Di kelahiranku yang ketiga, aku terlahir sebagai seekor kecoak. Betapa terkejutnya aku ketika menyadari terlahir di rumah ini, rumah yang dulu kutinggali ketika masih menjadi manusia. Banyak perubahan yang terjadi di sini. Khususnya perubahan pada orang tuaku. Bukan hanya perubahan wajah, yang sudah agak keriput dan kasar, tapi juga perubahan perilaku.
Kelahiranku sebagai kecoak, mengingatkanku pada sebuah cerita yang pernah kubaca semasa aku menjadi mahasiswa dulu. Cerita itu bertajuk ‘Metamorfosis’, ditulis oleh Franz Kafka, seorang penulis kelahiran Cekoslavia. Beruntungnya, aku tidak terlahir persis seperti Gregor Samsa, tokoh yang berubah menjadi seekor kecoak besar. Aku terlahir sebagai kecoak pada umumnya, meskipun tetap saja menjijikkan bagi sebagian manusia.
Di siang hari aku leluasa mondar-mandir, meromantisasi kenangan di setiap sudut rumah. Hanya saja, aku harus bersembunyi ketika tiba-tiba ayah datang bersama seorang perempuan muda. Aku harus mencari tempat di celah-celah perabotan. Entah itu di bawah sofa, di belakang lemari, atau di kamar mandi. Ibu tetap bekerja sebagai pedagang sayur di Pasar Legi. Aku tidak tahu ayah kini bekerja sebagai apa. Yang kutahu dulu, ia bekerja sebagai buruh pabrik. Entah itu masih berlangsung atau tidak. Sebab, setiap jam sembilan siang, ayah datang bersama perempuan muda itu. Dan pada jam dua belas, mereka pergi lagi entah ke mana.
Suatu hari ketika aku sedang bersembunyi di bawah sofa, aku mendengar samar-samar percakapan Ayah dan perempuan itu. Seketika perasaanku begitu aneh ketika mendengar nada bicara Ayah yang seolah-olah dilembut-lembutkan. Itu sangat bertentangan dengan sikapnya terhadap aku dan Ibu.
Perempuan muda itu bernama Marni. Entah mengapa aku merasa pernah mengenalinya. Setiap kali mendengar suaranya, aku teringat dengan seseorang.
***
Sebelum menjadi kecoak, aku adalah seekor monyet. Tentu saja perasaanku sebagai kecoak berbeda dengan perasaanku sebagai monyet. Menjadi hewan yang agak mirip dengan manusia di sebuah hutan, rasanya sangat bebas. Bersama monyet-monyet lain aku berayun-ayun dari satu pohon ke pohon lain. Dan ternyata, monyet memang tak jauh beda dari manusia. Cara mereka bercinta juga persis dengan manusia.
Saat itu aku dekat dengan seekor monyet betina. Kalau dipikir-pikir agak aneh memang. Bisa-bisanya aku menyukai seekor monyet. Suatu hari aku dan teman betinaku itu pergi ke pepohonan di pinggir lintasan kendaraan manusia. Hal itu memang biasa kami lakukan ketika sedang mencari makan. Kendaraan-kendaraan yang melintas sering melempar makanan pada kami. Aku berlari ke tengah jalan ketika seorang pengendara motor baru saja melempar sebutir kacang. Teman betinaku menyusul ke arahku. Ia terlihat kecewa ketika menyadari bahwa hanya ada sebutir kacang yang sudah jatuh ke tanganku.
Di tengah jalan aku membuka kulit kacang. Niatnya akan kubagi dua dengannya. Sesaat kemudian sebuah mobil melintas. Tubuh kami terhempas jauh. Penglihatanku seketika buyar. Aku hanya melihat sebuah tayangan yang demikian buram. Kemudian aku diperlihatkan sebuah tayangan seperti rol film yang dipercepat. Setelah itu gelap. Gelap sekali. Itulah akhir kehidupanku sebagai monyet. Kejadiannya persis seperti ketika kematianku sebagai manusia.
***
Aku masih mengingatnya. Beberapa waktu sebelum kematianku sebagai manusia, aku sedang membaca buku di perpustakaan kampus. Pak Haris—salah satu dosenku—memanggilku. Aku menutup buku, menghampiri Pak Haris.
“Tolong fotokopi ini di Gang Lima,” ucap Pak Haris sembari menyodorkan tumpukan kertas dan selembar uang.
Di tempat fotokopi aku bertemu Rahayu, teman sekelasku. Ia juga sedang disuruh dosen untuk memfotokopi sebuah berkas. Aih, memang sebuah kebetulan! Mahasiswi cantik ini sudah kutaksir sejak semester satu dulu. Namun, sebagai pria yang punya wajah pas-pasan, maka perasaan yang meledak-ledak ini harus kupendam.
“Disuruh Pak Haris, ya?” celetuk Rahayu dengan tatapan yang sangat aduhai.
“Kok tahu?”
Rahayu hanya tertawa kecil. Aku tidak tahu maksudnya. Setelah pesanannya jadi, ia pergi begitu saja.
Di perjalanan kembali ke kampus, seorang pengendara motor menabrakku. Kejadiannya begitu cepat. Penglihatannku gelap. Seluruh ingatanku berhamburan. Lalu aku melihat ada seutas cahaya, dan gelap lagi. Itu terjadi berulang kali. Rasanya itu berlangsung sangat lama. Hingga pada akhirnya aku diperlihatkan sebuah lanskap bergerak. Di sana ada Rahayu, Ayah, dan Pak Haris. Mereka sedang duduk berjejeran. Di depannya ada seutas cahaya yang bergerak-gerak. Sesaat kemudian mereka tersedot oleh cahaya itu. Setelah itu semuanya kembali gelap. Dan tiba-tiba aku berada di sebuah hutan.
***
Kehidupanku sebagai kecoak hanya berlangsung tiga tahun. Suatu hari ketika sedang berada di kolong meja tamu, seekor kucing menerkam tubuhku. Diriku dijadikan mainan olehnya. Tubuhku terguncang-guncang, tersayat-sayat, tercabik-cabik. Kukira aku akan merasakan kematian yang ‘sebenarnya’. Ternyata aku kembali dilahirkan.
Di kelahiranku yang keempat, aku kembali menjadi manusia. Tubuh ini muda, kira-kira berusia dua puluh tahunan. Kesadaran dan ingatanku selama kehidupanku sebelumnya masih melekat dengan diriku. Namun, entahlah, aku merasa sangat terasingkan kali ini. Rasanya semua orang tidak kenal denganku.
Suatu hari kucoba datang ke rumahku dulu. Kuketuk pintu beberapa kali. Marni membuka pintu, wajahnya terheran-heran.
“Anda siapa?” ia bertanya. Aku melihat sinyal penasaran yang begitu besar pada wajahnya.
“Anaknya Pak Misbah.”
Ia terlihat semakin kebingungan.
“Anda bergurau, ya? Anak Pak Misbah sudah meninggal lima belas tahun lalu!”
Lima belas? Ternyata aku mati selama itu, batinku. Marni menutup pintu, mungkin ia merasa kuabaikan. Pintu kuketuk dan Marni kembali membukanya. Wajahnya terlihat begitu muram.
“Anda siapanya Pak Misbah?”
“Bukan urusanmu!”
“Aku hanya bertanya.”
Keheningan terjadi di antara kami. Momen ini begitu absurd jika dipikir-pikir. Nada bicara Marni seperti memiliki sentimen khusus padaku.
“Aku seperti pernah kenal denganmu,” ucapku.
Marni menatap mataku, menyipitkan matanya.
“Mari masuk.”
Aku berjalan mengikuti Marni. Disuruhnya aku duduk di sofa. Sementara Marni sibuk membuatkan kopi. Kuperhatikan gerak-geriknya. Kucoba mengingat-ingat seseorang. Ya! Rahayu. Marni sangat mirip dengan Rahayu. Namun, tidak mungkin Rahayu bereinkarnasi untuk menjadi istri muda Ayahku.
“Kau pernah kenal denganku?” tanya Marni selagi ia meletakkan cangkir ke atas meja.
“Ya, kurasa begitu.”
“Aku juga seperti pernah melihatmu, tapi entah di mana,” ucap Marni. Rambutnya terurai. Perempuan ini kira-kira sudah berusia tiga puluh tahunan. Suaranya sudah mulai berubah sejak kudengar di kehidupanku sebagai kecoak.
“Mungkin di mimpi,” sahutku seraya memudarkan kesan absurd ini.
“Ya, sangat mungkin,” jawab Rahayu acuh tak acuh. Tatapannya tak menentu.
***
Hari-hari berlalu. Aku kini bekerja sebagai pelayan di sebuah hotel bintang tiga di daerah Surabaya Timur. Aku sudah tidak pernah mengunjungi rumahku sejak kunjungan itu. Apa boleh buat, diriku saat ini, bukanlah diriku saat itu. Semakin congkak aku menjelaskan bahwa aku adalah anaknya Pak Misbah, semakin dianggap gila aku oleh mereka. Begitu pun Marni. Aku sangat yakin dia adalah Rahayu versi kedua, atau ketiga, atau keempat. Namun, sampai kapan pun, aku tidak bisa menjelaskannya. Terlebih, jika aku bisa menjelaskannya, aku tidak akan mendapat apa-apa.
Dua hari lalu, di hotel tempat kerjaku, aku bertemu seseorang yang membuatku tercengang untuk beberapa detik. Dia adalah Pak Haris.
“Kamar nomer 009 di mana ya, Mas? Tadi resepsionisnya bilang di lantai dua, tapi saya udah muter-muter dua kali nggak nemu.”
“Sampean harus nyebrang penghubung gedung, Pak. Lantai dua memang dibagi jadi dua bagian, gedung depan dan gedung belakang.”
“Oalah, pantesan! Yasudah, makasih, Mas.”
Aku mengangguk sembari tersenyum. Senyum yang terpaksa. Senyum yang mengandung darah. Sebab, di belakang mantan dosenku itu, ada Marni. Perempuan yang kuyakini sebagai Rahayu versi lain.
Kupandangi mereka berjalan di sepanjang lorong hotel. Semakin mengecil. Semakin mengecil. Mereka seperti tersedot oleh sesuatu.
Mojokerto, 2024
*) Image by istockphoto.com