Burung-burung kecil melompat dari ranting ke ranting, berkicau nyaring sembari menggerak-gerakkan kepala. Sinar matahari yang lembut dan melimpah menerobos daun-daun, membuat bercak-bercak di tanah. Kembang dan buah di pucuk tangkai membentuk variasi warna yang semarak. Di kejauhan, punuk gunung mulai tampak jelas setelah lembar-lembar kabut subuh terurai di udara. Gugusan gunung yang hijau oleh penghujan itu memberi kesan agung bagi pagi yang baru tiba. 

     Pagi yang baru, mungkin dapat memberi hidup yang baru pula. Adam menghirup udara segar dalam-dalam, memasukkan sebanyak-banyaknya ke dalam paru-parunya. Ia pejamkan mata, merasakan sinar matahari menyentuh kulitnya. Lalu digosok-gosoknya kedua tangan seakan di udara ada air yang bisa membersihkan. Di kejauhan ia lihat sebuah bangunan, berdiri sendirian di tengah rimbun pepohonan. Diraihnya ransel lalu dengan langkah kecil ia berjalan menuju bangunan itu.

     Jalan yang landai dan licin membuat tapaknya kerap bergeser dari pijakan. Beberapa kali ia nyaris jatuh, tetapi dengan cekatan ia selalu bisa menguasai tubuh. Keringat membasahi kulit, lehernya tampak berkilauan, sela-sela jari kakinya juga basah, sehingga kadang ia harus berhenti, menekuk-nekuk jari kakinya agar tidak ikut licin. Sesampai di jalan mendatar, ia duduk sebentar, mengambil napas sambil memperhitungkan berapa jauh lagi jarak yang harus ditempuh untuk mencapai bangunan itu.

     Seekor elang muncul dari pucuk pohonan, melayang bebas di bawah langit yang bersih. Sayapnya terentang lurus seperti menampakkan daya hidup yang tak tergoyahkan. Kaoknya bergema sesaat di telinga Adam. Seolah elang itu telah menyuntikkan semangat baru, Adam segera bangkit dan kembali berjalan. Pagi yang baru, hidup yang baru, semangat yang baru. Dadanya membuncah sampai-sampai air mata nyaris bercucuran. Dikedip-kedipkannya mata untuk menahan agar air itu tidak berlelehan, tetapi telanjur; matanya telah basah. Segera diusapnya dengan lengan baju, seakan malu dilihat menangis oleh alam semesta.

     Seperti yang sudah diperkirakannya, bangunan itu adalah sebuah surau. Kelihatan tua dan dingin. Gentingnya penuh lumut dan dinding-dindingnya sudah kusam. Tetapi lantai dan tanah di sekitar bangunan kelihatan bersih, menimbulkan kesan bahwa seseorang pasti rajin membersihkan areal itu. Ia beranjak ke tempat air, melihat air yang mengalir melalui pipa bambu ke sebuah gentong tanah liat. Air sudah penuh di gentong itu, sehingga terus mengucur ke tanah dan membentuk genangan. Beberapa katak berenang-renang di genangan itu.

     Ia buka sumbat gentong, lalu dibasuhnya wajah, tangan, dan kaki. Air yang segar seperti membuka pori-porinya, melesap ke dalam daging, mengalir dalam dirinya. Sekali lagi, tak dapat dibendungnya airmata. Dan kali ini, tak lagi ditahan-tahannya. Ia menangis tersedu-sedu, menumpahkan seluruh isi dadanya sembari terus menerus membasuh wajah. Air dari gentong dan airmatanya bercampur, jatuh ke tanah, mungkin meresap, mungkin mengalir sampai jauh, kembali ke muaranya.

     Tiba-tiba terdengar suara salam. Ia menengok. Seseorang sudah berdiri di belakang. Berkali-kali ia usap kembali wajahnya lalu memercikkan air yang masih ada di tangan. Ia sedikit gugup hingga tidak menjawab salam orang itu. “Maaf,” kata orang itu. “Saya baru tiba. Bolehkah saya beristirahat sejenak di surau ini?” Orang itu masih muda. Rambutnya sebahu, badannya lebih tinggi dari Adam. Ia mengenakan jaket murahan di atas kaus bergambar potret seseorang. Celana panjangnya terbuat dari kain yang kaku, sedang sepasang kakinya dialasi sandal karet.

     “Silakan,” jawab Adam. “Sebenarnya saya juga baru tiba. Saya bukan warga sekitar sini.”

     “Oh, baiklah. Tapi setidaknya saudara lebih dulu tiba. Dari ibukota juga?”

     Adam terdiam sebentar. Ia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan orang dari ibukota. Tempat itu terletak di kaki gunung, jauh dari ibukota. Ia mendengar nama tempat itu dari Siti, bahkan saat itu Siti ragu-ragu apakah tempat itu masih ada atau tidak. Beberapa tahun lalu memang gunung terbesar di antara gugusan pegunungan sekitar mengalami erupsi, sehingga warga yang sebenarnya tak banyak itu harus mengungsi. Kabarnya, mereka tak lagi kembali ke sana.

     “Bukan,” jawab Adam. “Saya dari kabupaten.”

     “Oh, baiklah.” Orang itu beranjak, melepas jaketnya, meletakkannya di lantai surau, lalu menuju tempat air. Adam sendiri segera naik ke surau, seperti seseorang yang hendak salat. Tetapi di dalam surau ia hanya duduk saja. Ransel yang tak pernah jauh dari sisinya, ia buka. Di dalamnya ada beberapa potong pakaian, perlengkapan mandi, dompet, sebuah album foto, dan sebuah bungkusan kain hitam. Hanya itulah yang bisa ia selamatkan dari amuk massa. Ia teringat Siti dan ingin sekali melihat fotonya. Tapi niat itu ditahannya. Ia takut tak sanggup menahan tangisnya lagi.

     Orang muda tadi ikut masuk ke surau. Tanpa berkata-kata, ia segera salat. Dua rakaat dilaksanakannya dengan cepat. Lalu ia duduk bersila sebagaimana biasa orang usai salat, mengucap doa-doa, sebelum menghampiri Adam, sembari memasang kembali jam tangan yang tadi ia lepaskan.

     “Saya selalu melaksanakan salat duha, supaya tenang,” ujarnya. “Apakah saudara hendak ke suatu tempat?”

     Adam tak langsung menjawab. Ia membuat gerakan seperti sedang merapikan isi ranselnya. “Iya. Saya hendak ke pesisir di selatan. Kampung halaman saya.” Jawaban itu terdengar ragu-ragu, bahkan di telinganya sendiri. Ia sudah tidak punya kampung halaman. Orang tuanya merantau ke ibukota setelah pembangunan bandara menggusur rumah mereka. Adam lahir dan besar di ibukota, sekolah dan lalu bekerja di sana. Ia mewarisi toko kelontong dari orangtuanya. Toko yang kemudian habis dibakar massa. Siti, istrinya, hilang dalam peristiwa itu. Berminggu-minggu Adam mencari Siti, tetapi tidak ketemu walau sekadar jejaknya. Adam remuk dan putus asa, lalu memutuskan pergi. Satu-satunya tujuan adalah membangun hidup baru. Ia akan menemui tetua dusun di kaki gunung, menyerahkan barang dalam bungkusan, dan memohon agar dibiarkan bermukim di sana.

     “Rupanya perjalanan saudara masih jauh,” kata orang itu menanggapi. Adam memperhatikan bagaimana orang itu meraih ranselnya, membongkar isinya, dan mengeluarkan selembar baju berlengan panjang. “Maaf,” kata orang itu lagi sambil mengganti pakaian. “Seharusnya saya mengganti pakaian sebelum salat. Tapi saya memang sedang bingung. Tak apalah, baju ini cukup pantas untuk saya pakai menemui kepala dusun di kaki gunung.”

     Adam mengernyit mendengar pengakuan orang itu. “Saudara akan ke dusun itu?” tanyanya.

“Iya. Saya mau memulai hidup yang baru.” Orang itu menjawab sembari mengeluarkan sebuah bungkusan kain hitam dari ranselnya. “Ibukota sudah tidak bisa diharapkan lagi. Sementara saya tak punya kampung halaman. Syukurlah saya masih memiliki ini.” Orang itu mengeluarkan sebilah keris kecil dari bungkusan kain hitam. Mata keris itu kuning tua, seperti terbuat dari emas. Adam nyaris tersentak, tanpa sadar tangannya masuk ke ranselnya dan meraba-raba. Benda itu masih ada di ranselnya. Benda yang sama persis dengan yang kini ditimang-timang orang itu. “Saya akan menunjukkan keris ini pada tetua dusun dan memohon agar saya dibiarkan bermukim di sana.”

     “Dari mana saudara mendapatkan keris itu?” tanya Adam. Ia yakin suaranya terdengar gemetar. Orang itu menatapnya sebentar. “Ceritanya panjang. Tetapi singkatnya, ada orang yang memberikan saya keris ini. Ia bilang kalau ada apa-apa, saya bisa membawa keris ini ke tetua dusun di kaki gunung ini, supaya saya dizinkan bermukim di dusunnya.”

     Sekarang Adam merasakan lidahnya beku. Angin berembus kencang menggoyang pintu surau. Terdengar suara gemeretak dari genting, lalu disusul kaok burung. Kitab-kitab lusuh yang ditaruh dekat mimbar berkibar-kibar halamannya, seakan ada yang sedang membaca. Orang itu bangkit, merapikan ranselnya, dan mengulurkan tangannya pada Adam. “Saya pamit dulu. Doakan saya berhasil.”

     Tanpa bisa berkata-kata Adam menerima jabat tangan orang itu. Di pintu surau orang itu mengucap salam, lalu menoleh, “Oh ya, nama saya Adam. Siapa tahu kita bertemu lagi. Mudah-mudahan saudara selamat sampai tujuan.” Adam tak menjawab, ia tetap duduk di tempatnya. Beberapa saat kemudian ia baru tersadar. Dengan cepat ia bergerak keluar, menengok kesana-kemari, tapi orang itu sudah tidak terlihat. Di kejauhan, gugusan pegunungan nampak agung. Langit biru terang, dan di bawahnya, seekor elang melayang-layang dengan tenang.***

Mataram, 11 Mei 2020