Ide cerita ini aku curi dari seorang kawan. Namanya, sebut saja Bukan Nama Sebenarnya. Langsung saja seperti itu ya, kan? Buat apa dikasih nama untuk kemudian dikatakan bahwa itu bukanlah nama sebenarnya. Kata-kata lagi naik harganya di pasaran. Elok juga kalau kita tak boros kata di saat-saat seperti ini.

Ide kisah ini aku curi darinya waktu kami bolos dari kantor kami di Jl. Bunga Kenanga dan singgah minum kopi di sebuah kedai kopi di Jl. Bunga Cempaka. Aku tak ingat siapa yang mengajak bolos saat itu: aku, Bukan Nama Sebenarnya, atau aura kematian di kantor tempat kami bekerja.

Ide cerita ini aku curi dari Bukan Nama Sebenarnya beberapa saat setelah dua gelas kopi susu gula aren mendarat di meja kami. Ah! Aku ingat sekarang. Akulah yang mengajak Bukan Nama Sebenarnya bolos waktu itu. Meski aku tak bisa mungkir, bahwa aura kematian di tempat kami bekerja itulah sebenarnya yang menggoda aku untuk bolos. Tapi, tanpa digoda oleh aura kematian itu pun aku bakal tetap bolos—dan mengajak bolos si Bukan Nama Sebenarnya saat itu, karena aku punya alasan sendiri untuk melipir dari tempat kerja kami yang beraura kematian itu: ya untuk menghindar dari aura kematian itu!

Aura kematian itu bisa saja kutahankan. Atau lebih tepatnya, kuabaikan. Aku tinggal mengenakan earphone dan mendengarkan musik dengan volume maksimal dikurang satu. Maka bereslah urusan aura kematian itu, dan aku tinggal menunggu jarum pendek jam menuding angka lima, lalu meninggalkan aura kematian itu di tempat kerja kami itu. Jadi, di samping menghindar dari aura kematian itu, alasanku yang lain melipir dari tempat kerja kami waktu itu adalah karena aku sedang menyusun sebuah buku kumpulan cerita pendek. Tentu aku tidak akan mengerjakan buku itu di tempat yang dilingkupi aura kematian.

Ide cerita ini aku curi dari Bukan Nama Sebenarnya ketika waktu itu entah kenapa dia bercerita tentang keluarganya. Ah! Aku ingat sekarang. Waktu itu sudah pukul sebelas siang. Aku baru ingat. Aku telat bangun dan tiba di tempat kami bekerja pada pukul sebelas kurang lima belas menit. Jam kerja kami seharusnya mulai dari pukul sembilan pagi sampai pukul lima petang. Alih-alih bercerita dengan ‘waktu itu’, aku akan katakan saja ‘siang itu’.

Ya, siang itu, aku mencuri ide cerita ini dari Bukan Nama Sebenarnya ketika kami melipir dari tempat kerja kami yang beraura kematian, meski aku punya alasan sendiri untuk pergi, yaitu buku kumpulan cerita pendek yang sedang aku susun. Dan aku mengajak Bukan Nama Sebenarnya karena aku memintai dia bantuan untuk menata letak buku kumpulan cerita pendek itu, sekaligus mendesain sampulnya, sekaligus membuatkan konten-konten berupa potongan-potongan cerita yang tergabung dalam buku itu, untuk kemudian kami unggah di media sosial dengan harapan orang akan penasaran dan tertarik dan kemudian akan membeli buku itu begitu kami mencetaknya.

Aku mencuri ide cerita ini ketika Bukan Nama Sebenarnya mulai bercerita tentang keluarganya. Ah! Aku ingat sekarang kenapa dia menceritakan perihal keluarganya. Karena abangnya sedang dirawat di rumah sakit. Itulah sebabnya. Dan ihwal abangnya yang sakit sudah diberitahunya kepadaku beberapa hari yang lalu. Dan siang itu, ketika kami singgah di kedai kopi di Jl. Bunga Cempaka, aku menanyakan kondisi terkini abangnya. Dia bilang, abangnya tak kunjung membaik dan mulai memperlihatkan gelagat hilang minat pada kehidupan. Aku turut prihatin, tapi setelah itu Bukan Nama Sebenarnya malah bercerita lain-lain hal mengenai keluarganya.

Di situlah aku kepikiran untuk mencuri ide cerita ini. Tentu di awal dia bercerita aku tidak ada niat untuk mencuri, sebab aku mana tahu kalau kisah yang diceritakan oleh Bukan Nama Sebenarnya akan menarik jika dituliskan menjadi sebuah cerita. Lagipula, nyaris semua perhatianku siang itu telah disita oleh naskah buku kumpulan cerita pendek yang sedang aku kerjakan. Aku tidak punya cukup perhatian lagi untuk menyimak dengan sungguh-sungguh cerita yang dituturkan oleh Bukan Nama Sebenarnya.

Kabar tentang kondisi terkini abang Bukan Nama Sebenarnya telah menjadi awal dari cerita-cerita lain yang ia tuturkan padaku siang itu. Ha! Aku ingat sekarang. Bukan Nama Sebenarnya berkisah tentang kakeknya yang dulu, waktu zaman Belanda, merupakan seorang Kapala Nagari di kampungnya di Ajibata, Keresidenan Tapanuli. Sejarah kakeknya yang seorang antek Belanda ini membuat keluarga Bukan Nama Sebenarnya cukup disegani di kampung mereka. Sampai hari ini. Bukan semata karena jabatan itu, tapi karena kualitas hidup keluarga mereka karena jabatan itu: anak-anak kakeknya yang seorang Kapala Nagari itu bisa mengenal pendidikan. Bisa sekolah sampai perguruan tinggi.

Pikiranku masih terfokus pada upayaku menyusun buku kumpulan cerita pendek yang sedang aku susun. Aku tidak begitu terkesan pada cerita tentang kakek Bukan Nama Sebenarnya yang seorang Kapala Nagari itu. Pasalnya, aku pernah mendapat cerita serupa di kampungku. Tentang anak cucu seorang Kapala Nagari yang akhirnya mendapat kemewahan untuk bersekolah. Seorang dari keturunan Kapala Nagari itu bahkan masuk Akademi Militer Nasional, meskipun gagal jadi perwira karena berhenti di tengah jalan dan memilih jadi seniman teater. Cerita ini bahkan lebih menarik dari cerita tentang kakek Bukan Nama Sebenarnya.

Ide cerita ini aku curi dari Bukan Nama Sebenarnya ketika akhirnya aku tak lagi bisa fokus pada naskah buku kumpulan cerita pendek yang sedang aku susun. Ketika Bukan Nama Sebenarnya bercerita tentang ayahnya. Ha! Aku ingat sekarang. Cerita tentang kakeknya yang seorang Kapala Nagari di era kolonial tidak begitu menggugah minatku karena aku sudah pernah mendengar cerita yang sama. Aku malah tertarik pada cerita mengenai ayahnya yang berdasarkan penuturan Bukan Nama Sebenarnya siang itu, tidak tertarik pada privilese yang ayahnya bisa dapatkan sebagai anak seorang Kapala Nagari.

Pada suatu pagi ayah Bukan Nama Sebenarnya berangkat menuju sekolah tapi entah kenapa tidak lagi kembali ke rumah sampai beberapa minggu setelahnya. Ia jadi anak jalanan selama minggu-minggu itu. Agar dapat makan, minum, dan merokok, ia jadi kernet bus. Di sinilah titik menarik pengisahan oleh Bukan Nama Sebenarnya yang membuat aku benar-benar memutuskan akan mencuri ide cerita ini darinya. Di masa-masa ini ayah Bukan Nama Sebenarnya bertemu dengan seorang perempuan yang kelak jadi istrinya. Perempuan itu sedang menjalani pendidikan bidan saat itu dan kerap menumpang bus yang dikerneti oleh ayah Bukan Nama Sebenarnya untuk pergi ke dan pulang dari sekolah kebidanan.

Tak lama setelah minggu-minggu awal hubungan mereka terjalin, perempuan itu membawa ayah Bukan Nama Sebenarnya untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Ha! Aku ingat sekarang. Alasan ayah Bukan Nama Sebenarnya kabur dari rumah adalah karena ayahnya yang seorang Kapala Nagari itu berupaya menjodohkannya dengan pariban-nya. Ayah Bukan Nama Sebenarnya tidak suka. Bukan tak suka pada pariban-nya itu. Tapi tak suka orang lain berkuasa atas dirinya, menentukan masa depan yang padahal dialah yang akan menjalaninya sampai mati nanti.

Pada pertemuan dengan orang tua perempuan itu, ayah Bukan Nama Sebenarnya berhasil memberi kesan baik dengan kesopanan serta keelokan penampilannya. Dengan santun tutur kata serta keluasan wawasannya. Tapi kesan itu lekas saja pudar setelah ayah Bukan Nama Sebenarnya ketahuan putus sekolah dan hanya seorang kernet bus. Segala niat baik dikalikan nol setelah pertemuan itu.

Selang beberapa hari, ayah Bukan Nama Sebenarnya dijemput oleh ayahnya setelah mencari ke mana-mana. Dia kembali ke sekolah seturut kehendak ayahnya, tapi perihal niat perjodohan itu tak lagi disebut-sebut. Selang beberapa hari, perempuan itu menemui ayah Bukan Nama Sebenarnya setelah mencari ke mana-mana. Dia meninggalkan sekolah kebidanannya karena tak sanggup menahan derita cinta yang tidak kesampaian. Selang beberapa hari, orang tua perempuan itu menemui putri mereka di rumah orang tua ayah Bukan Nama Sebenarnya setelah mencari ke mana-mana.

“Bah! Anak ni Nagari do hape!” seru orang tua perempuan itu ketika akhirnya bertemu dengan orang tua ayah Bukan Nama Sebenarnya. Mereka dijodohkan saat itu juga, dan akan menikah setelah menyelesaikan sekolah masing-masing.

Catatan:

Kapala Nagari = Jabatan dalam birokrasi bentukan Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Tapanuli. Pemegang jabatan ini membawahi beberapa kampung. Merupakan lanjutan dari sistem birokrasi sebelumnya yang disebut Hundulan dan dipimpin oleh seorang Raja Ihutan dan seorang Raja Padua.

Pariban = Sebutan seorang laki-laki Batak kepada sepupu perempuan dari saudara laki-laki ibu, dan seorang perempuan Batak kepada sepupu laki-laki dari saudara perempuan ayah.

“Bah anak ni Kapala Nagari do hape.” = Bahasa Batak Toba. Artinya, “Bah! Ternyata anak Kapala Nagari.”

Image by istockphoto.com