Sinar hangat matahari pagi menyambut kami di Pelabuhan Grenyang-Bojonegara saat motor di parkirkan di bibir dermaga. Sebelumnya, kami mengisi bahan bakar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) dekat Pelelangan Ikan-Wadas. Cukup lama kami mengantri di SPBU.
Jam menunjukkan pukul 08.58 WIB. Hampir saja kami tertinggal kapal pertama. Jadwal pemberangkatan kapal pertama pukul 09.00 WIB. Hal yang mustahil untuk sampai pelabuhan dalam waktu dua menit. Beruntung saat itu kapal pertama masih bersandar. Jika tidak, kami harus menunggu kapal kedua yang berangkat pukul 12.00 WIB.
Satu persatu motor yang terparkir dinaikkan ke dek kapal. Kami duduk tak jauh dari nakhoda. Lengang. Tak seperti di Hari Raya atau di hari Minggu, penumpang saat itu tergolong sedikit. Pantas saja, jadwal kapal ngaret dari biasanya. Tapi situasi itu menguntungkan bagi kami.
Mesin kapal dinyalakan. Anak Buah Kapal (ABK) melepaskan tali yang diikatkan di patok besi. Perlahan kapal meninggalkan pelabuhan diiringi raungan mesin diesel. Gelombang ombak di pagi itu sangat bersahabat. Kapal tak begitu kewalahan mengarungi deburan ombak.
Kapal yang tak begitu besar itu mampu mengangkut penumpang kurang lebih empat puluh sampai enam puluh orang, dan sepeda motor dua puluh unit. Namun saat itu, hanya ada sekitar tiga puluhan penumpang dan sepuluh sepeda motor.
Kapal berjalan ke arah timur. Di tengah perjalanan, kami disuguhkan pemandangan yang tak ternilai. Gunung Gede dan pegunungan yang berada di sekitar Bojonegara nampak kokoh dan gagah. Selain itu, kapal-kapal besar yang terparkir (engker) di laut Bojonegara-Teluk Banten juga tak kalah menarik untuk mengusir rasa kejenuhan. Atau bisa juga pemandangan yang kami nikmati selama perjalanan di laut dapat mengalihkan perhatian dari mabuk laut.
Sejauh mata memandang, perairan Teluk Banten cukup ramai oleh lalu-lalang kapal bertonase besar dan kapal yang terparkir. Dari mulai kapal penumpang (Ro-Ro) hingga kapal minyak ada di wilayah perairan Teluk Banten. Begitu juga deretan industri yang berdiri di sepanjang pesisir, membuktikan bahwa perairan ini menjadi daya tarik investor.
Situasi pagi saat itu mengingatkan kami akan kejayaan Banten pada masa silam. Sejak abad ke-XVI hingga sekarang seakan perairan ini tak pernah sepi. Di masa lalu Banten dikenal sebagai kerajaan Islam yang besar di Nusantara. Letak yang strategis menjadikan Banten menjadi salah satu tujuan para pedagang dari belahan dunia untuk datang. Tujuan mereka yaitu untuk mencari rempah-rempah. Lada menjadi komoditi utama yang ditawarkan oleh Banten.
Sekitar lima belas menit kapal berjalan, pulau tujuan kami mulai terlihat: Pulo Panjang. Pulau yang memiliki luas wilayah sekitar delapan kilometer persegi ini terletak di perairan Teluk Banten. Jika ditempuh dari Pelabuhan Grenyang-Bojonegara, maka kapal berjalan ke arah timur. Namun jika ditempuh dari Pelabuhan Karangantu, maka kapal berjalan ke arah utara. Secara administratif, Pulo Panjang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang.
Mendekati dermaga pelabuhan, kecepatan kapal berkurang. ABK bergegas melompat ke dermaga, kemudian menambatkan tali kapal ke patok. “Selamat Datang di Pulo Panjang: Kampung Bahari Nusantara Binaan Lanal Banten”, itulah tulisan di gapura yang menyambut kami setelah kami semua turun dari kapal. Kami sampai di Pulo Panjang pukul 09.45 WIB.
Untuk biaya perjalanan dari Pelabuhan Grenyang-Bojonegara ke Pelabuhan Pasir Putih Pulo Panjang, tarifnya sepuluh ribu rupiah untuk satu orang. Sedangkan untuk satu sepeda motor dikenakan tarif lima belas ribu rupiah. Perjalanan mengarungi laut dari Pelabuhan Grenyang-Bojonegara ke Pelabuhan Pasir Putih Pulo Panjang memakan waktu kurang lebih 25 menit.
Saat menunggu antrian kendaraan motor yang diturunkan oleh ABK, Mang Romli yang merupakan penduduk asli Pulo Panjang menghampiri kami berenam. Ia menyalami kami semua. Ia khawatir kami tertinggal kapal pertama. Jika naik kapal kedua, bisa jadi sampai ke Pulo Panjang pukul 12.30 WIB.
Setelah motor selesai diturunkan, Mang Romli memandu kami. Mang Romli merupakan saudara dari teman kami, Ihwan. Sebelumnya, Ihwan menghabari Mang Romli, bahwa kami berenam akan keliling Pulo Panjang.
Kami bereenam membuntuti motor Mang Romli. Empat motor berjalan konvoi keluar pelabuhan. Di dekat pelabuhan, kami melihat beberapa orang sedang melakukan pengasinan ikan. Mereka sedang sibuk menjemur dan membolak-balikan ikan. Di sepanjang jalan dekat pelabuhan, berjejer deretan ikan asin yang sedang di jemur.
Mayoritas masyarakat Pulo Panjang berprofesi sebagai nelayan. Makanya tak heran jika banyak ditemukan orang yang sedang menjemur ikan. Metode pengasinan ini sangat ampuh untuk mengawetkan ikan. Daging ikan tak cepat membusuk. Setelah melalui proses pengasinan yang cukup panjang, usia daging ikan akan bertahan lebih lama.
Rumah-rumah yang berdiri di Kampung Pasir Putih cukup unik. Dinding rumahnya dibangun bukan batu bata merah atau batu bata ringan (hebel), melainkan menggunakan batu karang. Persis seperti dinding benteng Speelwjik dan dinding benteng Keraton Surosowan.
Masyarakat Banten memiliki semboyan, yaitu “Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis”, artinya membangun kota dan benteng menggunakan batu bata dan batu karang. Semboyan ini erat kaitannya dengan sejarah pembangunan benteng dan Keraton Surosowan. Dalam kronik sejarah Banten, dikisahkan bahwa kota Banten dibangun oleh Raja pertama yaitu Sultan Maulana Hasanuddin, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya yaitu Maulana Yusuf.
Pembangunan kota, benteng dan keraton yang memadukan unsur laut dan daratan membuktikan bahwa di masa lalu Banten adalah kerajaan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Penguasaan dan pengelolaan daratan dan lautan ini menjadi bukti bahwa di abad XVI sampai abad XIX di barat Pulau Jawa terdapat Kerajaan Islam yang besar.
Sisa-sisa kejayaan Kerajaan Banten dapat kita lihat di Kawasan Banten Lama. Batu bata dan batu karang masih kokoh menopang Benteng Keraton Surosowan. Apa mungkin, batu karang yang berada di Benteng Keraton Surosowan itu berasal dari Pulo Panjang ini? Jawabannya bisa jadi iyah. Ada beberapa penelitian yang menjelaskan bahwa batu karang yang berada di kawasan Banten Lama berasal dari pulau-pulau yang berada di sekitaran Teluk Banten.
Motor terus kami pacu ke arah timur dan masuk ke Kampung Kebalen. Kang Romli mengajak kami istirahat ke rumahnya. “Nanti saja kelilingnya. Kalian istirahat dulu,” kata Kang Romli. Kami menerima tawaran Kang Romli.
Di Rumah Kang Romli kami disuguhkan kudapan, dari makanan tradisional hingga kopi hitam. Sambil melepas lelah dan menikmati kudapan, kami mengobrol tentang Pulo Panjang. Kata Kang Romli di Pulo Panjang terdapat tujuh kampung. Dimulai dari kampung yang paling padat penduduknya di Pulo Panjang, yaitu Kampung Peres. Kemudian Kampung Baru, Kampung Pasir Putih, Kampung Kebalen, Kampung Panengahan, Kampung Suka Rela dan Kampung Suka Diri.
“Apakah di Pulau ini ada sekolah SMP dan SMA?” tanya kami.
“Ada,” jawab Kang Romli. Di Pulo Panjang terdapat fasilitas pendidikan dari mulai TK/PAUD hingga SMA/MA. Kang Romli juga menjelaskan bahwa di Pulo Panjang ada putra daerahnya yang menjadi rektor di salah satu perguruan tinggi swasta di Banten: DR. H. Furtasan Ali Yusuf (Rektor Universitas Bina Bangsa). Beliau menjadi kebanggaan masyarakat Pulo Panjang.
Setelah istirahat dirasa cukup, Kang Romli mengajak kami ke salah satu tempat. Warga Pulo Panjang menyebut tempat itu Pagedongan. Motor kami berjalan ke arah selatan melewati perkebunan kelapa, pisang dan singkong. Di sebuah gundukan yang tertutupi semak Kang Romli berhenti. “Ini tempatnya,” kata Kang Romli sambil menunjuk.
Motor kami parkirkan mengikuti arahan Kang Romli. Kami masuk ke dalam semak-semak itu. Di balik semak-semak itu terdapat tembok bekas bangunan. Ada juga sumur yang berukuran besar, namun tertutup tanah dan dedaunan kering. Masyarakat sekitar menyebut tempat ini dengan sebutan “Pagedongan”. Apakah Pagedongan ini nama kampung tempat bangunan itu berdiri? Kang Romli jawab, “bukan.”
Mungkinkah kata Pagedongan itu berasal dari kata gedong/gedung? Dalam KBBI, gedung dimaknai sebagai bangunan tembok yang berukuran besar sebagai tempat kegiatan, seperti perkantoran, pertemuan, perniagaan, pertunjukan, olahraga dan sebagainya. Barangkali di masanya, bangunan ini menjadi bangunan paling megah di pulau ini. Makanya masyarakat sekitar menyebutnya “gedong”. Ini hanya sebatas hipotesa kami pada saat itu.
Ada juga yang menyebut bangunan ini adalah reruntuhan benteng belanda. Apa mungkin? Jawabannya mungkin iyah, mungkin juga bukan. Dugaan-dugaan kami ini harus diperkuat dengan sumber arsip atau sumber pendukung lainnya. Kami tak bisa mengatakan dugaan-dugaan itu sebagai fakta, apa lagi sebagai kebenaran.
Dari Pagedongan, sekitar pukul 11.45 WIB, kami kembali ke rumah Kang Romli. Di rumah beliau, sudah disiapkan hidangan makan siang. Sejujurnya kami tidak enak hati dengan Kang Romli dan keluarga. Hawatir kedatangan kami merepotkan. Namun mereka membantahnya. Justru mereka senang. “Ini tidak merepotkan. Toh ini tidak tiap hari kalian datang ke pulau ini,” kata Kang Romli dan keluarga.
Usai makan, kami bersantai di saung depan Rumah Kang Romli. Sambil menikmati rujak jambu, kami mendengarkan cerita Kang Romli tentang Pulau ini. Ia menceritakan tentang kehidupan nelayan di Pulau Mayang. Ada istilah Mayang dalam dunia nelayan. Istilah ini dikenal tidak hanya di Banten, nelayan di pantai utara Jawa mengenal istilah ini. Mayang diartikan sebagai kegiatan mencari ikan di laut dengan menggunakan perahu khusus. Biasanya para nelayan berangkat dini hari dan pulang pada sore hari.
Ketika membicarakan tempat wisata di Pulo Panjang, Kang Romli menyebut nama pantai Munir. “Nanti saya mengantarkan,” katanya. Dari namanya, pantai tidak asing. Seringkali nama pantai ini seliweran di beranda Facebook, cerita Instagram, snap Whatsapp dan media sosial lain. Kata Kang Romli, lokasinya tak jauh dari rumahnya.
Tepat pukul 13.00 WIB, kami bersama Kang Romli berangkat ke Pantai Munir. Lokasinya pantai ini kurang lebih satu kilometer dari rumah Kang Munir. Setelah tujuh menitan konvoi, kami sampai di parkiran yang di kelilingi pohon bakau. Tak ada aktivitas. Terlihat hanya dua anak gadis yang sedang duduk menunggu warung.
Sepi. Sunyi. Hanya terdengar deburan ombak. Banyak fasilitas yang terbengkalai. Begitulah Penilaian kami manakala melihat pantai Munir. Dari informasi yang kami dapatkan pada hari itu, wisata Pantai Munir dikelola oleh pemiliknya langsung. Awalnya kami mengira Pantai Munir dikelola oleh pemuda setempat atau LSM setempat, tapi ternyata bukan.
Saat itu tak ada penjaga seperti halnya tempat wisata pada umumnya. Kami senang, namun juga sedikit takut. Senang karena gratis, juga takut dituduh yang tidak-tidak karena masuk tanpa izin pemiliknya. Namun, tatkala kami masuk dan menyeberangi jembatan, dua perempuan tadi menegur Kang Romli. Kami dimintai bayaran.
Di Pantai Munir, kami mencari tempat yang nyaman untuk bersantai. Beberapa saung dan pohon rindang siap menemani. Kami mengeluarkan beberapa peralatan masak. Kami berencana menyeduh kopi. Saat itu kami membawa air botol kemasan, kompor lapangan, nesting, gas kaleng, sendok dan gelas.
Layaknya pantai pribadi, karena tak ada pengunjung lain, kami menikmati deburan ombak ditemani secangkir kopi dan musik yang dikeluarkan speaker portable. “Nyanyi lagu pantai.. Nyanyi lagu pantai.. Yeah.” Lagu pertama yang kami putar, Lagu Santai yang dinyanyikan oleh Steven & Coconut Treez.
Di sebelah utara, tak jauh dari jauh dari saung-saung berdiri, kami melihat bangunan bercungkup seperti makam. Kira-kira siapa yang dimakamkan di pantai Munir? Kami mendekati bangunan bercungkup itu. Ternyata itu bukan makam, melainkan penanda bahwa di wilayah perairan Selat Sunda dan sekitar perairan Teluk Banten pernah menjadi lokasi Perang Dunia II.
“Save Ourship HMAS Perth & USS Houston.” Kalimat itu yang tertulis di tugu. HMAS Perth merupakan kapal perang kelas ringan yang digunakan oleh Angkatan Laut Australia pada awal Perang Dunia II. Sedangkan USS Houston adalah kapal perang milik Amerika
Pada tanggal 27 Februari 1942, kedua kapal tersebut berpapasan dengan iring-iringan kapal perang Jepang di perairan Selat Sunda. Pertempuran pun tak bisa dihindarkan. Namun nahas, karena kalah jumlah, kedua kapal Sekutu itu kala. Pertempuran itu berakhir setelah tenggelamnya kapal perang HMAS Perth pada tanggal 1 Maret 1942.
Sebanyak 375 prajurit marinir Australia yang bertugas di Kapal HMAS Perth gugur dan 307 prajurit menjadi tawanana Perang. Sedangkan USS Houston kehilangan 696 prajurit marinir dan 368 prajurit marinir lainnya ditangkap.
Saban tahun, masyarakat dan pemerintah kedua negara tersebut selalu mengenang pertempuran laut terdahsyat selama Perang Dunia II. Mereka mengenang perjuangan dan keberanian para prajurit yang gagah berani menghadapi lawannya saat itu, yaitu Jepang. Peringatan tenggelamnya kapal perang HMAS Pert & USS Houston diperingati setiap tanggal 1 Maret.
Iring-iringan kapal mayang milik nelayan Pulo Panjang yang hendak kembali ke pangkalan menandakan hari semakin sore. Kami tak ingin ketinggalan kapal terakhir yang berangkat pukul 16.00 WIB. Kami memutuskan mengakhiri petualangan di Pulo Panjang dengan pamit pada Kang Romli dan keluarganya. Terima kasih banyak telah menerima dan menemani kami seharian.
Cilegon, 09 Juli 2023
ceritanya sangat menarik, selain memberikan informasi tentang pulo panjang juga memberikan wawasan tentang sejarah