Sekarang ini, masyarakat di seluruh dunia, dengan usia rata-rata antara 14 sampai 40 tahun, mengabiskan banyak waktu di media sosial. Banyak orang bertanya-tanya apakah waktu yang digunakan baik untuk kita? Apakah orang yang terhubung secara online lebih baik daripada terhubung secara offline? Atau mereka mengkonsumsi media sosial hanya sekadar menikmati hal-hal sepele dan sejumlah meme dengan mengorbankan banyak waktu bersama orang-orang dekat dan terkasih.
Pertanyaan kritis ini perlu diajukan dan dicarikan jawabannya lantaran media sosial juga mengandung sejumlah unsur negatif, khususnya bagi pengguna generasi milenial. Salah seorang psikolog sosial dari Amerika, Moira, telah meneliti berbagai dampak internet pada kehidupan orang-orang selama lebih dari satu dekade. Hasilnya, banyak orang tua khawatir terhadap waktu senggang anak-anak yang bahkan telah terkoneksi media sosial di usia 15 tahun. Begitu juga kekhawatiran dalam menghabiskan waktu terlalu banyak bersama ponsel dan lupa memperhatikan keluarga.
Salah satu cara terpenting dalam mengatasi pergulatan batin kita terhadap berbagai masalah yang mengitari pengguna media sosial adalah dengan mengkaji berbagai temuan para peneliti, melakukan perbaikan diri selaku pengguna, dan mengajukan lebih banyak lagi pertanyaan agar kita tetap terus belajar.
Banyak peneliti juga melihat berbagai aspek dari masalah penting ini. Misalnya, Psikologi Sherry Turkle menegaskan, ponsel dan segudang isi di dalamnya telah mendefinisikan kembali akan arti modernitas. Dalam mengamati para pengguna media sosial di usia remaja, ada temuan penting yang dihasilkan bahwa meningkatnya depresi para remaja karena terkait dengan penggunaan teknologi.
Temuan-temuan itu tidak selesai sampai di sini. Penelitian Sosiolog Keith Hampton tentang ruang publik menunjukkan bahwa sekarang ini banyak orang menghabiskan waktunya di depan umum dengan hanya bermain ponsel dan menghabiskan waktu sendirian, banyak di antara mereka mengabaikan teman secara langsung meski sedang berkumpul dan duduk bersama.
Penulis sendiri mengamini sebuah klaim bahwa teknologi benar-benar membuat kita terasa berbeda. Tetapi, berbeda ini tidak didukung penuh oleh berbagai manfaat yang terkandung dalam teknologi-komunikasi, sebagian besar pengguna aktif media sosial justru didukung oleh anekdot-anekdot lucu dan meme-meme apa saja yang menurut mereka menarik, soal politik misalnya, agama, atau sekadar lucu-lucuan.
Kita seharusnya sadar betul bahwa media sosial, katakanlah Facebook, merupakan tempat untuk interaksi yang bermakna dengan sejumlah teman dan keluarga. Selain itu, akan lebih meningkatkan hubungan kita dengan orang-orang terdekat secara offline, bukan malah menjauh dan mengurangi jalinan hubungan itu. Ini penting, karena kita semua tahu kesehatan mental dan kebahagiaan seseorang sangat bergantung pada kekuatan hubungan komunikasi ini, baik secara online maupun offline.
Di lain hal, kita juga perlu meninjau beberapa penelitian ilmiah terkemuka tentang apa hubungan media sosial dan kesejahteraan. Misalnya dengan mengajukan pertanyaan, apa pendapat para akademisi? Apakah media sosial baik atau buruk untuk kesejahteraan bersama?
Sisi Negatif
Secara garis besar, ketika seseorang menghabiskan lebih banyak waktu secara pasif dengan mengkonsumsi media sosial (infomasi-membaca), tetapi tidak berinteraksi dengan orang-orang di media itu, maka akan berdampak buruh bagi kesehatan mentalnya.
Sebagai contoh, sebuah uji coba yang dilakukan di Universitas Michigan, para mahasiswa ditugaskan secara acak untuk membaca status dan berbagai informasi yang berseliweran selama sepuluh menit, hasilnya, mereka berada dalam suasana hati yang lebih buruk. Berbeda dengan mahasiswa yang ditugaskan untuk mengirim atau berbicara dengan teman-temannya di Facebook.
Sebuah studi dari UC San Diego dan Univeraitas Yale menemukan bahwa orang-orang yang mengklik tautan empat kali lebih banyak daripada rata-rata orang, atau yang menyukai pos dua kali lebih banyak, cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih buruk dari yang lainnya. Meski saya kira, penyebabnya agak kurang terukur dan tidak jelas, tetapi penelitian ini penting mengingat media sosial telah banyak mengubah cara kita menjalin komunikasi dengan orang lain dan kelompok tertentu.
Penulis sendiri berhipotesis bahwa memahami orang lain secara online jauh lebih buruk daripada secara offline. Karena cara pandang kita terhadap orang lain di media sosial, baik menyangkut kehidupan pribadi atau profesinya, dapat menyebabkan perbandingan kelas sosial yang negatif. Sebabnya, unggahan orang lain sering dikurasi terlebih dahulu dan cenderung menyanjung dirinya sendiri. Selain itu, internet, dalam hal ini media sosial, juga membuat banyak orang menjauh dari keterlibatan sosial secara langsung di dunia nyata.
Sisi Positif
Dampak positif yang ada di media sosial barangkali sudah disadari oleh semua penggunanya. Misalnya, berinteraksi secara aktif dengan orang-orang, terutama saling berkirim pesan, unggahan, dan komentar dengan teman-teman dekat akan mengenang kembali tentang interaksi di masa lalu, sisi ini paling tidak terkait dengan peningkatan kesejahteraan.
Banyak di antara kita tertarik dengan Facebook atau media sejenisnya, karena kemampuan untuk terhubung dengan sanak saudara, teman sekelas dulu, dan rekan bisnis. Tidak heran misalnya, tetap memiliki hubungan dengan teman-teman dekat, orang-orang terkasih, dan tentu teman baru, membuat kita merasa benar-benar gembira dan memperkuat jalinan rasa kebersamaan.
Penelitian yang dilakukan Robert Kraut di Universitas Carnegie Mellon menemukan bahwa orang yang mengirim dan menerima lebih banyak pesan, komentar di status, dan pos timeline, akan meningkatkan sisi positif mentalnya, seperti adanya dukungan sosial yang lebih, terhindar dari depresi, dan rasa kesepian. Efek positif ini bahkan akan lebih menguat ketika seseorang berinteraksi dengan teman dekat secara online.
Jadi tidak cukup hanya sekadar menyiarkan pembaruan status, orang harus berinteraksi satu lawan satu dengan orang lain di jejaring media sosial. Karena itu, interaksi aktif dengan sesama pengguna akan sangat memberikan manfaat positif, khususnya dalam hal perekat sosial yang menyejahterakan.
Penulis percaya bahwa di media sosial, penegasan akan diri sendiri akan datang dengan cara mengenang interaksi yang penuh makna bersama orang-orang di masa lalu, melihat foto-foto dan berbagai komentar dari teman-teman, serta merefleksikan unggahan masa lalu seseorang, karenaseseorang itu mencoba menampilkan dirinya sendiri pada dunia.
Bagaimana Seharusnya Menggunakan Media Sosial?
Pertanyaan ini penting, apalagi terkait dengan kesejahteraan para penggunanya. Facebook sendiri memiliki tujuan agar orang dapat lebih banyak berinteraksi secara positif dan sedikit pengurangi dalam hal menghabiskan waktu yang tak penting.
CEO facebook, Mark Zuckerberg, baru-baru ini mengatakan, “Kami ingin waktu yang dihabiskan orang di Facebook untuk mendorong interaksi sosial yang lebih bermakna. Facebook selalu tentang menyatukan orang, sejak awal ketika kami mulai mengingatkan orang-orang tentang hari ulang tahun teman mereka hingga mengingatkan mereka dengan teman-temannya dengan fitur yang kami sebut sebagai ‘Pada Hari Ini’”.
Betapa banyak hal yang bisa kita lakukan di media sosial semacam Facebook, seperti terhubung dengan keluarga, teman lama dan baru, berbisnis online, sampai tempat bagi orang-orang untuk berkumpul saat dibutuhkan, dari penggalang dana untuk bantuan bencana hingga orang dapat menemukan kebutuhan seperti donor darah dan seterusnya.
Paling tidak, media sosial telah menjadi jembatan penghubung yang intens bagi setiap individu dan dapat membangun jejaring sampai ke seluruh dunia. Karenanya, sebagai pengguna aktif media sosial, kita perlu memperluas jaringan atau komunitas yang tujuannnya adalah memberi dampak positif pada kehidupan banyak orang. Sebagai alat, media sosial haruslah difungsikan secara bijak yang sebisa mungkin menghindari sisi-sisi negatif yang begitu besar.[]