Saya dan sekeluarga adalah orang-orang yang suka dengan kegiatan traveling. Barangkali yang memiliki jiwa menyukai alam bebas lebih banyak ada di papa dan saya, namun mama dan adik semata wayang saya juga suka bepergian jauh. Dan seperti lebaran tahun lalu, di tahun ini pun kami merencanakan untuk menjelajah daerah baru yang belum pernah kami kunjungi.

Lucunya karena jadwal libur papa yang masih belum fix, maka rencana untuk mengeksplor daerah Karanganyar pun harus benar-benar menunggu kepastian. Alhasil karena baru mencari tempat menginap dua minggu menjelang lebaran, hanya ada satu resort saja yang tersisa. Rencana awalnya, kami mau menginap di daerah Candi Cetho dua hari dari tanggal 7 sampai 8 Juni, kenyataannya kami hanya mendapat jatah tanggal 7 Juni. Tanpa itinerary detail, kami hanya memastikan tanggal kepergian dari 7 sampai 8 Juni, namun lokasi yang pasti akan dikunjungi Candi Cetho saja. Sungguh keluarga spontan.

Kami berangkat dari Sidoarjo pukul setengah lima pagi, lalu meluncur melewati jalur tol yang sambung-menyambung hingga Jawa Tengah. Semuanya berjalan lancar sampai kami mencapai Karanganyar. Papa belum pernah ke Candi Cetho, beliau hanya tahu ke jalur Astana Giri Bangun dan Tawangmangu yang pernah kami datangi sekitar tahun 2012. Maka setelah beberapa kali bertanya ke orang, kami mengandalkan Google Maps. Saya bertugas menjadi navigator di belakang papa.

Saya sempat mencari artikel tentang Candi Cetho. Teman sekantor yang pernah ke sana pun bilang jika tempatnya tinggi, dingin, dan alamnya indah. Saya dan keluarga lebih suka daerah pegunungan daripada pantai. Kami lebih menikmati liburan di lingkungan yang udaranya lebih sejuk karena Sidoarjo itu panas dan lembab. Di beberapa artikel yang saya baca, ada yang berkata jika pengunjung yang baru memasuki kawasan menuju Cetho pasti akan disambut kabut tebal. Dan itulah yang tidak terlalu saya pikirkan serius pada mulanya.

Kawasan Kebun Teh Kemuning telah menghiasi sisi kiri dan kanan, namun Google Maps masih terus mengarahkan. Sialnya, sinyal internet mulai putus-putus. Jalur yang sempit, menikung tajam dan curam, membuat papa mulai panik. Padahal papa adalah pengemudi mobil yang sudah melalui  banyak medan gunung, namun kali ini jalur menuju Candi Cetho membuat emosinya naik. Kami mulai mencium bau menyengat dari mesin mobil, seperti ada yang terbakar. Kabut tebal menyambut hingga jarak pandang tidak sampai dua meter. Sesampainya kami di Villa de Cetho, tempat menginap, ternyata banyak mobil yang bau mesinnya gosong. Jadi disarankan sebelum membawa mobil ke kawasan ini, cek kondisi mobil hingga bahan bakar serta pilih pengemudi yang benar-benar andal.

Menjelajahi Candi Unik Peninggalan Dinasti Terakhir Majapahit

Setelah beristirahat sebentar, sekitar pukul 3 sore saya dan keluarga memutuskan untuk menjelajahi Candi Cetho. Dari Villa De Cetho, kami tinggal berjalan kaki sekitar 100 meter dengan jalan menanjak. Tiket masuk 7000 rupiah perorang dan pengunjung wajib mengenakan sarung kotak-kotak hitam putih saat masuk ke dalam wilayah candi. Karena masih momen libur lebaran, banyak pengunjung ke sana.

Di pintu gerbang Candi Cetho, terdapat patung yang bentuknya berbeda dengan patung-patung candi umat Hindu pada umumnya. Patung ini seperti patung suku Inca atau Maya. Dan benar, setelah mencari di google, nama patungnya disebut Nyi Gemang Arum. Halaman pertama Candi Cetho berupa padang rumput hijau dengan beberapa candi kecil (seperti candi perwara) yang menyebar di sudut-sudutnya. Aroma dupa masih tercium kuat karena Candi Cetho memang masih digunakan sebagai tempat peribadatan pemeluk Agama Hindu dan Kejawen di sekitar candi.

Memasuki halaman kedua, saya tertarik dengan susunan batu aneh yang bentuknya seperti pemujaan Bangsa Sumeria. Ternyata susunan batu itu membentuk semacam hewan kura-kura. Candi Cetho diperkirakan dibangun di masa raja terakhir Majapahit, Raja Brawijaya. Namun melihat desain arca dan ornamen bangunannya, hal ini menjadi perdebatan. Ada ahli yang mengatakan, Candi Cetho telah mendapat pengaruh budaya bangsa Sumeria kalau dilihat dari relief dan arcanya. Saya merasakan betul nuansa Hindu dan juga unsur Sumeria seperti Suku Maya dan Inca ini. Sekilas malah saya pikir, susunan batu berbentuk kura-kura tadi mirip landasan pacu alien karena selama ini belum pernah saya temui di candi peninggalan budaya Hindu seperti di daerah Trowulan sekalipun.

Perjalanan berlanjut menuju pelataran candi utama. Kami memasuki beberapa pendopo sebelum memasuki area candi utama. Di beberapa sudut terdapat arca kecil yang diberi dupa. Pendopo ini katanya masih digunakan sebagai tempat beribadah, makanya bau harum dupa masih dominan. Area candi utamanya pun tak kalah unik. Bagian bawahnya berbentuk semacam kubus dengan puncak meruncing. Biasanya desain candi bercorak Hindu itu langsing. Candi Cetho ini tidak menyerupai candi di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur.

Setelah puas menjelajah dan berfoto-foto sebentar, kami memutuskan kembali. Jalur kembali berbeda dengan jalur kedatangan, jadi pengunjung diarahkan untuk keluar dari area candi. Di luar candi, terdapat jalan menuju wilayah Candi Kethek. Di candi ini konon banyak sekali kera yang tinggal, namun karena lelah perjalanan tidak dilanjutkan ke sana. Jika ingin mendaki ke Gunung Lawu juga bisa dari daerah Candi Cetho yang disebut Pos Cemoro Kandang. Saya memandang kagum para pendaki yang memanggul tas carriernya menuju puncak Gunung Lawu.

Menikmati Teh di Kebun Kemuning dan Kesegaran di Telaga Sarangan

Di hari kedua kami memutuskan untuk turun dari Karanganyar menuju Magetan. Karena tidak ada hotel yang didapat di sekitar Tawangmangu, tujuan berikutnya adalah Telaga Sarangan di Magetan. Di tengah jalan kami mampir ke Kebun Teh Kemuning. Setelah turun dari mobil, saya mencium bau sangit dari beberapa mobil yang diparkir dekat area kebun teh. Ternyata kebanyakan mobil yang naik ke Candi Cetho ini memang butuh bekerja keras sampai mesin mobil berlebihan panasnya.

Tiket masuk Kebun Teh Kemuning hanya 5000 rupiah perorang, tetapi kami bisa menikmati suasana sepuasnya. Pengunjung bisa menikmati teh dari racikan khas kebun sepuasnya. Rasanya sangat enak dengan tekstur rasa sedikit pahit. Jauh lebih nikmat dari teh yang ada di pasaran.

Saya berfoto meminjam properti yang disediakan seperti menggunakan caping petani dan berfoto dengan latar belakang spot foto di kebun teh. Sejauh mata memandang hanya ada tanaman hijau dengan suhu udara sejuk membuat saya ingin membungkusnya ke Sidoarjo.

Perjalanan pun berlanjut. Kami mendapat hotel di dekat Sarangan malam sebelumnya. Jumpalitan karena hampir semuanya terisi penuh. Di sini saya memberanikan makan sate kelinci yang selama ini tidak saya suka. Lumayan enak dan ditambah minum wedang ronde di dekat telaga semakin menambah kenikmatan.

Sorenya setelah beristirahat beberapa jam, kami sekeluarga naik speed boat di Telaga Sarangan. Inginnya saya berputar sampai tiga kali karena seru sekali ngebut di atas telaga begitu, rasanya saya sedang berakting di film action Hollywood. Namun, baru berputar sekali, mama menjerit ketakutan karena hantaman gelombangnya lumayan keras. Pemandangannya luar biasa. Kebetulan saya mendapat foto keren dari sinar matahari yang menerobos awan, menakjubkan sekali.

Menjelajah Waduk Bening Widas

Destinasi terakhir kami adalah Waduk Bening Midas di Saradan, Madiun. Hari ketiga sekalian arah pulang kami memutuskan makan siang di dekat waduk. Waduk Bening Widas dibangun untuk membendung air dari Kali Bening dan anak sungainya Kali Petung. Cuacanya panas, kebetulan sedang ada pentas dangdut untuk menghibur pengunjung.

Menu makan siang lezat. Ikan bakarnya enak, mungkin dipancing dari waduk. Sesudah mengisi perut, kami putuskan untuk naik perahu motor keliling waduk. Pemandangan waduk yang luas sembari memandangi para pemancing dan panorama Gunung Pandan jadi hiburan yang lumayan. Saya hanya tidak tahan hawa panasnya, apalagi dua hari sebelumnya menginap di sekitar Candi Cetho dan Sarangan yang sangat sejuk.

Libur lebaran tahun ini istimewa karena rencananya yang serba spontan serta kadang ada perdebatan.  Tetapi karena tidak terlalu terencana, saya dan keluarga malah merasakan unsur petualangannya. Selamat berlibur!