Yang tak tahu apa arti sebuah tanah air tak akan tahu bagaimana berterima kasih kepada sejarah.

(Goenawan Mohamad, 2011)

Pada saat memiliki “ibadah” rutin mengisi halaman bernama “Catatan Pinggir” di majalah Tempo, ia rajin membaca novel-novel. Novel demi novel dikhatamkan untuk terpilih secuil kutipan ditaruh di ratusan “Catatan Pinggir”. Orang membaca “Catatan Pinggir” bakal mendapatkan kejelian pilihan kutipan demi mengesahkan pukau. Ia paling sering mengutip dari novel-novel gubahan Cervantes, Umberto Eco, Ernest Hemingway, Gabriel Garcia Marquez, Orhan Pamuk, Boris Pasternak, dan Milan Kundera. Ia pun membaca dan mengutip dari novel-novel gubahan pengarang Indonesia: Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K Mihardja, Leila S Chudori, dan Laksmi Pamuntjak. Kini, ia menulis novel menanti pembaca mengutip dalam percakapan atau tulisan. Ia semakin tua, tak cukup disebut jurnalis, esais, dan penyair. Ia telah menulis novel. Goenawan Mohamad masih keranjingan menulis.

Pada saat menua, ia menempuhi jalan “prosa”. Pilihan telat, tapi membuktikan omongan puluhan tahun lalu. Goenawan Mohamad menikmati bacaan awal saat masih kelas 3 SD berupa prosa: Si Doel Anak Betawi dan Kisah Si Jamin dan Si Johan. Ia terpikat cerita. Ia ingat cerita mengenai bocah di Jakarta disimak bocah kelahiran Batang, Jawa Tengah, 1941. Goenawan Mohamad mungkin sudah berimajinasi raga bakal sampai ke Jakarta, bukan pelesiran, tapi menunaikan misi-misi sastra dan pers di masa Orde Baru. Raga memang berpindah, membuat biografi-biografi tercatat dalam alur perkembangan sastra dan pers di Indonesia sejak masa 1960-an. Masa lalu itu mengandung ingatan keharuan dan tangisan. Goenawan Mohamad tersentuh membaca cerita mengenalkan bocah ke tragedi dan Indonesia.

Tragedi justru menimpa Goenawan Mohamad saat berusia 5 atau 6 tahun. Ia kehilangan bapak dalam revolusi. Bapak ditembak tentara Belanda. Goenawan Mohamad tak melihat adegan penembakan atau jenazah bapak. Ia mendapat cerita bahwa ada lubang di kepala bapak. Tragedi di bulan Ramadan. Peristiwa mengingatkan pagi mengisahkan kepergian bapak dari rumah dan kematian. Pengalaman itu terbawa sampai tua, sempat dituliskan di “Catatan Pinggir” dan dimunculkan lagi di penulisan novel. 

Di majalah Nova edisi 27 Juli-11 Agustus 1986, kita memanggil ingatan atas omongan Goenawan Mohamad, sebelum mengesahkan diri menjadi penulis novel berjudul Surti + Tiga Sawunggaling (2018). Wawancara oleh Kurnia disajikan di dua halaman dilengkapi 3 foto saat Goenawan Mohamad masih muda. Di situ, ia mengaku “belum pernah berhasil menulis fiksi.” Pengabaran cuma keberhasilan menerjemahkan puisi-puisi asing ke bahasa Indonesia dimuat di majalah saat masih SMA. Esai-esai dikerjakan dan dikirim ke pelbagai majalah sering ditolak. Pada 1963, ia resmi jadi esais dengan pemuatan di majalah Sastra. Di luar penerjemahan dan penulisan esai, ia memilih menggubah puisi-puisi ketimbang cerita pendek atau novel.

“Menulis cerpen saja saya nggak bisa, apalagi bikin novel. Pernah saya coba, tapi tetap nggak bisa,” kata Goenawan Mohamad. Ia meralat omongan minder setelah puluhan tahun berlalu. Keranjingan membaca novel memungkinkan ia memiliki “tata cara” turut menulis novel. Perkara unik tentu hak Goenawan Mohamad, membedakan selera dari sekian novel pernah memikat ribuan pembaca di Indonesia, dari masa ke masa. Pada saat sanggup menulis prosa, ia enggan “meniru” bahasa dan teknik bercerita dari novel-novel terkagumi. Selama puluhan tahun, ia telanjur getol di puisi. Ia pun menulis novel di pendasaran puisi. Pengakuan pada 1986 cuma kita ingat lagi sambil memberi tanggapan atas penerbitan novel menandai “keimanan” sastra Goenawan Mohamad belum rapuh di usia tua.

* * *

Novel berjudul Surti + Tiga Sawunggaling tersaji agak aneh. Kalimat-kalimat ditata menjadi larik-larik mirip puisi. Kita membaca pun terasa puisi ketimbang prosa berjuluk novel. Kita mungkin meragu, tapi di halaman sampul tercantum keterangan: “sebuah novel.” Pada data penulis, pengakuan pun diresmikan: “Goenawan Mohamad, dalam usia 77, menulis novel pertamanya.” Ia datang terlambat dari Ajip Rosidi, Budi Darma, Y.B. Mangunwijaya, Eka Kurniawan, Azhari Aiyub, dan Sapardi Djoko Damono.

Kita mendingan memikirkan lagi status atau sebutan pantas bagi Goenawan Mohamad selaku penulis esai, puisi, lakon, dan novel. Ia memang sastrawan meski sempat melakukan peraguan saat menempatkan peran di Indonesia. “Sastrawan, terutama di Indonesia, sering yakin mereka warga negara yang penting—lebih penting ketimbang masyarakat mereka,” tulis Goenawan Mohamad di “Catatan Pinggir”, 5 Juli 2005. Kritik itu disampaikan dari ketekunan membaca ratusan buku sastra dan mengadakan esai atau kritik sastra sejak rajin menulis di majalah Sastra dan Horison. Pada abad XXI, Goenawan Mohamad mulai membuat perhitungan peran dan kehadiran sastrawan saat situasi berubah dan arus sastra telah bergerak ke sembarang arah.

Goenawan Mohamad berpesan jangan “meletakkan sastrawan sebagai pusat.” Sastrawan bakal jadi “ego melambung”. Resepsi pada sastrawan diharapkan di kewajaran meski kita mewarisi pelbagai pengisahan sastra(wan) agung, sejak ratusan tahun lalu dan mendapat pembenaran “modern” pada masa revolusi. Tiga belas tahun dari tulisan kecil dimuat di Tempo, ia mempersembahkan novel pada pembaca: mengukuhkan diri sebagai sastrawan tak minta menjadi pusat. Surti + Tiga Sawunggaling itu novel kecil, pengembangan dari lakon pernah ditulis pada 2010. Tahun-tahun berlalu menghasilkan novel tak mau bersaing dengan ketebalan novel berjudul Kura-Kura Berjenggot (Azhari Aiyub), Ular Tangga (Anindita S. Thayf), dan Gentayangan (Intan Paramaditha).

Novel dimulai dengan pemberitahuan waktu: “akhir Juli 1947.” Ia memilih waktu saat revolusi bergejolak meminta korban dan mencipta petaka. Novel dengan sendu di permulaan: Enam belas hari sejak musuh/ menduduki kota kami—dan suara/ tembakan terdengar hampir tiap/ malam—sembilan kali sudah suamiku/ menghilang dari rumah./ Selalu menjelang dinihari./ Aku akan mencari mimpi, katanya. Pengutipan sengaja mirip puisi, terbagi ke larik-larik.

Pilihan menulis novel bagi Goenawan Mohamad bukan sembarangan atau mumpung ketenaran belum pudar. Ia sengaja menulis novel, mengajak pembaca ke masa lalu meniti hari-hari revolusi dengan segala bimbang, kematian, haru, dendam, dan marah. Apa ia menginginkan novel adalah “dunia melodrama” seperti celotehan Budi Darma (1983)? Kecenderungan penulisan novel-novel di Indonesia mengusik Budi Darma menandai ada jalan melodrama berlangsung selama puluhan tahun. Budi Darma itu penulis novel, cerita pendek, dan esai. Tuduhan itu tersampaikan masa 1980-an tapi masih mungkin berlaku sampai sekarang.

Kita mengandaikan Budi Darma membaca Surti + Tiga Sawunggaling. Ia mungkin bakal tetap memegangi kalimat lama pernah dituliskan: “Intelektualisme para pengarang Indonesia mulai dahulu sampai sekarang sangat membantu kokohnya tradisi penulisan novel. Novel Indonesia sudah tegak, bukan lagi merangkak… Karena itu, pengangkatan realitas ke dalam novel, apa pun makna realitas tersebut, sudah menjadi tradisi semenjak lahirnya novel Indonesia.” Pada revolusi telah berlalu, Goenawan Mohamad menulis mengenai tokoh dan suasana cenderung kembali ke biografi. Ia tampak bercerita mengenai bapak di masa revolusi, buku-buku, kota kecil jauh dari pusat kekuasaan Jawa, dan kegamangan nasionalisme. Asmara dan berahi pun diceritakan berlatar revolusi serta sejumput perbantahan atas kebatinan Jawa.

* * *

Sejak halaman awal sampai akhir, kita tak melulu harus mengikuti nasib para tokoh berupa manusia. Goenawan Mohamad mengajak pembaca mengikuti burung-burung. Di novel, makhluk itu perlambang. Penulis sengaja menghadirkan burung-burung sebagai pengisah, penentu, penebus, penjawab, dan pengingat.

Biografi saat masih bocah mengingat pagi bertragedi dan pikat ke burung-burung dicantumkan di novel dengan penguatan imajinasi masa lalu. Tokoh bernama Surti kehilangan anak perempuan: mati tenggelam di teluk. Surti pun mengalami keseharian dengan membatik. Ia sampai ke pengimajinasian burung di peristiwa membatik sambil mengenang kehilangan. Di halaman-halaman awal, Goenawan Mohamad menulis: Sejak sebelum aku torehkan malam pada/ pola, burung pertama — masih dalam/ bentuk kerangka — kunamai Anjani,/ nama paling merdu dalam wayang/ Sawunggaling kedua Baira, dan yang/ ketiga Cawie, nama yang aneh tapi/ menarik. Atau sebenarnya mudah/ diingat. A-B-C// Tiap malam mereka hinggap di antara/ daun-daun pakis yang mulai kugoreskan/ klowongannya. Mereka seakan-akan/ tak menatapku, tapi aku tahu mereka/ mengerti mereka bukan lagi sekadar/ garis dan titik yang keluar dari canthing. Di kepergian Jen setiap menjelang dini hari, Surti bersama tiga sawunggaling: ingin mengetahui dan meresapkan segala cerita.

Burung-burung beterbangan menjadi saksi peristiwa di kota. Mereka menata adegan-adegan revolusi. Penembakan, orang lari, kematian, pedati bergerak lambat, peziarahan, percakapan, dan pertengkaran disaksikan untuk diceritakan ke Surti. Revolusi itu cerita, bukan berita-berita meminta kepastian dari fakta-fakta. Pada burung-burung di novel menguatkan imajinasi revolusi dan nasib tak menentu pada Surti, kita mengingat ketekunan menulis burung di buku berjudul Pagi dan dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali (2011). Di situ, Goenawan Mohamad tak jemu menulis burung di pelbagai peristiwa, tempat, waktu, dan suasana.

Goenawan Mohamad menulis kesan, sebelum menaruh burung-burung di novel dalam lakon kelam revolusi: “Pagi ini pohon-pohon seperti memilih bentuk laun: untuk menyenangkan burung-burung.” Pada situasi berbeda, ia mencatat: “Pagi: burung-burung terus saja sibuk, tanpa harus memilih  sikap, tanpa dilema, mungkin juga tanpa harap dan kecewa.” Puluhan tulisan mengenai burung terus ditulis Goenawan Mohamad, mengawali penokohan dan pemaknaan burung-burung di Surti + Tiga Sawunggaling.

* * *

Surti itu ketabahan. Surti menerima segala kata dan ulah suami bernama Jen. Penerimaan berdalih ada keinginan bertanah air dan mengerti hidup dan mati. Goenawan Mohamad menulis: Tapi ia suami yang, di masa yang sulit,/ tak menelantarkan anak istrinya./ Ia bekerja jadi pegawai administrasi/ sekolah Taman Siswa di dekat kantor/ wedana. Ia beruntung memperoleh/ rumah batu terpencil yang dulu didiami/ dua orang pastor Belanda, dengan/ atap dan dinding yang lapuk dan/ harus diperbaiki. Kemudian kami/ punya Niken. Kemudian balatentara/ Jepang datang—dan Jen mulai suka/. Menghilang. Kemudian kami bisa/ mengibarkan bendera Merah Putih di/ depan rumah./ Tapi di akhir Juli truk-truk infantri/ Belanda menyerbu. Kota kamu diduduki.

Kita mungkin perlu membaca lagi puluhan novel mengenai revolusi garapan Idrus, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Pandir Kelana, Toha Mohtar, dan YB Mangunwijaya untuk semakin mengeri penulisan revolusi di novel setelah berbeda masa: mengingat dan mengartikan. Goenawan Mohamad (2011) pernah memberi kalimat, sebelum mengesahkan novel: “Yang kita sering lupa, tiap revolusi punya kekecewaannya sendiri.” 

Goenawan Mohamad sudah fasih menulis Indonesia dalam revolusi, perang, dan kebatinan melalui ratusan esai. Kita menduga saja penulisan novel memang lanjutan dari mengenang masa lalu tanpa selingan argumentasi ketat dan penjelasan-penjelasan prosais. Novel tetap puitis untuk undangan ke masa-masa sudah sering ditulis para sastrawan Indonesia. Novel tak mau disangka mutlak melodrama jika kita membaca sikap Surti atas kematian Jen, perang, dan Tuhan: Sebelum ini,/ selama perang ini—selama beribu-/ribu tahun—orang-orang diinjak,/ ditembak, orang-orang mati, dan Tuhan/ melihat semua itu dengan mata yang/ kekal. Apa yang istimewa baginya pada/ darah yang keluar dari kepala Jen… Ketabahan Surti itu “revolusi” ketimbang revolusi selalu ramai, bedil, pengkhianatan, pekik, pidato, dan surat perjanjian bertanda tangan. Begitu.