadi tempat Kuliah Kerja Nyata (KKN) kami. Kepala saya mumet karena sejumlah program KKN yang belum bisa dilaksanakan di kampung yang terletak di ketinggian itu.

Saya ingin berjalan-jalan di pasar tradisional yang terletak tak jauh dari Danau Singkarak. Saya memang suka menyusuri pasar tradisional sejak kecil. Bahkan hal itu dapatlah dikatakan hobi. Dahulu, saya sering menemani Nekno—begitu saya biasa memanggil nenek saya di Lubuklinggau—berbelanja kebutuhan dapur di sana. Dan saya seperti kecanduan untuk melihat aktivitas jual-beli yang kerap mengabaikan Hukum Ekonomi. Penjual yang menguasai transaksi (di sini, pembeli bukanlah raja), tawar-menawar dengan suara yang mengentak-enak, dan tentu saja jajanan supernikmat yang dijual dengan harga miring.

Ketika diterima kuliah di Universitas Andalas, hobi saya itu bagai mendapat angin segar. Pasar tradisional di sini ternyata tidak berbeda dengan yang ada di kampung halaman saya. Saya kerap ke pusat keramaian itu apabila aktivitas kuliah membuat kepala saya serasa mau pecah.

* * *

SAYA membayar sepuluh ribu rupiah kepada tukang ojek yang mengantar saya ke pasar tradisional itu. Cukup mahal untuk ukuran ongkos ojek waktu itu. Namun saya maklum karena untuk sampai di sana, harus melewati jalan landai yang terjal dan curam. Memang, bila dilihat dari ketinggian Simawang, Danau Singkarak (dan daerah sekitarnya) seolah terletak jauh di bawah bukit.

Saya melahap banyak sekali makanan di pasar itu. Sepiring lontong sayur, empat potong lemang pisang, dua porsi sate bumbu kuning, dan dua gelas es ketan durian. Setelah bersendawa beberapa kali, saya bermaksud menikmati indahnya pemandangan Danau Singkarak dari dekat.

Sebenarnya danau itu masih dapat saya pandang dari arah pasar. Namun, banyaknya kedai yang menjual ikan bilih[1] di dekat danau, sedikit mengurangi keindahannya. Lagipula, menikmati danau dari dekat memungkinkan saya menghirup aroma airnya secara langsung. Saya memang sangat menyukai aroma air alam. Air hujan, air laut, air sungai, air terjun, air pohon, dan tentu saja air danau. Membiarkan hidung saya menghirup aromanya, seolah mempersilakan kesejukan yang menenangkan berselancar di dada.

Ternyata, selera makan saya masih tersisa. Saya membeli dua buah bika[2] yang baru dikeluarkan dari perapian dan sebungkus es tebu. Saya berjalan kaki sejauh satu kilometer sebelum menemukan onggokan batu besar untuk menyelonjorkan kaki di tepi danau. Tak jauh dari tempat saya melepas lelah, seorang nenek dan gadis kecil (mungkin cucunya) sedang berjalan-jalan di tepi danau. Mereka berpegangan tangan.

Perempuan tua itu mengenakan baju kurung merah kepiting, kain panjang cokelat kayu, dan sandal jepit yang telapaknya sudah aus. Rambutnya ditutupi songkok yang lusuh hingga susah dikenali warna aslinya. Sebelah tangannya yang lain menjinjing tas yang dianyam dari daun bengkuang. Cucunya mungkin baru duduk di kelas satu SD. Ia mengenakan baju kaus yang kerahnya sudah bergerigi karena sudah terlalu sering dipakai, rok merah hati yang landung sebatas mata kaki, dan sandal jepit yang sama seperti neneknya. Tak lama mereka berhenti. Mereka sama-sama memandang ke hamparan air danau.

Diam-diam saya memperhatikan mereka. Mereka tidak bicara satu sama lain seolah tengah mengkhidmati keindahan danau terbesar di Sumatera Barat itu. Saya memulai isapan pertama es tebu dalam plastik. Saya melirik dua buah bika yang saya letakkan di atas permukaan batu yang agak lempang. Tiba-tiba saya merasa kehilangan selera makan. Insting saya mengatakan, mereka lebih membutuhkan makanan itu. Ah, baik sekali saya hari itu, ya? Namun begitu, saya tak cukup berani menyodorkan makanan itu begitu saja kepada mereka. Saya khawatir dugaan saya—bahwa mereka ‘sedang kelaparan’—meleset!

Saya pun melanjutkan menikmati es tebu sembari mencuri-curi pandang ke arah mereka. Saya berharap mereka akan merasa lelah dan mencari tempat mengistirahatkan kaki yang pegal setelah melakukan perjalanan jauh (Perjalanan jauh? Ah, saya sok tahu sekali). Lalu sebagaimana adat orang Timur, saya pun menawarkan bika-bika tersebut kepada mereka. Tentu ini bukan basa-basi. Saya sangat berharap mereka mau menerimanya.

Ternyata Tuhan mendengar suara hati saya. Mereka berdua berjalan ke arah saya. Sang nenek menyunggingkan senyum seolah meminta izin untuk mengambil tempat duduk di onggokan batu yang sama. Tentu saja saya balas tersenyum. Mereka pun menjatuhkan pantat di sana. Tampak sekali raut wajah mereka yang kelelahan. Saya menghela napas dua kali sebelum memutuskan menyapa mereka.

“Dari mana, Nek?”

Si nenek menoleh. “Dari Sulit Air.” Ia menunjuk arah selatan.

Saya mengangguk-angguk seolah mengenal baik daerah yang disebutkan. Saya memang tahu kalau kampung Sulit Air bertetanggaan dengan Simawang. Tapi cuma sebatas tahu. Saya belum terlalu paham tentang daerah-daerah sekitar karena saya dan teman-teman lebih banyak menghabiskan waktu di Simawang.

“Wah jauh juga ya, Nek,” ujar saya sok tahu.

Nenek itu tersenyum.

“Naik apa dari sana, Nek?” tanya saya sembari mengambil dua bika. Saya bermaksud memberikannya kepada mereka.

“Jalan kaki.”

Ups!!! Untung saya tidak sedang menenggak es tebu atau makan bika hingga tidak harus tersedak oleh jawabannya barusan.

“Cucu saya ini,” nenek itu menoleh ke arah cucunya sembari membelai rambutnya, “ketika lahir, ayahnya sudah tidak ada lagi. Ketika usianya dua tahun, ibunya juga meninggal.” Cucunya mendekat. Tak lama, gadis kecil itu menyandarkan kepalanya di bahu sang nenek.

Saya mengangguk-angguk, berharap sang nenek menganggapnya sebagai bentuk belasungkawa terhadap apa yang mendera cucunya. Jujur, saya merasa sangat iba kepada gadis kecil itu.

“Hari ini, usianya genap tujuh tahun,” celetuk nenek itu tiba-tiba.

“O ya?” seru saya semringah. “Selamat ulang tahun, ya!” Saya mengulurkan tangan ke arah anak itu dengan wajah semringah.

Nenek itu diam saja. Cucunya menyambut uluran tangan saya. Ia bahkan mencium punggung tangan saya. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia seperti kehilangan gairah. Matanya sendu seolah baru saja menangis.

“Kamu sakit?” tanya saya kepada gadis kecil itu sembari membungkukkan badan.

“Tidak,” jawab nenek itu seolah mewakili cucunya. “Dia mungkin masih memikirkan hari lahirnya yang baru saja diperingati di sana,” nenek itu menunjuk hutan pinus di bukit tak jauh dari pasar tradisional.

Saya memicingkan sebelah mata ke arah telunjuk nenek tadi diarahkan. Kening saya berkerut. Saya masih mengira-ngira, perayaan macam apa yang nenek itu persembahkan kepada cucunya di hutan itu.

“Minsa baru saja diajak Nenek bertamasya ke kuburan orangtua di pemakaman umum di dekat hutan pinus,” Gadis kecil yang akhirnya saya ketahui bernama Minsa itu buka suara. Suaranya datar. Ia memandang ke hamparan air danau. Dari binar matanya yang redup, saya tahu ia tidak sedang memperhatikan perahu-perahu nelayan yang tampak di kejauhan.

Baru saja saya hendak bertanya perihal tamasya ke kuburan, nenek itu sudah mendahului saya.

“Ketika Minsa mengetahui para orangtua menghamburkan banyak uang untuk merayakan hari lahir anak mereka, tentu sebagai anak kecil yang belum tahu apa-apa, Minsa menginginkan hal yang sama walau sebenarnya ia tahu kalau neneknya yang hanya seorang petani jagung takkan mampu memenuhi keinginannya.” Nenek itu memandang cucunya dengan saksama. Gadis kecil itu balas menatap mata neneknya. Mereka tersenyum. Saya tiba-tiba merasa terenyuh.

“Hari ini, Minsa harus tahu mana yang masuk akal, mana yang tidak,” lanjut nenek itu.

Saya mengerutkan kening.

“Orang-orang sibuk mengucapkan ‘selamat’ kepada mereka yang tengah memperingati hari lahir. Untuk apa ucapan ‘selamat’ itu? Untuk kematiannya yang kian dekat? Tidakkah itu sebuah ejekan?”

Saya menundukkan kepala. Tiba-tiba nyali saya ciut. Bukan oleh nada bicara nenek itu yang tiba-tiba lantang. Tapi oleh apa-apa yang ia ucapkan. Saya merasa tersudut sekaligus merasa malu karena baru saja menyampaikan ucapan ‘selamat’ kepada cucunya.

“Orang-orang juga sibuk membuat perayaan ketika mengingat hari lahirnya. Apa yang perlu dirayakan dari sebuah peringatan?”

Saya meneguk liur yang kelat di kerongkongan.

“Bukankah memperingati hari lahir sama dengan mendapati waktu kematian yang makin dekat? Bukankah bertamasya ke pemakaman adalah hal yang paling masuk akal untuk memperingati hari lahir?”

Saya tercenung. Tubuh saya seolah tertanam di onggokan batu itu. Saya benar-benar angslup dalam ketaktahudirian saya selama ini. Saya pikir saya sudah tercenung cukup lama hingga baru menyadari semuanya ketika matahari sudah tinggi dan permukaan onggokan batu terasa membakar pantat saya. Minsa dan neneknya tidak ada lagi di dekat saya!

Tiba-tiba saya merasa sangat menyesal. Bagaimana mungkin saya tidak mendengar mereka berpamitan. Jangan-jangan mereka tidak berpamitan? Ah, tidak mungkin. Mereka pasti berpamitan. Jangan-jangan saya hanya bermimpi? Ah, tidak  mungkin saya terlelap di siang hari. Jangan-jangan saya hanya berhalusinasi? Berhalusinasi? Benarkah?

Saya bangkit dan melompat dari tempat saya duduk. Saya menoleh ke onggokan batu yang baru saja saya tinggalkan. Dua buah bika masih tergeletak di sana. O, bagaimana saya melupakan niat saya untuk memberi mereka makanan itu? Pasti dari tadi Minsa sudah berharap saya akan memberikan bika itu kepadanya. Saya benar-benar merasa bersalah dan menyesal. Tapi rasanya, ada hal yang lebih penting untuk saya lakukan sekarang. Di mana Minsa dan neneknya?

Saya meninggalkan tepi danau itu dengan setengah berlari. Saya bertanya kepada seorang lelaki penjual ikan bilih yang berada tak jauh dari onggokan batu itu; apakah ia melihat seorang nenek dan cucunya baru saja lewat. Laki-laki itu menanyakan ciri-ciri mereka. Setelah saya jelaskan, ia tampaknya mulai mengenal dua orang yang saya maksud.

“Tadi mereka berjalan ke sana.” Ia menunjuk ke arah jembatan. “Mungkin sudah di balik kelokan itu,” lanjutnya. Kali ini ia menunjuk sebuah persimpangan tak jauh dari jembatan.

Saya mengucapkan terimakasih walaupun tak sempat dijawabnya karena beberapa orang yang tampaknya berasal dari luar Sumatera Barat menanyakan harga ikan bilih kering yang dijualnya.

Saya tidak bergegas ke arah yang ditunjuk laki-laki penjual ikan bilih itu. Bukan, bukan karena kelokan itu berjarak sekitar satu kilometer dari tempat saya berdiri. Bukan! Saya hanya merasa sudah cukup bahagia karena mendapati kenyataan bahwa saya tidak tengah berhalusinasi. Saya masih sehat, rupanya. Selain itu, tentu saya juga bahagia karena telah beroleh pengalaman unik hari ini. Rasanya tak sabar saya kembali ke Simawang untuk menceritakan apa yang baru saja saya alami kepada teman-teman.

Hari itu, setelah hampir satu bulan menjalani KKN, untuk pertama kalinya saya memutuskan berjalan kaki menuju tempat tinggal sementara kami di Simawang. Tanpa keluh. Seolah Minsa dan neneknya menemani perjalanan saya. Seolah kami sedang bertamasya.

Bersama-sama. (*)


[1]   Konon, ikan bilih hanya terdapat di Danau Singkarak

[2] Bika adalah semacam serabi panggang, diapikan lebih tepatnya, ke dalam perapian yang dinyalakan dengan kayu bakar. Bika biasanya dilapisi dengan daun gaharu.